Alam Semesta

Bukti-bukti pengamatan menunjukkan bahwa alam semesta mengembang. Spektrum galaksi galaksi yang jauh sebagian besar menunjukkan bergeser ke arah merah yang dikenal sebagai red shift (panjang gelombangnya bertambah karena alam mengembang). Ini merupakan petunjuk bahwa galaksi galaksi itu saling menjauh. Sebenarnya yang terjadi adalah pengembangan ruang. Galaksi galaksi itu (dalam ukuran alam semesta hanya dianggap seperti partikel partikel) dapat dikatakan menempati kedudukan yang tetap dalam ruang, dan ruang itu sendiri yang sedang berekspansi. Kita tidak mengenal adanya ruang di luar alam ini. Oleh karenanya kita tidak bisa menanyakan ada apa di luar semesta ini.

Secara sederhana, keadaan awal alam semesta dan pengembangannya itu dapat diilustrasikan dengan pembuatan roti. Materi pembentuk roti itu semula terkumpul dalam gumpalan kecil. Kemudian mulai mengembang. Dengan kata lain “ruang” roti sedang mengembang. Butir butir partikel di dalam roti itu (analog dengan galaksi di alam semesta) saling menjauh sejalan dengan pengembangan roti itu (analog dengan alam).

Dalam ilustrasi tersebut, kita berada di salah satu partikel di dalam roti itu. Di luar roti, kita tidak mengenal adanya ruang lain, karena pengetahuan kita, yang berada di dalam roti itu, terbatas hanya pada ruang roti itu sendiri. Demikian pulalah, kita tidak mengenal alam fisik lain di luar dimensi “ruang waktu” yang kita kenal.

Bukti lain adanya pengembangan alam semesta di peroleh dari pengamatan radio astronomi. Radiasi yang terpancar pada saat awal pembentukan itu masih berupa cahaya. Namun karena alam semesta terus mengembang, panjang gelombang radiasi itu pun makin panjang, menjadi gelombang radio. Kini radiasi awal itu dikenal sebagai radiasi latar belakang kosmik (cosmic background radiation) yang dapat dideteksi dengan teleskop radio.

Model Alam Semesta

Dengan hanya mengandalkan pengamatan, kita tidak mungkin menggambarkan bagaimana wujud alam semesta ini. Maka diperlukanlah suatu model matematis yang dapat menjelaskan “bentuk” alam semesta ini termasuk evolusinya. Dengan menggunakan solusi kosmologis persamaan Einstein dan Prinsip Kosmologis yang menganggap bahwa alam semesta homogen di mana pun dan isotropik di setiap titik di alam, didapatkan dua model alam semesta: “terbuka” (atau tak berhingga) dan “tertutup” (atau berhingga tak berbatas). Prinsip Kosmologis yang diasumsikan tersebut didasarkan hasil pengamatan bahwa alam semesta tampaknya homogen dan isotropik , yaitu galaksi galaksi tampak tersebar seragam ke segala arah.

Untuk menentukan model mana yang benar diperlukan informasi tentang massa total alam semesta ini. Seandainya seluruh materi di alam ini tidak cukup banyak untuk mengerem pengembangan maka alam semesta akan terus mengembang dan berarti alam semesta ini “terbuka” atau tak berhingga. Tetapi jika massanya cukup besar, maka pengembangan alam semesta akan direm, akhirnya berhenti dan mulai mengerut lagi. Kalau ini yang terbukti berarti alam semesta “tertutup” atau bersifat “berhingga tak berbatas”.

Sifat alam semesta “berhingga tak berbatas” itu dapat diilustrasikan dalam dua dimensi pada bola bumi (sesungguhnya alam berdimensi empat, tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu). Bola itu berhingga ukurannya namun tak berbatas, tak bertepi. Garis garis lintang analog dengan “ruang” alam semesta ini dan garis garis bujur analog dengan “waktu”. Perjalanan “ruang waktu” alam ini bermula dari kutub utara menuju kutub selatan. Kita menelusuri garis bujur. Dengan bertambah jauh kita menelusurinya (atau bertambah “waktu” nya) kita akan jumpai lingkaran lingkaran lintang yang bertambah besar (atau “ruang” alam semesta mengembang). Setelah mencapai maksimum di khatulistiwa, kemudian lingkaran lintang pun mulai mengecil lagi. Seperti itu pula alam semesta mulai mengerut. Bila kita berjalan sepanjang garis lintang, kita akan kembali ke titik semula. Sama halnya dengan sifat “ruang” alam semesta yang tak berbatas itu. Cahaya yang kita pancarkan ke arah mana pun, pada prinsipnya, akan kembali lagi dari arah belakang kita. Bila model ini benar, pada prinsipnya, kita akan bisa melihat galaksi Bima Sakti (galaksi kita) berada di antara galaksi galaksi yang jauh (galaksi luar).

Sampai tahun 1990-an belum dapat diputuskan model mana yang benar karena belum adanya bukti observasi yang betul betul meyakinkan. Pengamatan Deuterium yang dilakukan satelit Copernicus pada tahun 1973 menghasilkan jumlah Deuterium 0.00002 kali jumlah Hidrogen. Sebenarnya ini merupakan alasan terkuat yang mendukung model alam “tak berhingga”, artinya alam semesta akan terus mengembang. Namun analisis nasib akhir alam semesta kini berbalik. Walaupun bukti-bukti lain kini makin meyakinkan bahwa alam semesta memenuhi model geometri datar-terbuka.

Penemuan-penemuan terbaru akhir Abad 20 mengungkapkan bahwa materi alam semesta tidak menentukan nasib akhir alam semesta apakah akan mengembang terus atau akan kembali mengerut. Penemuan ‘energi gelap’ telah mengubah cara berpikir para pakar kosmologi. Pada satu sisi, materi mengerem pengembangan alam semesta, namun pada sisi lain ‘energi gelap’ justru mempercepat pengembangannya. Hanya saja, keberadaan ‘energi gelap’ tetap membuka peluang pengembangan terus menerus atau kembali mengerut, walau pun alam semesta diyakini mempunyai sifat datar-terbuka (artinya objek yang teramati sesuai dengan ukuran sebenarnya).

Evolusi Bintang

Bintang-bintang lahir dari awan molekul. Teori saat ini menyatakan kelahiran bintang dimulai dari penggumpalan awan molekul. Partikel-partikel awan molekul itu akibat gaya gravitasinya runtuh ke intinya membentuk inti yang akan menjadi bintang. Akibat rotasi gumpalan awan molekul itu sebagian materi tidak jatuh ke intinya, tetapi ke sekitar inti membentuk piringan. Inti bintang itu mulai memanas tetapi masih diselimuti debu dan gas yang tebal dan amat dingin, di bawah minus 200 derajat C. Ibarat bakal kupu-kupu dalam kepompong, inti bintang itu tak terlihat dari luar. Yang teramati hanya selimut debunya. Itu pun hanya pancaran infra merah dan radio yang bisa terdeteksi.

Inti bintang yang makin panas akan memantik reaksi fusi nuklir. Aktivitas bintang yang memancarkan radiasi dan partikel angin bintang dimulai. Embusan angin bintang lambat laun akan menyingkirkan selimut debu dan gas di sekitar bintang itu. Mulanya semburan dari arah kedua kutub bintang itu lalu pancaran angin bintang lambat laun akan menyingkirkan debu dan gas yang menyelimutinya. Yang tersisa adalah piringan debu dan gas di piringan sekitar ekuatornya. Piringan debu dan gas di sekitar bintang itu diyakini sebagai cikal bakal planet. Dengan tersibaknya selimut debu, inti bintang mulai tampak secara visual, walau masih amat redup dan hanya bisa teramati dengan teleskop besar. Kini diketahui banyak bintang yang masih mempunyai piringan debu dan gas yang umurnya masih beberapa juta tahun. Matahari kita tergolong bintang “remaja” yang baru berumur 4,5 milyar tahun.

Reaksi fusi nuklir menjadi sumber energi bintang — termasuk matahari — hingga bersinar. Angin bintang dan tekanan radiasi akhirnya juga akan menyingkirkan debu-debu di piringan. Kalau di piringan itu terbentuk planet-planet, yang tersisa adalah planet-planet dan sedikit materi debu-debu antarplanet.

Hasil reaksi fusi nuklir di inti bintang adalah unsur-unsur yang lebih berat. Bila bahan bakar nuklir di intinya habis, akhirnya bintang pun akan mati. Akhir kehidupannya tergantung massa dan keadaan fisik bintang. Ada bintang mengakhiri hidupnya dengan mengembang lalu akhirnya melepaskan materi-materinya ke angkasa dan akhirnya menjadi bintang kerdil putih. Matahari tergolong bintang yang akan mengakhiri hidupnya dengan cara itu. Ada pula yang meledak yang disebut supernova. Nah, materi-materi yang terlepas ke angkasa itu nantinya akan menjadi bahan dasar pembentukan bintang baru berikurnya.

Evolusi Tata Surya

Dari berbagai telaah radioisotop diperoleh bahwa batuan tertua di bumi berumur sekitar 4,1 milyar tahun, batuan di bulan tertua 4,4 milyar tahun, dan meteorit tertua berumur 4,6 milyar tahun. Umur batuan ini menunjukkan pula bahwa tata surya terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu. Dari hasil pengamatan tata surya dan bintang-bintang sejenis matahari maka dibangunkah teori-teori tentang asal-usul tata surya. Banyak teori dibuat dan direvisi berdasarkan temuan-temuan terbaru. Menurut teori yang saat ini dianggap paling sesuai dengan banyak bukti pengamatan dan telaah teoritiknya, tata surya terbentuk seperti umumnya bintang-bintang bermassa kecil lainnya.

Survai IRAS (Satelit Astronomi Inframerah) dan pengamatan teleskop radio menunjukkan banyak bintang bermassa kecil (hampir mirip matahari) masih dalam proses pembentukan. Bagian intinya membentuk embrio bintang yang dikelilingi piringan debu dan gas. Hasil pengamatan itu didukung model teoritik berdasarkan perhitungan fisika. Menurut telaah teoritik, pembentukan bintang bermula dari kontraksi (pemadatan) debu dan gas secara lambat akibat gaya gravitasinya sendiri yang membentuk core (gumpalan) di dalam awan molekul raksasa.

Setelah bagian intinya cukup padat, terjadilah collapse (pemadatan tiba-tiba) dan materi mulai jatuh (infall) ke arah pusatnya. Akibat perputaran core itu, gas dan debu yang runtuh mulai dari bagian dalam, bukan hanya embrio bintang yang terbentuk tetapi juga piringan (disk) di sekitarnya. Embrio bintang dan piringan masih diselubungi oleh debu yang amat tebal sehingga tidak terlihat dari luar. Hanya pancaran sinar inframerah yang dapat diamati.

Dalam proses selanjutnya, embrio bintang berkembang menjadi bintang muda yang di dalam intinya mulai terjadi reaksi nuklir. Bintang muda itu kemudian memancarkan partikel-partikel halusnya yang disebut angin bintang. Ini dimulai dari arah kutubnya selanjutnya ke arah ekuatornya. Dengan itu pula infall berhenti dan selubung debunya mulai tersibak. Yang tersisa adalah piringan gas dan debu di sekitar bintang muda tersebut. Sisa piringan gas dan debu itu disebut nebula proto-planet, karena di piringan itulah kemudian terbentuk planet-planet.

Bintang (matahari) dan piringan debunya selanjutnya memasuki masa pembentukan planet-planetnya. Salah satu teori menyebutkan bahwa nebula proto-planet mula-mula berdiameter sekitar 20 SA ketika infall berhenti, belum seluas tata surya kita sekarang. Kemudian nebula proto-planet melebar sehingga diameternya menjadi sekitar 40 SA yang disertai dengan proses pendinginan. Proses pendinginan nebula proto-planet menyebabkan terjadinya penggumpalan gas dan debu. Senyawa yang mula-mula berkondensasi adalah besi dan silikat. Di bagian luar tata nebula proto-planet yang temperaturnya lebih rendah, es air juga ikut berkondensasi. Teori yang kini dianggap kuat menyatakan bahwa planet-planet berasal dari penggumpalan itu yang disebut planetesimal.

Bumi dan planet-planet kebumian lainnya (Merkurius, Venus, dan Mars) hanya terbentuk dari materi padat yang terkondensasi, terutama dari senyawa besi dan silikat. Sedangkan Jupiter dan planet-planet raksasa lainnya terbentuk dari planetesimal besar, antara lain akibat turut terkondensasinya es air, sehingga mampu menangkap gas, terutama Hidrogen dan Helium. Planetesimal kecil yang tidak membentuk planet atau pecah akibat tumbukan sesamanya tersisa sebagai komet, asteroid, dan meteoroid.

Evolusi Bumi

Tata surya di awal evolusinya penuh dengan tumbukan. Proto-bumi (bakal bumi) dan proto-planet (bakal planet) lainnya juga mengalami tumbukan yang hebat. Salah satu bukti adanya tumbukan besar itu adalah kemiringan sumbu rotasi planet-planet terhadap bidang orbitnya. Tumbukan hebat yang dialami proto-bumi bukan hanya menyebabkan kemiringan sumbu rotasi bumi 23.5o, tetapi juga terbentuknya bulan.

Menurut teori yang paling kuat bukti-buktinya, proto-bumi pernah mengalami tumbukan hebat dengan proto-planet lainnya yang massanya sekitar 1/9 massa bumi. Tumbukan hebat ini menyebabkan terlontarnya batuan sebesar massa bulan (0.01 massa bumi) ke angkasa dan membentuk bulan. Salah satu bukti kuat teori ini adalah tidak dijumpainya inti besi di bulan karena yang terlontar hanya bagian kulit bumi. Akibat tumbukan itu juga atmosfer bumi lenyap. Atmosfer yang ada kini sebagian dihasilkan oleh proses-proses di bumi sendiri, sebagian lainnya berasal dari pecahan komet atau asteroid yang menumbuk bumi.

Komet yang komposisi terbesarnya adalah es air (20% massanya) diduga kuat merupakan sumber air bagi bumi, karena rasio Deutorium/Hidrogen (D/H) di komet hampir sama dengan rasio D/H pada air di bumi, yaitu sekitar 0.0002. Sekedar gambaran, berikut ini diberikan perhitungan kasar jumlah komet yang mungkin telah menumbuk bumi dan menyumbangkan airnya. Sebuah komet yang berdiameter 10 km mempunyai massa total sekitar 500 milyar ton, berarti mengandung air sekitar seratus milyar ton. Sedangkan massa total lautan saat ini sekitar 1,3 juta trilyun ton, kira-kira setara dengan 10 juta komet berdiameter 10 km. Ini menunjukkan pernah terjadi tumbukan komet yang luar biasa hebatnya dengan bumi dalam jangka waktu yang panjang.

Evolusi Alam dalam Perspektif AlQuran

Setelah menjelajah bukti-bukti observasi dan teori ilmiah tentang evolusi alam semesta, menarik juga untuk meninjau aspek religius untuk diperbandingkan dengan aspek ilmiah itu. Walaupun hal ini masih bersifat interpretasi yang masih dapat diperdebatkan.

Menurut Al-Qur’an, alam (langit dan bumi) diciptakan Allah dalam enam masa (Q.S. 41:9-12), dua masa untuk menciptakan langit sejak berbentuk dukhan (campuran debu dan gas), dua masa untuk menciptakan bumi, dan dua masa (empat masa sejak penciptaan bumi) untuk memberkahi bumi dan menentukan makanan bagi penghuninya. Ukuran lamanya masa (“hari”, ayyam) tidak dirinci di dalam Al-Qur’an.

Belum ada penafsiran pasti tentang enam masa itu. Namun, bedasarkan kronologi evolusi alam semesta dengan dipandu isyarat di dalam Al-Qur-an (Q.S. 41:9-12 dan Q.S. 79:27-32) dapat ditafsirkan bahwa enam masa itu adalah enam tahapan proses sejak penciptaan alam sampai hadirnya manusia. Lamanya tiap masa tidak merupakan fokus perhatian.

Masa pertama dimulai dengan ledakan besar (big bang) (Q.S. 21:30, langit dan bumi asalnya bersatu) sekitar 10 – 20 milyar tahun lalu. Inilah awal terciptanya materi, energi, dan waktu. “Ledakan” itu pada hakikatnya adalah pengembangan ruang yang dalam Al-Quran disebut bahwa Allah berkuasa meluaskan langit (Q.S. 51:47). Materi yang mula-mula terbentuk adalah hidrogen yang menjadi bahan dasar bintang-bintang generasi pertama. Hasil fusi nuklir antara inti-inti Hidrogen menghasilkan unsur-unsur yang lebih berat, seperti karbon, oksigen, sampai besi.

Masa yang ke dua adalah pembentukan bintang-bintang yang terus berlangsung. Dalam bahasa Al-Quran disebut penyempurnaan langit. Dukhan (debu-debu dan gas antarbintang, Q. S. 41:11) pada proses pembentukan bintang akan menggumpal memadat. Bila intinya telah cukup panasnya untuk memantik reaksi fusi nuklir, maka mulailah bintang bersinar. Bila bintang mati dengan ledakan supernova unsur-unsur berat hasil fusi nuklir akan dilepaskan. Selanjutnya unsur-unsur berat yang terdapat sebagai materi antarbintang bersama dengan hidrogen akan menjadi bahan pembentuk bintang-bintang generasi berikutnya, termasuk planet-planetnya. Di dalam Al-Qur’an penciptaan langit kadang disebut sebelum penciptaan bumi dan kadang disebut sesudahnya karena prosesnya memang berlanjut.

Inilah dua masa penciptaan langit. Dalam bahasa Al-Qura’an, big bang dan pengembangan alam yang menjadikan galaksi-galaksi tampak makin berjauhan (makin “tinggi” menurut pengamat di bumi) serta proses pembentukan bintang-bintang baru disebutkan sebagai “Dia meninggikan bangunannya (langit) lalu menyempurnakannya” (Q.S. 79:28)

Masa ke tiga dan ke empat dalam penciptaan alam semesta adalah proses penciptaan tata surya termasuk bumi. Proses pembentukan matahari sekitar 4,5 milyar tahun lalu dan mulai dipancarkannya cahaya dan angin matahari itulah masa ke tiga penciptaan alam semesta. Proto-bumi (‘bayi’ bumi) yang telah terbentuk terus berotasi yang menghasilkan fenomena siang dan malam di bumi. Itulahlah yang diungkapkan dengan indah pada ayat lanjutan pada Q.S. 79:29, “dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang.

Masa pemadatan kulit bumi agar layak bagi hunian makhluk hidup adalah masa ke empat. Bumi yang terbentuk dari debu-debu antarbintang yang dingin mulai menghangat dengan pemanasan sinar matahari dan pemanasan dari dalam (endogenik) dari peluruhan unsur-unsur radioaktif di bawah kulit bumi. Akibat pemanasan endogenik itu materi di bawah kulit bumi menjadi lebur, antara lain muncul sebagai lava dari gunung api. Batuan basalt yang menjadi dasar lautan dan granit yang menjadi batuan utama di daratan merupakan hasil pembekuan materi leburan tersebut. Pemadatan kulit bumi yang menjadi dasar lautan dan daratan itulah yang nampaknya dimaksudkan penghamparan bumi pada Q.S. 79:30, “Dan bumi sesudah itu (sesudah penciptaan langit) dihamparkan Nya.”

Menurut analisis astronomis, pada masa awal umur tata surya gumpalan-gumpalan sisa pembentukan tata surya yang tidak menjadi planet masih sangat banyak bertebaran. Salah satu gumpalan raksasa, 1/9 massa bumi, menabrak bumi menyebabkan lontaran materi yang kini menjadi bulan. Akibat tabrakan itu sumbu rotasi bumi menjadi miring 23,5 derajat dan atmosfer bumi lenyap. Atmosfer yang ada kini sebagian dihasilkan oleh proses-proses di bumi sendiri, sebagian lainnya berasal dari pecahan komet atau asteroid yang menumbuk bumi. Komet yang komposisi terbesarnya adalah es air (20% massanya) diduga kuat merupakan sumber air bagi bumi karena rasio Deutorium/Hidrogen (D/H) di komet hampir sama dengan rasio D/H pada air di bumi, sekitar 0.0002. Hadirnya air dan atmosfer di bumi sebagai prasyarat kehidupan merupakan masa ke lima proses penciptaan alam.

Pemanasan matahari menimbulkan fenomena cuaca di bumi: awan dan halilintar. Melimpahnya air laut dan kondisi atmosfer purba yang kaya gas metan (CH4) dan amonia (NH3) serta sama sekali tidak mengandung oksigen bebas dengan bantuan energi listrik dari halilintar diduga menjadi awal kelahiran senyawa organik. Senyawa organik yang mengikuti aliran air akhirnya tertumpuk di laut. Kehidupan diperkirakan bermula dari laut yang hangat sekitar 3,5 milyar tahun lalu berdasarkan fosil tertua yang pernah ditemukan. Di dalam Al-Qur’an Q.S. 21:30 memang disebutkan semua makhluk hidup berasal dari air.

Lahirnya kehidupan di bumi yang dimulai dari makhluk bersel tunggal dan tumbuh-tumbuhan merupakan masa ke enam dalam proses penciptaan alam. Hadirnya tumbuhan dan proses fotosintesis sekitar 2 milyar tahun lalu menyebabkan atmosfer mulai terisi dengan oksigen bebas. Pada masa ke enam itu pula proses geologis yang menyebabkan pergeseran lempeng tektonik dan lahirnya rantai pegunungan di bumi terus berlanjut.

Tersedianya air, oksigen, tumbuhan, dan kelak hewan-hewan pada dua masa terakhir itulah yang agaknya dimaksudkan Allah memberkahi bumi dan menyediakan makanan bagi penghuninya (Q.S. 41:10). Di dalam Q.S. 79:31-33 hal ini diungkapkan sebagai penutup kronologis enam masa penciptaan, “Ia memancarkan dari padanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh tumbuhannya. Dan gunung gunung dipancangkan Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang binatang ternakmu”.

Bagaimana akhir alam semesta? Kosmologi (cabang ilmu yang mempelajari struktur dan evolusi alam semesta) masih menyatakan sebagai pertanyaan yang terbuka, belum ada jawabnya, mungkin terus berkembang atau mungkin pula kembali mengerut. Namun Al-Quran mengisyaratkan adanya pengerutan alam semesta, seperti terungkap pada QS 21:104. “Pada hari kami gulung langit, seperti menggulung lembaran-lembaran kertas (makin mengecil) seperti Kami telah menjadikan pada awalnya, begitulah kami mengulanginya.”

Ikhlas Bersama Ruang dan Waktu

Teori relativitas telah menyatukan ruang dan waktu dalam dunia empat dimensi, dunia ruangwaktu (ditulis bersambung sebagai satu kata). Dan secara matematis dirumuskan kuadrat selang ruangwaktu = kuadrat selang waktu – kuadrat jarak ruang. Tanda minus berbeda dengan anggapan awam untuk ruang dan waktu (menggunakan “dan”, ruang dan waktu sebagai hal yang terpisah) yang terbiasa dengan rumus phytagoras: kuadrat jarak = kuadrat selang sumbu x + kuadrat selang sumbu y. Dalam dunia ruangwaktu, jarak bintang ke mata kita adalah “nol”. Karena, misalnya, jarak bintang (jarak ruang) 4 tahun cahaya. Cahaya bintang tersebut mencapai mata kita dalam waktu 4 tahun juga (selang waktu). Jadi, selang/jarak ruangwaktu bintang tersebut adalah 0.

Dalam dunia ruang dan waktu (mengikuti hukum Newton, non-relativistik) senantiasa kita berjalan ke masadepan secara perlahan dengan kecepatan satu hari tiap harinya. Tetapi kita juga bisa berjalan ke masa depan dengan lebih cepat lagi ke tempat yang sangat jauh, misalkan dengan pesawat antariksa berkecepatan mendekati cahaya. Inilah perjalanan relativistik, mengikuti hukum relativitas. Dalam perjalanan relativistik, waktu berjalan relatif lebih lambat daripada waktu dalam keadaan berdiam tidak ikut dalam perjalanan. Hal ini sudah terbukti pada partikel berenergi tinggi. Waktu luruh (berubah menjadi partikel lainnya) partikel Muon sebenarnya dalam keadaan diam hanya sepersejuta detik. Namun dalam perjalanan dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, waktu luruhnya teramati oleh detektor yang diam bisa mencapai 50 kali lipat.

Apa makna batiniah dari semua fakta fisik ini? Kita tidak bisa mundur ke masa lalu. Kita senantiasa maju menuju masa depan. Semakin cepat kita maju, semakin jauh jarak tempuh kita menuju masa depan. Kita tetap merasa muda pada saat orang malas merasa tua. Kita senantiasa berubah, berevolusi dengan kerangka waktu yang jauh lebih pendek dari evolusi alam. Tentunya, evolusi yang kita harapkan adalah evolusi menuju perbaikan kualitas dan kuantitas. Kualitas iman yang makin mantap, kualitas pribadi yang makin mapan, kualitas hidup yang makin sejahtera, dan kualitas keluarga yang makin bahagia. Kuantitas ilmu yang makin bertambah, kuantitas amal yang makin meningkat, kuantitas rizki yang makin bermanfaat, dan kuantitas pengikut yang mendoakannya. Ruang amal kita semestinya berekspansi, meluas, dan makin variatif. Persahabatan dan jaringan kerja selayaknya terus bertambah. Ruang gerak kreatif-inovatif seharusnya makin terbuka.

Lalu apakah fisik jasmaniah dan batiniah kita dibiarkan berevolusi mengikuti alur perkembangan ruang dan waktu kita tanpa tuntunan? Semestinya tidak dibiarkan lepas tanpa kendali. Penyesatan dan pencemaran qalbu bisa mengubah sebagalanya keluar dari jalan yang diridhai-Nya. Taqarrub, pendekatan diri kepada-Nya adalah penuntunnya. Kebersihan jiwa yang ikhlas semestinya yang melandasi perjalanan ruang dan waktu kita. Ikhlas bermakna bersih dari segala pamrih selain dari mengharap ridha-Nya.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply