17-20
Allan tidak pernah pilih-pilih dalam bergaul. Buktiknya, dia selalu berpikir positif dan mau berteman dengan Herbert yang otaknya lemot. Dia tidak pernah memikirkan bahasa tubuh, ekspresi wajah orang, cara bicara, dan sebagainya. Pokoknya, dia tidak hirau untuk sesuatu yang kasat mata saja. Hasilnya, Herbert ternyata menguntungkan Allan saat mereka kabur dari penjara.
Harusnya hidup memang begitu. Kita mesti melihat orang juga di dalamnya, tak hanya luarnya saja. Kepribadian, kemampuan, pengetahuan, dan hal-hal lain yang barangkali tidak langsung terlihat. Nasihat yang bijak, memang. Tapi, apakah mudah bagi kita untuk bisa seperti itu? Untuk betul-betul bebas dari kecenderungan menilai apa yang tampil di luar?
Ada satu kejadian yang aku ingat. Saat itu aku hendak makan malam di pesantren, dengan telur yang di dalamnya dicampuri komposisi bala-bala. Aku kira tidak akan enak karena tampangnya aneh sekali, tidak meyakinkan. Setelah kucoba ternyata rasanya tidak terlalu buruk. Memang benar sih, don’t judge a book by it’s cover.
Kita harus selalu ingat untuk tidak menilai orang dari tampilannya saja. Dari cara berpakaian, misalnya. Karena kualitas manusia tidak selalu ditentukan oleh pakaian. Zaman sekarang, mudah kita menemukan orang baik tapi penampilannya preman. Tak sedikit pula orang yang kerap tampil dengan pakaian alim tapi kelakuannya bejat. Hmmm… ngeriii.
Judul The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared | Penulis Jonas Jonasson | Penerbit Bentang Pustaka | Tebal 508 hal | Peresensi Lulu Izdihar Salsabila | Penyunting Ridwan Malik