Apa yang Perlu Dikritik dari Agama? Menulis kritik terhadap agama tidak mudah. Pertama, tidak semua orang suka agamanya dikritik, biasanya malah ngamuk-ngamuk. Sebab mereka yakin betul bahwa agama berasal dari Tuhan, sedang Tuhan adalah kebenaran absolut yg haram diperdebatkan, jadi cukup diimani saja, tak perlu cerewet banyak cing-cong. Kedua, tidak mudah juga mengkritisi agama jika ia telah mendarah daging, apalagi orang yg bersangkutan sudah lekat padanya berpuluh tahun lamanya.
1. Dogmatis
Agama bersifat dogmatis. Dogma itu adalah kebenaran sejati yg tidak boleh digugat. Kalaupun ada celah untuk digugat maka sang penggugatlah yg dinyatakan salah, bahkan sesat dan murtad. Misal dalam Islam, dogma itu terkandung dalam aqidah, seperti iman kepada Allah, nabi dan rasul; dalam Kristen, dogma tentang trinitas; dalam Hindu, dogma tentang karma-samsara.
2. Narsis: Terlalu Mencintai Diri Sendiri
Alkisah, Narsisus yg dianugerahi wajah tampan jatuh cinta ketika melihat bayangannya sendiri di kolam. Ia tak tahan, lalu menerkam, lantas tenggelam.Agama, seperti halnya Narsisus, punya kecenderungan kelewat mencintai diri sendiri. Ia seperti melihat ke cermin, ke kitab sucinya, dan terus-terusan berkata bahwa saya benar, saya paling cakep, dan yg lain buruk. Kenarsisan ini mengakibatkan agama-agama bakalan mudah berantem. Soalnya rebutan paling cakep.
Jika urusan kenarsisan masih terkait soal identitas pribadi tentu masih bolehlah. Yg susah adalah jika kenarsisan ini berujung pada tindakan destruktif; Perang Salib, Pemberontakan Taiping, Pemberontakan Sri Lanka, Pemberontakan Teratai Putih, serta Pemberontakan Syal Kuning, adalah buah narsisme agama yang menghasilkan jutaan korban jiwa.
3. Eskapis
Eskapis adalah kecenderungan menghindar dari kenyataan dg mencari hiburan dan ketenteraman di dalam khayal atau situasi rekaan. Agama emang serupa itu. maka tak heran jika tokoh besar sekaliber Feuerbach, Marx, Sartre, Freud, dan Nietzsche, secara garis besar sepakat bahwa agama tidak lebih daripada pelarian manusia dari kenyataan, kebebasan, dan keberdikarian.
Marx cukup kencang menyuarakan ini, bahwa agama tak lebih daripada candu, ia merusak masyarakat dg ajarannya yg kontraproduktif dg semangat proletariat kaum komunis, seperti pesimis dan fatalis. Freud bilang bahwa orang beragama dan orang sakit jiwa punya gejala yg mirip, yakni eskapisme. Sama seperti anak kecil yg mengadu pada ayahnya ketika bermasalah, demikian halnya orang beragama, yg lari pada Tuhan untuk menyelesaikan persoalannya. Dg tegas ia mengatakan agama tak lebih daripada: neurosis kolektif (sakit jiwa massal) dan ilusi infantil (halusinasi yg kekanak-kanakan).
4. Statis
Tak perlu dibantah kalau agama sememangnya adalah produk lama yg statis, yg sulit menyesuaikan diri dalam hiruk pikuk kehidupan jaman modern.
5. Paradoks
paradoks berarti ada banyak kontradiksi dalam agama, misal diajarkan untuk berpikir, tapi kenyataannya lahan untuk berpikir dalam agama itu sering dicaplok oleh iman. 1. Islam bukan agama yang dipersepsi dogmatis, Narsis, Eskapis, statis dan paradox. Karena : a. Pemahaman rukun iman yang linierlah, atau sebut ketidak sabaran penyebar ajaran Islam, atau bahkan sejarah manusia Islam yang lebih menempatkan Islam pada tataran Dogma demi kepentingan (hawa). Biasanya itu terjadi, ketika aqidah diaplikasikan ke bentuk hukum, Kata-kata “wajib” dalam fiqh terkesan angker dan membunuh karakter, padahal disitu muncul pilihan, dikerjakan = pahala, ditinggalkan = dosa). Sejatinya manusia sampai pada pemikiran, bahwa melakukan ‘amal sholeh, ibadah (mahdoh-ghoer mahdoh), begitu pula dogma normatif tentang rukun iman & rukun islam ada pada indikator “kebutuhan” manusia. Ciri manusia adalah butuh terpuasi hawanya, butuh terpuasi nalarnya dan butuh terpuasi keyakinan akan hari keakanan. Maka ajaran Islam tidak Dogmatis, sebab ciri aqidah islamiyah adalah mampu memberikan kepuasan terhadap emosi manusia, mampu memberikan kepuasan terhadap nalar manusia, mampu memberikan ketentraman jiwa manusia dan ada keterangan yang datang bukan dari manusia. b.Narsisme yang terlukiskan di atas, bukanlah hasil dari pembacaan kitab suci (Islam – Quran). Kalau kita amati perang-perang yang dilakukan ummat Islam paling tidak terbagi menjadi dua, pertama perang-perang jaman Rosulullah, kedua jaman Ba’da Rosulullah. Baik dari sebab terjadi perang, prilaku pada saat peperangan, hasil peperangan dan dampak dari peperangan tersebut pada tatanan sosial setelahnya jauh dan sangat berbeda. Bisa dikatagorikan perang jaman Rosulullah itu adalah dakwah yang memancar dari sifat-sifat amanah, shidiq dan fathonah, sementara ba’danya lebih ke pemuasan hawa nafsu. c. Kecenderungan orang yang terbebani (Mukallap) seperti demikian adanya, membutuhkan pelarian emosi, pelarian nalar dan pelarian jiwa. Sejatinya manusia bukan mukallap yang terbebani aturan-aturan kediriannya, masalahnya muncul ketika aturan-aturan kediriannya itu datang dari luar (baca : agama), seyogyanya aturan-aturan kediriannya itu muncul secara instrinsik dari dampak pengetahuan diri bahwa manusia itu makhluq Allah swt yang paling merdeka. Sejatinyalah ajaran Islam itu adalah pelarian emosi, pelarian nalar dan pelarian jiwa manakala ketidak beraturan diri terjadi. Cobalah baca karya-karya Feuerbach, Marx, Sartre, Freud dan Nietzsche dalam tataran pamuncaknya ternyata masih membutuhkan keteraturan diri. Bukankah buku-buku merekalah yang menjadi penyebab munculnya Homo Homini Lupus dengan keunggulan pada Homo sapiens. d. Ajaran agama bisa jadi statis, tapai ajaran Islam jelas dinamis seperformans gerakan kosmos (micro-macro). Ketika ajarannya dinamis tapi pelakunya statis maka yang terjadi adalah ketrlindasan oleh ajarannya sendiri. Pada kurun waktu saat ini begitu terasa, begitu banya produk hukum ajaran islam memakan pelakunya. e. Sejatinya iman itu tidak abstrak tapi logis, untuk sekedar membuat lebih mudah, konsep tanazul dalam tataran normatif rukun Iman kita kontradiksikan dengan konsep taroju dalam tataran aplikatif berajaran Islam.2. Untuk agama-agama ardi indikator Dogmatis, Narsis, Eskapis, Statis dan paradox tidak bisa dielakkan.
3. Semoga.