DARMAGANDHUL

DARMAGANDHUL.

Darmagandhul, karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi, waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Amanat ajaran dalam teks dituangkan dalam bentuk dialaog antara Ki Kalamwadi dengan Darmagandhul, isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.

Ki Kalamwadi berguru kepada Reden Budi, sementara Raden budi mempunyai muris bernama Darmagandhul. Darmagandhul menanyakan kepada gurunya mengenai kapan agama Islam itu datang di pulau Jawa. Ki Kalamwadi menjawab bahwa pada zaman Majapahit saat pemerintahan Prabu Brawijaya, permaisuri Prabu Brawijaya membujuk agar beliau beralaih ke agama Islam. Sayid Rahmat atau Sunan Benang, kemenakan permaisuri Prabu Brawijaya yang berasal dari Campa, diberi tanah di Tuban dan diizinkan untuk menyebarkan agama Islam. Daerah penyebarannya sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Blambangan sampai Banten. Kemudian datanglah Raden Patah, yakni putra Prabu Brawijaya yang lahir di tanah Palembang, yang diberi tanah Demak dan sebagai adipati, juga diizinkan menyebarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Benang di daerah Kediri mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya penguasa di daerah tersebut. Kemudian Sunan Benang menuju ke desa Bogem, dan merusak arca kuda berkepala dua karya Prabu Jayabaya. Perusakan arca tersebut mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya yang mendeak agar Sunan Benang pergi dari daerah itu. Patih Gajah Mada menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa tanah Kertasana rusak akibat perbuatan Sunan Benang. Akhirnya, Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengusir kaum Islam dari daerah Majapahit, kecuali kaum muslimin yang tinggal di Ngampelgading dan Demak, Sunan Benang dan Sunan Giri menyingkir ke Tuban dan berlindung ke Demak.

Perlawanan antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan Demak dengan Sultan Demak, dengan pertempuran sengit itu tentara Majapahit hancur, Gajah Mada gugur di medan laga. Kemudian orang-orang Majapahit yang takluk kepada Demak diperintahkan masuk agama Islam. Akhirnya Sultan Patah yang didukung oleh para wali pergi ke Ngampeldenta untuk menghadap neneknya. Neneknya Nyai Ngampeldenta sangat menyesal perbuatan yang dilakukan oleh Sultan Patah para melawan ayahnya.

Ia mempermasalahkan Sultan Patah beserta para wali yang tidak baik misalnya budi kepada Prabu Brawijaya. Ia memberikan beberapa contoh yang tidak baik misalnya kejadian di Mesir yang dialami Nabi Daud, perebutan kekuasaan yang dilakukan Prabu Dewatacengkar terhadap ayahnya, Prabu Sindhula dan peristiwa Prabu Danapati raja Lokapala melawan ayahnya, Sang resi Wisrawa.

Contoh-contoh tersebut merupakan permusuhan antara anak melawan ayahnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Sultan Patah terhadap Prabu Brawijaya. Dengan adanya penjelasan dari neneknya tadi, maka Sultan Patah sangat sedih dan menyesal atas segala perbuatannya. Ahkirnya Sunan Kalijaga diutus untuk mencari Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia kembali menjadi raja Majapahit. Sekembalinya Sultan Patah ke Demak di sambut dengan gembira. Ia menceritakan hal itu kepada Sunan Benang, akhirnya Sunan Benang memberikan penjelasan secara panjang lebar bahwa perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak berdosa, karena ayahnya seorang kafir.

Sunan Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya. Karena kepandaian Suna Kalijaga maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang. Bahkan ia bermaksud untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin.

Penyebaran agama Islam terhadap punakawan Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan Nayagenggong, yang berakhir dengan penolakan ( tidak berhasil ) Sabdapalon menilai bahwa Prabu Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan agama Budha. Sunan Kalijaga berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya utuk bahwa ajaran agama Islam itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi, dan terjadilah demikian. Setalah selama seminggu dalam perjalanann yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabalingga akhirnya sampailah di Ngampeldenta.

Jatuhnya Kerajaan Majapahit atas serangan Demak yang dilukiskan secara simbolis. Darmaagandhul juga minta penjelasan tentang agama tentang agama Nasrani yang kemudian dijelaskan oleh Kalamwadi. Disebutkan bahwa agama Nasrani itu dibawa oleh NabiNgisa, Putra Tuhan. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya. Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak. Darmagandhul menguraikan tentang sebab-sebab Nabi Adam dan Ibu Kawa turun dari surga terkena marah Tuhan. Darmagandhul tidak mengetahui bagaimana pandangan kitab Jawa tentang Nabi Adam itu. Ki Kalamwadi menjelaskan bahwa orang Jawa tidak mempunyai kitab yang menceritakan tentang p[engusiran Tuhan terhadap Nabi Adam dan Ibu Kawa itu. Kitab yang menjadi pegangan raja hanyalah Manikmaya. Darmagandhul juga menguraikan pendapatnya bahwa baginda, baik agama itu harus konsekuen mengerjakan peraturan yang ada di dalamnya. Namun, yang paling baik bagi orang Jawa adalah agama Budi, sebab agama Budi telah dianut sejak dahulu kala.

Perbedaan agama Islam, Nasrani, Cina dan Jawa. Ki Kalamwadi mencela orang yang naik haji ke Mekah dengan mengharapkan kelak masuk surga. Konon ada anggapan bahwa yang datang naik haji ke Mekah dan mencium kakbah akan terhapus dosanya dan nantinya masuk surga. Hal itu itu tidaklah benar. Orang akan masuk surga apabila dirinya bersih. Perbedaan adanya utusan dan kitab yang menjadi pegangan itu berbeda. Kalamwadi menjawab bahwa itulah kebebasan yang diberikan Tuhan agam manusia memilih agama yang menjadi kesenangannya. Meskipun demikian, agama Budi bagi orang Jawa tetap lebih tinggi dan sesuai.

Kalamwadi membetangkan ajaran kepada istrinya, Perjiwati, mengenai hal keutamaan dalam hidup dan mengenai ajaran perkawinan. Bekal perkawinan itu bukannya rupa dan harta akan tetapi hati. Perkawinan diibaratkan sebagai galah dan kemudi, yang masing-masing harus sejalan. Diuraikan pula mengenai 4 kemuliaan, yaitu: (1) kemuliaan yang lahir dari diri sendiri, (2) yang lahir dari harta benda pemilik, (3) kemuliaan karena kepandaiannya, (4) kemuliaan karena pengetahuannya. Generasi sekarang tidak boleh meremehkan generasi pendahulunya (orang kuna).

Menurut Ki Kalamwadi disebutkan bahwa bekas kerajaan Prabu Brawijaya tidak terletak di Kediri, akan tetapi terletak di Daha. Akhir kehidupannya, Prabu Jayabaya muksa diiringkan oleh Patih Tunggulwulung dan Nimas Ratu pagedhongan. Tunggulwulung diperintahkan menjaga Gunung Kelud sedangkan Nimas ratu Pegendhongan menjadi raja jin penguasa laut selatan dengan gelar Ratu Angin-Angin.

DARMAGANDHUL.

Carita adêge nagara Islam ing Dêmak bêdhahe nagara Majapahit kang

salugune wiwite wong Jawa ninggal agama Buddha banjur salin agama

Islam.

Gancaran basa Jawa ngoko.

Babon asli tinggalane

K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.

Cap-capan ingkang kaping sêkawan 1959

Toko Buku “Sadu-Budi” Sala.

BÊBUKA.

Sinarkara sarjunireng galih, myat carita dipangikêtira, kiyai

Kalamwadine, ing nguni anggêguru, puruhita mring Raden Budi,

mangesthi amiluta, duta rehing guru, sru sêtya nglampahi dhawah,

panggusthine tan mamang ing lair batin, pinindha lir Jawata.

Satuduhe Raden Budi êning, pan ingêmbun pinusthi ing cipta,

sumungkêm lair batine, tan etung lêbur luluh, pangesthine ing awal

akhir, tinarimeng Bathara, sasêdyanya kabul, agung nugraheng Hyang

Suksma, sinung ilham ing alam sahir myang kabir, dumadya auliya.

Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi, pan biyasa mituhu susêtya, mring

dhawuh wêling gurune, kêdah mêdharkên kawruh, karya suka pirêneng

jalmi, mring sagung ahli sastra, tuladhaning kawruh, kyai Kalamwadi

ngarang, sinung aran srat Darmagandhul jinilid, sinung têmbang

macapat.

Pan katêmben amaos kinteki, têmbang raras rum sêya prasaja, trêwaca

wijang raose, mring tyas gung kumacêlu, yun darbeya miwah nimpêni,

pinirit tinuladha, lêlêpiyanipun, sawusnya winaos tamat, linaksanan

tinêdhak tinurun sungging, kinarya nglipur manah.

Pan sinambi-sambi jagi panti, sasêlanira ngupaya têdha, kinarya cagak

lênggahe, nggennya dama cinubluk, mung kinarya ngarêm-arêmi,

tarimanireng badan, anganggur ngêthêkur, ngêbun-bun pasihaning

Hyang, suprandene tan kalirên wayah siwi, sagotra minulyarja.

Wus pinupus sumendhe ing takdir, pan sumarah kumambang karseng

Hyang, ing lokhilmakful tulise, panitranira nuju, ping trilikur ri

Tumpak manis, Ruwah Je warsanira, Sancaya kang windu, masa Nêm

ringkêlnya Aryang, wuku Wukir sangkalanira ing warsi: wuk guna

ngesthi Nata (taun Jawa 1830).

DARMAGANDHUL.

Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene

“Mau-maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama

Buddha salin agama Islam?”

Wangsulane Ki Kalamwadi: “Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku

wis tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna

dipracaya, nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama

Buddha banjur salin agama Rasul”.

Ature Darmagandhul: “Banjur kapriye dongengane?”

Ki Kalamwadi banjur ngandika maneh: “Bab iki satêmêne iya prêlu

dikandhakake, supaya wong kang ora ngrêti mula-bukane karêben

ngrêti”.

Ing jaman kuna nagara Majapahit iku jênênge nagara Majalêngka, dene

ênggone jênêng Majapahit iku, mung kanggo pasêmon, nanging kang

durung ngrêti dêdongengane iya Majapahit iku wis jênêng sakawit. (1)

Ing nagara Majalêngka kang jumênêng Nata wêkasan jêjuluk Prabu

Brawijaya.

Ing wêktu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu

krama oleh Putri Cêmpa, (2) ing mangka Putri Cêmpa mau agamane

Islam, sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang

Nata, bab luruhe agama Islam, sabên marak, ora ana maneh kang

diaturake, kajaba mung mulyakake agama Islam, nganti njalari

katariking panggalihe Sang Prabu marang agama Islam mau.

Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran Sayid

Rakhmat tinjo mênyang Majalêngka, sarta nyuwun idi marang Sang

Nata, kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasul. Sang Prabu iya

marêngake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau. Sayid

Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana Ngampeldênta ing Surabaya (3)

anggêlarake agama Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka

sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padha

marêk sang Prabu ing Majalêngka, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing

pasisir. Panyuwunan mangkono mau uga diparêngake dening Sang Nata.

Suwe-suwe pangidhêp mangkono mau saya ngrêbda, wong Jawa banjur

akeh bangêt kang padha agama Islam.

Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama

Islam kabeh, dene panggonane ana ing Benang (4) bawah Tuban. Sayid

Kramat iku maulana saka ing ‘Arab têdhake Kanjêng Nabi Rasulu’llah,

mula bisa dadi gurune wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu

maguru marang Sayid Kramat. Wong Jawa ing pasisir lor sapangulon

sapangetan padha ninggal agamane Buddha, banjur ngrasuk agama

Rasul. Ing Balambangan sapangulon nganti tumêka ing Bantên, wonge

uga padha kelu rêmbuge Sayid Kramat.

Mangka agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kêlakon urip nganti

sewu taun, dene wong-wonge padha manêmbah marang Budi Hawa. Budi

iku Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku karêping hati, manusa ora bisa apa-

apa, bisane mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.

Sang Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka

Putri Bangsa Cina, miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi

têtêngêr Raden Patah.

Barêng Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti sadhereke

seje rama tunggal ibu, arane Raden Kusen. Satêkane Majalêngka Sang

Prabu kewran panggalihe ênggone arêp maringi sêsêbutan marang

putrane, awit yen miturut lêluri saka ingkang rama, Jawa Buddha

agamane, yen nglêluri lêluhur kuna, putraning Nata kang pambabare

ana ing gunung, sêsêbutane Bambang. Yen miturut ibu, sêsêbutane:

Kaotiang, dene yen wong ‘Arab sêsêbutane Sayid utawa Sarib. Sang

Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka, padha dipundhuti

têtimbangan ênggone arêp maringi sêsêbutan ingkang putra mau. Saka

ature Patih, yen miturut lêluhur kuna putrane Sang Prabu mau disêbut

Bambang, nanging sarehne ibune bangsa Cina, prayoga disêbut Babah,

têgêse pambabare ana nagara liya. Ature Patih kang mangkono mau,

para nayaka uga padha mupakat, mula Sang Nata iya banjur dhawuh

marang padha wadya, yen putra Nata kang miyos ana ing Palembang

iku diparingi sêsêbutan lan asma Babah Patah. Katêlah nganti tumêka

saprene, yen blastêran Cina lan Jawa sêsêbutane Babah. Ing nalika

samana, Babah Patah wêdi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang rama,

mulane katone iya sênêng, sênênge mau amung kanggo samudana bae,

mungguh satêmêne ora sênêng bangêt ênggone diparingi sêsêbutan

Babah iku.

Ing nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing

Dêmak, madanani para bupati urut pasisir Dêmak sapangulon, sarta

Babah Patah dipalakramakake oleh ing Ngampelgadhing, kabênêr wayahe

kiyai Agêng Ngampel. Barêng wis sawatara masa, banjur boyong marang

Dêmak, ana ing desa Bintara, sarta sarehne Babah Patah nalika ana ing

Palembang agamane wis Islam, anane ing Dêmak didhawuhi

nglêstarekake agamane, dene Raden Kusen ing nalika iku jinunjung

dadi Adipati ana ing Têrung (5), pinaringan nama sarta sêsêbutan

Raden Arya Pêcattandha.

Suwening suwe sarak Rasul saya ngrêbda, para ngulama padha

nyuwun pangkat sarta padha duwe sêsêbutan Sunan, Sunan iku têgêse

budi, uwite kawruh kaelingan kang bêcik lan kang ala, yen wohe budi

ngrêti marang kaelingan bêcik, iku wajib sinuwunan kawruhe ngelmu

lair batin.

Ing wêktu iku para ngulama budine bêcik-bêcik, durung padha duwe

karêp kang cidra, isih padha cêgah dhahar sarta cêgah sare. sang

Prabu Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha,

kok nganggo sêsêbutan Sunan, lakune isih padha cêgah mangan, cêgah

turu. Yen sarak rasul, sirik cêgah mangan turu, mung nuruti rasaning

lesan lan awak. Yen cêgah mangan rusak, Prabu Brawijaya uga banjur

paring idi. Suwe-suwe agama Rasul saya sumêbar. Ing wêktu iku ana

nalar kang aneh, ora kêna dikawruhi sarana netra karna sarta lesan,

wêtune saka engêtan, jroning utêk iku yen diwarahi budi nyambut

gawe, kang maca lan kang krungu nganggêp têmên lan ora, iya kudu

ditimbang ing sabênêre, saiki isih ana wujuding patilasane, isih kêna

dinyatakake, mula saka pangiraku iya nyata.

Dhek nalika samana Sunan Benang sumêdya tindak marang Kadhiri,

kang ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing

tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan

Benang sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali

banjur niti-niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.

Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung

sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono

akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung

dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan

mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah. Sunan Benang

ngandika: “Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah

iku ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah”.

Ki Bandar matur: “Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang

nêkseni”.

Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah, nganti

têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono mau

arang kang padha ngrêti mula-bukane.

Sunan Benang ngandika marang sakabate: “Kowe goleka banyu imbon

mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen diombe

nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp

salat”.

Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu,

têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang,

kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing

wêktu iku lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: “mBok

Nganten, kula nêdha toya imbon bêning rêsik”.

mBok Prawan kaget krungu swarane wong lanang, barêng noleh

wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan salah cipta, pangrasane

wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang dheweke, mula ênggone

mangsuli nganggo têmbung saru: “nDika mêntas liwat kali têka ngangge

ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu

banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng

ngombe”.

Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit

lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan, satêkane ngarsane

Sunan Benang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu.

Sunan Benang mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu

pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang

banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen

durung dadi jaka tuwa, barêng kêna dayaning pangandika mau, ing

sanalika kali Brantas iline dadi cilik, iline banyu kang gêdhe nyimpang

nrabas desa alas sawah lan patêgalan, akeh desa kang padha rusak,

awit katrajang ilining banyu kali kang ngalih iline, kali kang maune

iline gêdhe sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah

iku larang banyu, jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-

omah. Sunan Benang têrus tindak mênyang Kadhiri.

Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing

sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana

wong arane Sunan Benang, gawene nyikara marang para lêlêmbut,

ngêndêl-êndêlake kaprawirane, kali kang saka Kadhiri disotake banjur

asat sanalika, iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh

desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka

panggawene Sunan Benang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang

wadon ngantiya kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang

banyu sarta diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah, Sunan Benang

dhêmêne salah gawe.

Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma

nêluh sarta ngrêridhu Sunan Benang, bisaa tumêka ing pati, dadi ora

tansah ganggu gawe. Nyai Plêncing krungu wadule anak putune

mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Benang,

nanging dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Benang, amarga

rasane awake padha panas bangêt kaya diobong. Dhêmit-dhêmit mau

banjur padha mlayu marang Kadhiri, satêkane ing Kadhiri, matur

marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. ratune manggon ing

Selabale. (6)

Jênênge Buta Locaya, dene Selabale iku dununge ana sukune gunung

Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya, maune jênênge kiyai Daha,

duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai daha iki cikal-bakal ing Kadhiri,

barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha dipundhut kanggo

jênênge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur

didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.

Buta iku têgêse: butêng utawa bodho, Lo têgêse kowe, caya têgêse:

kêna dipracaya, kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging têmên mantêp

sêtya ing Gusti, mulane didadekake patih.

Wiwite ana sêbutan kiyai, iya iku kiyai daha lan kiyai Daka, kiyai

têgêse: ngayahi anak putune sarta wong-wong ing kanan keringe.

Jêngkare Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing kono

Sang Prabu sawadya-balane disugata, mula sang Prabu asih bangêt

marang kiyai Daka, jênênge kiyai Daka dipundhut kanggo jênêng desa,

dene kiyai Daka banjur diparingi jênêng kiyai Tunggulwulung, sarta

dadi senapatining pêrang.

Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni

Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga

padha muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa

Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin.

Sakabehe lêlêmbut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe

tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.

Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai

Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen

lahar mêtu supaya ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.

Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi

kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring

mêrak, diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro

uga padha ngadhêp, kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom

aran panji Sarilaut.

Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru

têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah

lor Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka

Tuban kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Benang.

Nyai Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.

Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt

dukane, sarirane nganti kaya gêni, sanalika banjur nimbali putra-

wayahe sarta para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan

Benang. Para lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune

barêng karo angin, ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring

desa Kukum, ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai

Sumbre, dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora

ngaton, kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring

wit sambi, ngadhang lakune Sunan Benang kang saka êlor.

Ora antara suwe têkane Sunan Benang saka lor, Sunan Benang wis

ora kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku

ratuning dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya

mawa. Dene lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir

adoh, ora bêtah kêna prabawane Sunan Benang. Mangkono uga Sunan

Benang uga ora bêtah cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene

cêdhak mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.

Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên,

amarga kêna daya prabawane kiyai Sumbre.

Sunan Benang andangu marang kiyai Sumbre: “Buta Locaya! kowe

kok mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre, kowe apa padha

slamêt?”.

Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Benang ngrêtos jênênge

dheweke, dadi dheweke kawanguran karêpe, wusana banjur matur

marang Sunan Benang: “Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos

manawi kula punika Buta Locaya?”.

Sunan Benang ngandika: “Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe

ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya.”.

Kiyai Sumbre matur marang Sunan Benang: “Paduka punika tiyang

punapa, dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi.

Kados wangun walang kadung?”.

Sunan Benang ngandika maneh: “Aku bangsa ‘Arab, jênêngku Sayid

Kramat, dene omahku ing Benang tanah Tuban, mungguh kang dadi

sêdyaku arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone

Sang Prabu Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?”.

Buta Locaya banjur matur: “Wetan punika wastanipun dhusun

Mênang (9), sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta

pasanggrahanipun inggih sampun botên wontên, kraton utawi

patamanan Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan

inggih sampun sirna, pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna,

namung kantun namaning dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti

pasir sarta lahar saking rêdi Kêlut. Kula badhe pitaken, paduka

gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam, nyabdakakên ingkang botên

patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih nami Kutha Gêdhah, ngêlih

lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis toya, punika namanipun

siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa, saiba susahipun tiyang

gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên gampil pêncaripun

titahing Latawalhujwa, makatên wau saking sabda paduka, sêpintên

susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri ngalih

panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami risak,

ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat, paduka

sikara botên surup, nyikara tanpa prakara”.

Sunan Benang ngandika: “Mula ing kene tak-êlih jênêng

Kutha Gêdhah, amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe

agama biru, sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku

njaluk banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh

tak sotake larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka

tuwa, amarga kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg.”.

Buta Locaya matur maneh: “Punika namanipun botên timbang kaliyan

sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang

satunggal ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah

sangêt, botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun

damêl mlaratipun tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan

Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat ingkang langkung awrat,

amargi ngrisakakên tanah, lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên

wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih, sagêd dados

asil panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun

Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka ngarubiru agami,

punika namanipun tiyang dahwen”.

Sunan Benang ngandika: “Sanadyan kok-aturake Ratu Majalêngka

aku ora wêdi”.

Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu

Majalêngka banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: “Rêmbag paduka

niki dede rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing

bambon, ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan

dumeh dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng

tumindak sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara

botên ngangge prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên

ingkang nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta

ajrih sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya

dhatêng sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang

tunggilipun Aji Saka, muride Ijajil. Aji Saka dados Ratu tanah Jawi

namung tigang taun lajêng minggat saking tanah Jawi, sumbêr toya ing

Mêdhang saurutipun dipunbêkta minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka

Hindhu, paduka tiyang saking ‘Arab, mila sami siya-siya dhatêng

sêsami, sami damêl awising toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah

simpên budi luhur, damêl wilujêng dhatêng tiyang kathah, nanging kok

jêbul botên makatên, wujud paduka niki jajil bêlis katingal, botên

tahan digodha lare, lajêng mubal nêpsune gêlis duka, niku Sunan

napa? Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur.

Paduka niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka,

tandhane paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun

dados, lajêng paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah

wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut,

sanes alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng

wilujêngipun manusa. Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak

kula-aturi mangsulakên malih, lepen ingkang asat lan panggenan

ingkang sami katrajang toya kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun,

manawi panjênêngan botên karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi

ingkang Islam badhe sami kula-têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula

tamtu nyuwun bantu wadya bala dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin

ingkang wontên samodra kidul”.

Sunan Benang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute,

dene gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula

banjur ngandika: “Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna

mbaleni caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun,

kali iki bisa bali kaya mau-maune”.

Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Benang, banjur

nêpsu maneh, nuli matur marang Sunan Benang: “Kêdah paduka-

wangsulna sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda”.

Sunan Benang ngandika marang Buta Locaya: “Wis kowe ora kêna

mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak-jênêngake

cacil, dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong

pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta

susahe jalma lan dhêmit, dak-suwun marang Rabbana, woh sambi dadi

warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane,

asêm dadi pasêmoning ulat kêcut, dene dhêmit padu lan manusa, lênga

têgêse dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen

aku padu karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor

jênênge desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre, dene panggonane

balamu kang ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran”.

Sunan Benang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang

wetan kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana

desa aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse

kawruhan, Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.

Buta Locaya nututi tindake Sunan Benang. Sunan Benang tindake

têkan ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Benang mriksani rêca

jaran, rêca mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring

wit trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba

nganti amblasah, Sunan Benang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase

digêmpal.

Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Benang anggêmpal

êndhasing rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse:

“Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing

tekadipun wanita Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang

sumêrêp rêca punika, lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita

Jawi”.

Sunan Benang ngandika: “Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu

karo manusa, jênênge dhêmit kêmênthus”.

Buta Locaya mangsuli: “Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula

Ratu”.

Sunan Benang ngandika: “Woh trênggulun iki tak-jênêngake

kênthos, dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo

dhêmit kumênthus, prakara rusaking rêca”.

Ki Kalamwadi ngandika: “Katêlah nganti saprene, woh trênggulun

jênênge kênthos, awit saka sabdane Sunan Benang, iku pituture Raden

Budi Sukardi, guruku”.

Sunan Benang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar,

kêrsane arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana

timbane, sumure banjur digolingake, dene Sunan Benang sawise, nuli

sagêd mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.

Ki Kalamwadi ngandika: “Katêlah nganti saprene sumur mau karane

sumur Gumuling, Sunan Benang kang anggolingake, iku pituture Raden

Budi guruku, êmbuh bênêr lupute”.

Sunan Benang sawise salat banjur nêrusake tindake, satêkane desa

Nyahen (10) ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring

wit dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta

akeh kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang

mbêranang, saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Benang priksa rêca

mau gumun bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki,

ubênge bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen

dijunjung wong wolung atus ora kangkat,

kajaba yen nganggo piranti, baune têngên rêca mau disêmpal dening

Sunan Benang, bathuke dikrowak.

Buta Locaya wêruh yen Sunan Benang ngrusak rêca, dheweke nêpsu

maneh, calathune: “Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-

bêcik dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika

yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan

ngrisak rêca?”

Pangandikane Sunan Benang: “Mulane rêca iki tak-rusak, supaya aja

dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen

wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar.”

Buta Locaya calathu maneh: “Wong Jawa rak sampun ngrêtos, yen

punika rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes Hyang

Labawalhujwa, mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados

para lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng,

amargi siti utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun

manusa, mila para lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing

rêca, panjênêngan-tundhung dhatêng pundi? Sampun jamakipun

brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca, sarta nêdha ganda

wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos sumyah,

langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah ing

panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang

agêng, sampun sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan

alamipun manusa, manggen wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara,

dados panjênêngan punika têtêp tiyang jail gêndhak sikara siya-siya

dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa

Jawa ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa, wangsul

tiyang bangsa ‘Arab sami sojah Ka’batu’llah, wujude nggih tugu sela,

punika inggih langkung sasar”.

Pangandikane Sunan Benang: Ka’batu’llah iku kang jasa Kangjêng

Nabi Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi

wong akeh, sing sapa sujud marang Ka’batu’llah, Gusti Allah paring

pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing ‘alam pangumbaran”.

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Tandhane napa yen angsal sihe

Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa sampun

angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?

Sunan Benang ngandika maneh: “Kang kasêbut ing kitabku, besuk

yen mati oleh kamulyan”.

Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: “Pêjah malih yen sumêrêpa,

kamulyan sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup, sasar

nyêmbah tugu sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi

dhatêng rêdi Kêlut kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami

maujud piyambak saking sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking

dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos, manusa sadaya kêdah sumêrêp ing

Batu’llahipun, badanipun manusa punika Baitu’llah ingkang sayêktos,

sayêktos yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika kêdah

dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun badanipun, sumêrêp budi

hawanipun, inggih punika ingkang kenging kangge tuladha. Sanadyan

rintên dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga pêtêng,

kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu damêlan Nabi,

Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta, pinaringan

wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun têrus, sumêrêp

cipta sasmita ingkang dereng kalampahan. Dene ingkang yasa rêca

punika Prabu Jayabaya, inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos,

pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih engêtan sidik

paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka

pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking

lêluhuripun. sami-sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar

sastra saking lêluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun taksih

kenging dipuntingali. Tiyang nyungkêmi kabar ‘Arab, dereng ngrêtos

kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos, anggêga ujaripun

tiyang nglêmpara. Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade

mulyaning nagari Mêkah, kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas,

awis toya, tanêm-tanêm tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun bantêr

awis jawah, manawi tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika

nagari cilaka, malah kathah tiyang sade tinumbas tiyang, kangge

rencang tumbasan. Panjênêngan tiyang duraka, kula-aturi kesah saking

ngriki, nagari Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun

cêkapan, tanah pasir mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd

tuwuh, tiyangipun jalêr bagus, wanitanipun ayu, madya luwês

wicaranipun. Rêmbag panjênêngan badhe priksa pusêring jagad, inggih

ing ngriki ingkang kula-linggihi punika, sapunika panjênêngan ukur,

manawi kula lêpat panjênêngan jotos.

Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang

nêdha kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca punika

Maha Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan,

panjênêngan punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula-

aturi kesah kemawon saking ngriki, manawi botên purun kesah

sapunika, badhe kula-undhangakên adhi-kula ingkang wontên ing rêdi

Kêlut, panjênêngan kula-kroyok punapa sagêd mênang, lajêng kula-

bêkta mlêbêt dhatêng kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên

badhe susah, punapa panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados

kula? Mangga dhatêng Selabale, dados murid kula!”.

Sunan Benang ngandika: “Ora arêp manut rêmbugmu, kowe setan

brêkasakan”.

Buta Locaya mangsuli: “Sanadyan kula dhêmit, nanging dhêmit raja,

mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tampu mulya kados kula,

tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan

dhatêng tanah Jawi, wontên ing ‘Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen

panjênêngan mulya tamtu botên kesah saking ‘Arab, mila minggat,

saking lêpat, tandhanipun wontên ing ngriki taksih krejaban, maoni

adating uwong, maoni agama, damêl risak barang sae, ngarubiru

agamane lêluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhatêng Mênadhu”.

Sunan Benang ngandika: “Dhadhap iki kêmbange tak jênêngake

celung, uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung

rêmbag, dadiya pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh

kalah nalar”.

Mula katêlah nganti tumêka saprene, woh dhadhap jênênge

kledhung, kêmbange aran celung.

Sunan Benang banjur pamitan: “Wis aku arêp mulih mênyang

Benang”.

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Inggih sampun, panjênêngan

enggala kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar, manawi

kadangon wontên ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis

wos, nambahi bênter, nyudakakên toya”.

Sunan Benang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga

banjur mulih. Gênti kang cinarita, nagari ing Majalêngka, anuju

sawijining dina, Sang Prabu Brawijaya miyos sinewaka, diadhêp Patih

sarta para wadya bala, Patih matur, yen mêntas nampani layang saka

Tumênggung ing Kêrtasana, dene surasane layang ngaturi uninga yen

nagara Kêrtasana kaline asat, kali kang saka Kadhiri miline nyimpang

mangetan, saperanganing layang mau unine mangkene: “Wontên ler-

kilen Kadhiri, pintên-pintên dhusun sami karisakan, anggenipun

makatên wau, saking kenging sabdanipun ngulama saking ‘Arab,

namanipun Sunan Benang.

Sang Prabu mirêng ature Patih bangêt dukane, Patih banjur diutus

mênyang Kêrtasana, niti-priksa ing kono kabeh, kahanane wonge sarta

asile bumi kang katrajang banyu kapriye? Sarta didhawuhi nimbali

Sunan Benang.

Gêlising carita, Patih sawise niti-priksa, banjur ngaturake kahanane

kabeh, dene duta kang diutus mênyang Tuban uga wis têka, matur yen

ora oleh gawe, amarga Sunan Benang lunga ora karuhan parane.

Sang Prabu midhangêt ature para wadya banjur duka, paring

pangandika yen ngulama saka ‘Arab pada ora lamba atine. Sang Prabu

banjur dhawuh marang Patih, wong ‘Arab kang ana ing tanah Jawa

padha didhawuhi lunga, amarga gawe ribêding nagara, mung ing Dêmak

lang Ngampelgadhing kang kêparêng ana ing tanah Jawa, nglêstarekake

agamane, liyane loro iku didhawuhi ngulihake mênyang asale, dene yen

padha ora gêlêm lunga didhawuhi ngrampungi bae.

Ature Patih: “Gusti! lêrês dhawuh paduka punika, amargi ngulama

Giripura sampun tigang taun botên sowan utawi botên ngaturakên

bulubêkti, mênggah sêdyanipun badhe rêraton piyambak, botên

ngrumaosi nêdha ngombe wontên tanah Jawi, dene namanipun santri

Giri anglangkungi asma paduka, pêparabipun Sunan ‘Aênalyakin,

punika nama ing têmbung ‘Arab, mênggah têgêsipun Sunan punika

budi, têgêsipun Aenal punika ma’rifat, têgêsipun Yakin punika wikan,

sumêrêp piyambak, dados nama tingal ingkang têrus, suraosipun ing

têmbung Jawi nama Prabu Satmata, punika asma luhur ingkang makatên

punika ngirib-irib tingalipun Kang Maha Kuwasa, mariksa botên

kasamaran, ing alam donya botên wontên kalih ingkang asma Sang

Prabu Satmata, kajawi namung Bathara Wisnu nalika jumênêng Nata

wontên ing nagari Mêdhang-Kasapta.

Sang Prabu midhangêt ature Patih, banjur dhawuh nglurugi

pêrang mênyang Giri, Patih budhal ngirid wadya-bala prajurit, nglurug

mênyang Giri. Patih sawadya-balane satêkane ing Giri banjur campuh

pêrang. Wong ing Giri geger, ora kuwat nanggulangi pangamuke wadya

Majapahit. Sunan Giri mlayu mênyang Benang, golek kêkuwatan, sawise

oleh bêbantu, banjur pêrang maneh mungsuh wong Majalêngka,

pêrange rame bangêt, ing wêktu iku tanah jawa wis meh saparo kang

padha ngrasuk agama Islam, wong-wong ing Pasisir lor wis padha

agama Islam, dene kang kidul isih têtêp nganggo agama Buddha.

Sunan Benang wis ngrumasani kaluputane, ênggone ora sowan

mênyang Majalêngka, mula banjur lunga karo Sunan Giri mênyang

Dêmak, satêkane ing Dêmak, banjur ngêbang marang Adipati Dêmak,

diajak nglurug mênyang Majalêngka, pangandikane Sunan Benang

marang Adipati Dêmak: “Wêruha yen saiki wis têkan masa rusake

Kraton Majalêngka, umure wis satus têlu taun, saka panawangku, kang

kuwat dadi Ratu tanah Jawa, sumilih Kaprabon Nata, mung kowe,

rêmbugku rusakên Kraton Majalêngka, nanging kang sarana alus, aja

nganti ngêtarani, sowana besuk Garêbêg Mulud, nanging rumantiya

sikêping pêrang: 1. gaweya samudana, 2. dhawuhana balamu para

Sunan kabeh lan para Bupati kang wis padha Islam kumpulna ana ing

Dêmak, yen kumpule iku arêp gawe masjid, mêngko yen wis kumpul,

para Sunan sarta Bupati sawadya-balane kang wis padha Islam, kabeh

mêsthi nurut marang kowe”.

Ature Adipati Dêmak: “Kula ajrih ngrisak Nagari Majalêngka,

amêngsah bapa tur raja, kaping tiganipun damêl sae paring kamukten

ing dunya, lajêng punapa ingkang kula-walêsakên, kajawi namung

sêtya tuhu. Dhawuhipun eyang Sunan Ngampelgadhing, botên kaparêng

yen kula mêngsah bapa, sanadyan Buddha nanging margi-kula sagêd

dumados gêsang wontên ing dunya. Inggih sanadyan Buddha punapa

kapir, tiyang punika bapa inggih kêdah dipunhurmati, punapa malih

dereng wontên lêpatipun dhatêng kula”.

Sunan Benang ngandika mêneh: “Sanadyan mungsuh bapa lan ratu,

ora ana alane, amarga iku wong kapir, ngrusak kapir Buddha kawak:

kang kok-têmu ganjaran swarga. Eyangmu kuwi santri mêri, gundhul

bêntul butêng tanpa nalar, patute mung dadi godhogan, sapira

kawruhe Ngampelgadhing, bocah kalairan Cêmpa, masa padhaa karo aku

Sayid Kramat, Sunan Benang kang wis dipuji wong sabumi ‘alam,

têdhak Rasul panutaning wong Islam kabeh. Kowe mungsuh bapakmu

Nata, sanadyan dosa pisan, mung karo wong siji, tur ratu kapir,

nanging yen bapakmu kalah, wong satanah Jawa padha Islam kabeh.

Kang mangkono iku, sapira mungguh kauntunganmu nugrahaning

Pangeran tikêl kaping êmbuh, sihing Hyang Kang Maha Kuwasa kang

dhawuh marang kowe. Satêmêne ramanira iku siya-siya marang sira,

tandhane sira diparingi jênêng Babah, iku ora prayoga, têgêse Babah

iku saru bangêt, iya iku: bae mati bae urip, wiji jawa digawa Putri

Cina, mula ibumu diparingake Arya Damar, Bupati ing Palembang, wong

pranakan buta; iku mêgat sih arane. Ramanira panggalihe têtêp ora

bêcik, mulane rêmbugku, walêsên kalawan alus, lire aja katara, ing

batin sêsêpên gêtihe, mamahên balunge”.

Sunan Giri nyambungi rêmbug: Aku iki ora dosa dilurugi ramamu,

didakwa rêraton, amarga aku ora seba marang Majalêngka. Sumbare

Patih, yen aku kacandhak arêp dikuciri lan dikon ngêdusi asu, akeh

bangsa Cina kang padha têka ana ing tanah Jawa, ana ing Giri padha

tak-Islamake awit kang muni ing kitabku, yen ngislamake wong kapir,

besuk ganjarane swarga, mula akeh bangsa Cina kang padha tak-

Islamake, tak-anggêp kulawarga. Dene têkaku mrene ini ngungsi urip

mênyang kowe, aku wêdi marang Patih Majalêngka, lan ramanira sêngit

bangêt marang santri kang muji dhikir, ênggone ngarani jare lara

ayan esuk lan sore, yen kowe ora ngukuhi, mêsthi rusak agama

Mukhammad Nabi”.

Wangsulane Sang Adipati Dêmak: “Anggenipun nglurugi punika lêrês,

tiyang rêraton, botên ngrumaosi yen kêdah manut prentahing Ratu

ingkang mbawahakên, sampun wajibipun dipunlurugi, dipunukum pêjah,

awit panjênêngan botên ngrumaosi dhahar ngunjuk wontên in tanah

Jawi”.

Sunan Benang ngandika maneh: “Yen ora kok-rêbut dina iki, kowe

ngênteni surude bapakmu, kaprabone bapakmu wis mêsthi ora bakal

tiba kowe, mêsthi dipasrahake marang Adipati Pranaraga, amarga iku

putrane kang tuwa, utawa dipasrahake marang putra mantu, iya iku Ki

Andayaningrat ing Pêngging, kowe anak nom, ora wajib jumênêng Nata,

mumpung iki ana lawang mênga, Giri kang dadi jalarane ngrusak

Majalêngka, nadyan mati, mungsuh wong kapir, mati sabilu’llah, patine

slamêt nampani swarga mulya, wis wajibe wong Islam mati dening wong

kapir, saka ênggone nyungkêmi agamane, karo wis wajibe wong urip

golek kamuktening dunya, golek darajat kang unggul dhewe, yen wong

urip ora wêruh marang uripe, iku durung gênêp uripe, lamun sipat

manusa mêsthi melik mêngku praja angreh wadya bala, awit Ratu iku

Khalifa wakile Hyang Widdhi, apa bae kang dikarêpake bisa kêlakon,

satêmêne kowe wis pinasthi bakal jumênêng Ratu ana ing tanah Jawa,

sumilih kaprabone ramamu, ananging ing laire iya kudu nganggo sarat

dirêbut sarana pêrang, yen kowe ora gêlêm nglakoni, mêsthine sihe

Gusti Allah kang mênyang kowe bakal dipundhut bali, dadi kowe

jênênge nampik sihe Allah, aku mung sadarma njurungi, amarga aku

wis wêruh sadurunge winarah, wis tak-sêmprong nganggo sangkal

bolong katon nêrawang ora samar sajroning gaib, kowe kang katiban

wahyu sihe Pangeran, bisa dadi Ratu ana ing tanah Jawa, murwani

agama suci, ambirat ênggonmu madêg Narendra, bisa ngideni adêgmu

Nata mêngku tanah Jawa, bisa lêstari satêruse”.

Akeh-akeh dhawuhe Sunan Benang, pambujuke marang adipati Dêmak

supaya mêtu nêpsune, gêlêm ngrusak Majalêngka, malah diwenehi

lêpiyan carita Nabi, kang gêlêm ngrusak bapa kapir, iku padha nêmu

rahayu.

Adipati Dêmak matur: “Manawi karsa panjênêngan makatên, kula

namung sadarmi nglampahi dhawuh, panjênêngan ingkang mbotohi”.

Sunan Benang ngandika maneh: “Iya mangkono iku kang tak-

karêpake, saiki kowe wis gêlêm tak-botohi, lah saiki uga kowe kirima

layang marang adhimu Adipati Têrung, ananging têmbungmu kang rêmit

sarta alus, adhimu antêpên, apa abot Sang Nata, apa abot sadulur tuwa

kang tunggal agama. Yen adhimu wis rujuk adêgmu Nata, gampang

bangêt rusaking Majalêngka. Majapahit sapa kang diêndêlake yen

Kusen wis mbalik, Si gugur isih cilik, masa ndadak waniya, Patihe wis

tuwa, dithothok bae mati, mêsthi ora bisa nadhahi yudamu”.

Adipati Dêmak banjur kirim layang marang Têrung, ora suwe

utusan bali, wis tinampan wangsulane Sang Adipati Têrung, saguh

ambiyantu pêrang, layang banjur katur Sunan Benang, ndadekake

sukaning panggalih, Sunan Benang banjur ngandika marang Adipati

Dêmak, supaya Sang Adipati ngaturi para Sunan lan para Bupati kabeh,

samudana yen arêp ngêdêgake masjid, lan diwenehana sumurup yen

Sunan Benang wis ana ing Dêmak. Gêlising carita, ora suwe para Sunan

lan para Bupati padha têka kabeh, banjur pakumpulan ngêdêgake

masjid, sawise mêsjid dadi, banjur padha salat ana ing masjid,

sabakdane salat, banjur tutup lawang, wong kabeh dipangandikani

dening Sunan Benang, yen Adipati Dêmak arêp dijumênêngake Nata,

sarta banjur arêp ngrusak Majapahit, yen wis padha rujuk, banjur

arêp kêpyakan tumuli. Para Sunan lan para Bupati wis padha rujuk

kabeh, mung siji kang ora rujuk, iya iku Syekh Sitijênar. Sunan

Benang duka, Syekh Sitijênar dipateni, dene kang kadhawuhan mateni

iya iku Sunan Giri, Syekh Sitijênar dilawe gulune mati.

Sadurunge Syekh Sitijênar tumêka ing pati, ninggal swara: “Eling-

eling ngulama ing Giri, kowe ora tak-walês ing akhirat, nanging tak-

walês ana ing dunya kene bae, besuk yen ana Ratu Jawa kanthi wong

tuwa, ing kono gulumu bakal tak-lawe gênti”.

Sunan Giri mangsuli: “Iya besuk wani, saiki wani, aku ora bakal

mundur”.

Sawise golong karêpe, nglêstarekake apa kang wis dirêmbug.

Sang Adipati Dêmak banjur ingidenan jumênêng Nata, amêngku tanah

Jawa, jêjuluk Senapati Jimbuningrat, patihe wong saka Atasaning aran

Patih Mangkurat. Esuke Senapati Jimbuningrat wis miranti sapraboting

pêrang, banjur budhal mênyang Majapahit, diiringake para Sunan lan

para Bupati, lakune kaya dene Garêbêg Maulud, para wadya bala ora

ana kang ngrêti wadining laku, kajaba mung para Tumênggung lan

para Sunan apa dene para ngulama, Sunan Benang lan Sunan Giri ora

melu mênyang Majapahit, pawadane sarehne wis sêpuh, mung arêp salat

ana ing masjid bae, lan paring idi rahayuning laku, dadi mung para

Sunan lan para Bupati bae kang ngiringake Sultan Bintara, ora

kacarita lakune ana ing dalan.

Gênti kocapa nagara in Majapahit, Patih saulihe saka ing Giri

banjur matur sang Praba, bab ênggone mukul pêrang ing Giri,

mungguh kang dadi senapati ing Giri iya iku sawijining bangsa Cina

kang wis ngrasuk agama Islam, arane Sêcasena, mangsah mêncak

nganggo gêgêman abir, sawadya-balane watara wong têlung atus, padha

bisa mêncak kabeh, brêngose capang sirahe gundhul, padha manganggo

srêban cara kaji, mangsah pêrang paculat kaya walang kadung, wadya

Majapahit ambêdhili, dene wadya-bala ing Giri pating jênkelang ora

kêlar nadhahi tibaning mimis. Senapati Sêcasena wis mati, dene bala

Cina liyane lang kari padha mlayu salang tunjang, bala ing Giri

ngungsi mênyang alas ing gunung, sawêneh ngambang ing sagara,

mlayu mênyang Benang têrus diburu dening wadya-bala Majapahit,

Sunan Giri lan Sunan Benang banjur nunggal saprau-layar ngambang

ing sagara, kinira banjur minggat marang Arab ora bali ngajawa. Sang

Prabu banjur dhawuh marang Patih, supaya utusan mênyang Dêmak,

andhawuhake yen ngulama ing Giri lan ing Benang padha têka ing

Dêmak, didhawuhi nyêkêl, kaaturna bêbandan ing ngarsa Nata, awit

dosane santri Benang ngrusak bumi ing Kêrtasana, dene dosane santri

Giri ora gêlêm seba marang ngarsa Prabu, tekade sumêdya nglawan

pêrang.

Patih samêtune ing paseban jaba, banjur nimbali duta kang arêp

diutus mênyang Dêmak, sajrone ana ing paseban jaba, kêsaru têkane

utusane Bupati ing Pathi, ngaturake layang marang Patih, layang

banjur diwaos kiyai Patih, mungguh surasaning layang. Menak

Tunjungpura ing Pathi ngaturi uninga, yen Adipati ing Dêmak, iya iku

Babah Patah, wis madêg Ratu ana ing Dêmak, dene kang ngêbang-

êbang adêging Nata, iya iku Sunan Benang lan Sunan Giri, para Bupati

pasisir lor sawadyane kang wis padha Islam uga padha njurungi, dene

jêjuluking Ratu, Senapati Jimbuningrat, utawa Sultan Syah ‘Alam

Akbar Siru’llah Kalifatu’rrasul Amiri’lmukminin Tajudi’l’Abdu’lhamid

Kak, iya Sultan Adi Surya ‘Alam, ing Bintara.

Ing samêngko Babah Patah sawadya-balane wis budhal nglurug

marang Majapahit, sêdya mungsuh ingkang rama, Babah Patah abot

mênyang gurune, ngenthengake ingkang rama, para Sunan lan para

Bupati padha ambiyantu anggone arêp mbêdhah Majapahit. Babah Patah

anggone nggawa bala têlung lêksa miranti sapraboting pêrang,

mungguh kature Sang Prabu amborongake kiyai Patih. Layang kang

saka Pathi mau katitimasan tanggal kaping 3 sasi Mulud taun Jimakir

1303, masa Kasanga Wuku Prangbakat. Kiyai Patih sawise maos layang,

njêtung atine, sarta kêrot, gêrêng-gêrêng, gedheg-gedheg, bangêt

pangungune, banjur tumênga ing tawang karo nyêbut marang Dewa

kang Linuwih, bangêt gumune mênyang wong Islam, dene ora padha

ngrêti mênyang kabêcikane Sang Prabu, malah padha gawe ala. Kyai

Patih banjur matur Sang Prabu, ngaturake surasane layang mau.

Sang Prabu Brawijaya midhangêt ature Patih kaget bangêt

panggalihe, njêgrêg kaya tugu, nganti suwe ora ngandika, jroning

panggalih ngungun bangêt marang putrane sarta para Sunan, dene

padha duwe sêdya kang mangkono, padha diparingi pangkat, wêkasane

malah padha gawe buwana balik, kolu ngrusak Majapahit. Sang Prabu

nganti ora bisa manggalih apa mungguh kang dadi sababe, dene

putrane lan para ngulama têka arêp ngrusak karaton, digoleki nalar-

nalare tansah wudhar, lair batin ora tinêmu ing nalar, dene kok padha

duwe pikir ala.

Ing wêktu iku panggalihe Sang Prabu pêtêng bangêt, sungkawane

ratu Gêdhe kang linuwih, sinêmonan dening Dewa, kaya dene atining

kêbo êntek dimangsa ing tumaning kinjir. Sang Prabu banjur andangu

marang Patih, apa ta mungguh kang dadi sababe, dene putrane lan

para ngulama apa dene para Bupati kolu ngrusak Majapahit, ora padha

ngelingi marang kabêcikan.

Ature Patih, mratelakake yen uga ora mangêrti, amarga adoh karo

nalare, wong dibêciki kok padha malês ala, lumrahe mêsthi, padha malês

bêcik. Ki Patih uga mung gumun, dene wong Islam pikire kok padha

ora bêcik, dibêciki walêse kok padha ala.

Sang Prabu banjur ngandika marang patih, bab anane lêlakon kaya

mangkono iku amarga saka lêpate sang nata piyambak, dene

nggêgampang marang agama kang wis kanggo turun-tumurun, sarta

ênggone kêgiwang marang ature Putri Cêmpa, ngideni para ngulama

mêncarake agama Islam. Sang Nata saka putêking panggalihe nganti

kawêdhar pangandikane ngêsotake marang wong Islam: Sun-suwung

marang Dewa Gung, muga winalêsna susah-ingsun, wong Islam iku

besuk kuwalika agamanira, manjalma dadi wong kucir, dene tan wruh

kabêcikan, sun-bêciki walêse angalani”. “Sabdaning Ratu Agung

sajroning kasusahan, katarima dening Bathara, sinêksen ing jagad,

katandhan ana swara jumêgur gêtêr patêr sabuwana, iya iku kawitane

manuk kuntul ana kang kucir. Sunan, ngulama kabeh ngrangkêp

jênêng walikan, katêlah tumêka saprene, ngulama jênênge walian,

kuntul kucir githoke.

Sang Prabu banjur mundhut pamrayoga marang Patih, prakara

têkane mungsuh, santri kang ngrêbut nagara, iku dilawan apa ora?

Sang Nata rumaos gêtun lan ngungun, dene Adipati Dêmak kapengin

mêngkoni Majapahit bae kok dirêbut sarana pêrang, saupama disuwun

kalayan aris bae mêsthi diparingake, amarga Sang Nata wis sêpuh.

Ature Patih prayoga nglawan têkaning mungsuh. Sang Prabu ngandika,

yen nganti nglawan rumaos lingsêm bangêt, dene mungsuh karo putra,

mula dhawuhe Sang Prabu, yen mapag pêrang kang sawatara bae, aja

nganti ngrusakake bala.

Patih didhawuhi nimbali Adipati Pêngging sarta Adipati Pranaraga,

amarga putra kang ana ing Majapahit durung wanci yen mapagake

pêrang, sawise paring pangandika mangkono. Sang Prabu banjur lolos

arsa têdhak marang Bali, kadherekake abdi kêkasih, Sabdapalon lan

Nayagenggong. Sajrone Sang Prabu paring pangandika, wadya-bala

Dêmak wis pacak baris ngêpung nagara, mula kasêsa tindake. Wadya

Dêmak banjur campuh karo wadya Majapahit, para Sunan banjur

ngawaki pêrang, Patih Majapahit ngamuk ana samadyaning papêrangan.

Para Bupati Nayaka wolu uga banjur melu ngamuk. Pêrange rame

bangêt, bala Dêmak têlung lêksa, balang Majapahit mung têlung ewu,

sarehne Majapahit karoban mungsuh, prajurite akeh kang padha mati,

mung Patih sarta Bupati Nayaka pangamuke saya nêsêg. Bala Dêmak

kang katrajang mêsthi mati. Putrane Sang Prabu aran Raden

Lêmbupangarsa ngamuk ana satêngahing papêrangan, tandhing karo

Sunan Kudus, lagi rame-ramene têtandhingan pêrang, Patih Mangkurat

ing Dêmak nglambung, Putra Nata tiwas, saya bangêt nêpsune,

pangamuke kaya bantheng kataton, ora ana kang diwêdeni, Patih ora

pasah sakehing gêgaman, kaya dene tugu waja, ora ana braja kang

tumama marang sarirane, ing ngêndi kang katrajang bubar ngisis,

kang tadhah mati nggêlasah, bangkening wong tumpang tindhih, Patih

binendrongan saka kadohan, tibaning mimis kaya udan tiba ing watu.

Sunan Ngudhung mapagake banjur mrajaya, nanging ora pasah, Sunan

Ngudhung disuduk kêna, barêng Sunan Ngudhung tiwas, Patih dibyuki

wadya ing Dêmak, dene wadya Majapahit wis êntek, sapira kuwate wong

siji, wêkasan Patih ing Majapahit ngêmasi, nanging kuwandane sirna,

tinggal swara: “Eling-eling wong Islam, dibêciki gustiku walêse ngalani,

kolu ngrusak nagara Majapahit, ngrêbut nagara gawe pêpati, besuk

tak-walês, tak-ajar wêruh nalar bênêr luput, tak-damoni sirahmu,

rambutmu tak-cukur rêsik”.

Sapatine Patih, para Sunan banjur mlêbu mênyang kadhaton.

nanging sang Prabu wis ora ana, kang ana mung Ratu Mas, iya iku

Putri Cêmpa, sang Putri diaturi sumingkir mênyang Benang uga karsa.

Para prajurit Dêmak banjur padha mlêbu mênyang kadhaton, ana

ing kono pada njarah rayah nganti rêsik, wong kampung ora ana kang

wani nglawan. Raden Gugur isih timur lolos piyambak. Adipati Têrung

banjur mlêbu mênyang jêro pura, ngobongi buku-buku bêtuwah

Buddha padha diobongi kabeh, wadya sajroning pura padha bubar,

beteng ing Bangsal wis dijaga wong Têrung. Wong Majapahit kang ora

gêlêm têluk banjur ngungsi mênyang gunung lan alas-alas, dene kang

padha gêlêm têluk, banjur dikumpulake karo wong Islam, padha dikon

nyêbut asmaning Allah. Layone para putra santana lan nayaka padha

kinumpulake, pinêtak ana sakidul-wetan pura. Kuburan mau banjur

dijênêngake Bratalaya, jarene iku kubure Raden Lêmbupangarsa.

Barêng wis têlung dina, Sultan Dêmak budhal mênyang Ngampel,

dene kang dipatah tunggu ana ing Majapahit, iya iku Patih Mangkurat

sarta Adipati Têrung, njaga kaslamêtan mbokmanawa isih ana pakewuh

ing wuri, Sunan Kudus njaga ana ing kraton dadi sulihe Sang Prabu,

Têrung uga dijaga ngulama têlung atus, sabên bêngi padha salat kajat

sarta andêrês Kur’an, wadya-bala kang saparo lan para Sunan padha

ndherek Sang Prabu mênyang Ngampelgadhing, Sunan Ngampel wis

seda, mung kari garwane kang isih ana ing Ngampel, garwane mau asli

saking Tuban, putrane Arya Teja, sasedane Sunan Ngampel, Nyai Agêng

kanggo têtuwa wong Ngampel. Sang Prabu Jambuningrat satêkane ing

Ngampel, banjur ngabekti Nyai Agung, para Sunan sarta para Bupati

gênti-gênti padha ngaturake sêmbah mênyang Nyai Agêng. Prabu

Jimbuningrat matur yen mêntas mbêdhah Majapahit, ngaturake lolose

ingkang rama sarta Raden Gugur, ngaturake patine Patih ing Majapahit

lan matur yen panjênêngane wis madêg Nata mêngku tanah Jawa, dene

jêjuluke: Senapati Jimbun, sarta Panêmbahan Palembang, ênggone

sowan mênyang Ngampel iku, prêlu nyuwun idi, têtêpa jumênêng Nata

nganti run-tumurun aja ana kang nyêlani.

Nyai Agêng Ngampel sawise mirêng ature Prabu Jimbun, banjur

muwun sarta ngrangkul Sang Prabu, Nyai Agêng ing batos karaos-raos,

mangkene pangudaraosing panggalih: “Putuku, kowe dosa têlung

prakara, mungsuh Ratu tur sudarmane, sarta kang aweh kamukten ing

dunya, têka dirusak kang tanpa prakara, yen ngelingi kasaeane uwa

Prabu Brawijaya, para ngulama padha diparingi panggonan kang wis

anggawa pamêtu minangka dadi pangane, sarta padha diuja sakarêpe,

wong pancene rak sêmbah nuwun bangêt, wusana banjur diwalês ala,

seda utawa sugênge ora ana kang wêruh”.

Nyai Agêng banjur ndangu Sang Prabu, pangandikane: “Êngger!

aku arêp takon mênyang kowe, kandhaa satêmêne, bapakmu tênan kuwi

sapa? Sapa kang ngangkat kowe dadi Ratu tanah Jawa lan sapa kang

ngideni kowe? Apa sababe dene kowe syikara kang tanpa dosa?”

Sang Prabu banjur matur, yen Prabu Brawijaya iku jarene

ramane têmênan. Kang ngangkat sarirane dadi Ratu mêngku tanah Jawa

iku para Bupati pasisir kabeh. Kang ngideni para Sunan. Mulane

nagara Majapahit dirusak, amarga Sang Prabu Brawijaya ora karsa

salin agama Islam, isih ngagêm agama kapir kupur, Buddha kawak

dhawuk kaya kuwuk.

Nyai Agêng barêng mirêng ature Prabu Jimbun, banjur njêrit

ngrangkul Sang Prabu karo ngandika: “Êngger! kowe wêruha, kowe iku

dosa têlung prakara, mêsthi kêsiku ing Gusti Allah. Kowe wani

mungsuh Ratu tur wong tuwamu dhewe, sarta sing aweh nugraha

marang kowe, dene kowe kok wani ngrusak kang tanpa dosa. Anane

Islam lan kapir sapa kang gawe, kajaba mung siji Gusti Allah

piyambak. Wong ganti agama iku ora kêna dipêksa yen durung mêtu

saka karêpe dhewe. Wong kang nyungkêmi agamane nganti mati isih

nggoceki tekade iku utama. Yen Gusti Allah wis marêngake, ora susah

ngango dikon, wis mêsthi salin dhewe ngrasuk agama Islam. Gusti Allah

kang sipat rahman, ora dhawuh lan ora malangi marang wong kang

salin agama. Kabeh iki sasênênge dhewe-dhewe. Gusti Allah ora niksa

wong kapir kang ora luput, sarta ora paring ganjaran marang wong

Islam kang tumindak ora bênêr, mung bênêr karo lupute sing diadili

nganggo têtêping adil, lalar-lulurên asalmu, ibumu Putri Cêmpa

nyêmbah pikkong, wujud dluwang utawa rêja watu. Kowe ora kêna

sêngit mênyang wong kang agama Buddha, tandha mripatmu iku

lapisan, mula blero pandêlêngmu, ora ngrêti marang kang bênêr lan

kang luput, jarene anake Sang Prabu, têka kolu marang bapa, kêduga

ngrusak ora nganggo prakara, beda matane wong Jawa, Jawa Jawi

ngrêti matane mung siji, dadi wêruh ing bênêr lan luput, wêruh kang

bêcik lan kang ala, mêsthi wêdi mênyang bapa, kapindhone Ratu lan

kang aweh nugraha, iku wajib dibêkteni.

Eklasing ati bêkti bapa, ora bêkti wong kapir, amarga wis wajibe

manusa bêkti marang wong tuwane. Kowe tak-dongengi, wong Agung

Kuparman, iku agamane Islam, duwe maratuwa kapir, maratuwane

gêthing marang wong Agung amarga seje agama, maratuwane tansah

golek sraya bisane mantune mati, ewadene Wong Agung tansah wêdi-

asih lang ngaji-aji, amarga iku wong tuwane, dadi ora dielingi kapire,

nanging kang dielingi wong tuwane, mula Wong Agung iya ngaji-aji

marang maratuwane. Iya iku êngger, kang diarani wong linuwih, ora

kaya tekadmu, bapa disiya-siya, dupeh kapir Budha ora gêlêm ganti

agama, iku dudu padon. Lan aku arêp takon, apa kowe wis matur

marang wong tuwamu, kok-aturi salin agama? nagarane kok nganti

kok-rusak iku kapriye?

Prabu Jimbun matur, yen durung ngaturi salin agama, têkane

Majapahit banjur ngêpung nagara bae.

Nyai Agêng Ngampel gumujêng karo ngandika: “Tindakmu iku saya

luput bangêt, sanadyan para Nadi dhek jaman kuna, ênggone padha

wani mungsuh wong tuwane, iku amarga sabên dinane wis ngaturi

santun agama, nanging ora karsa, mangka sabên dinane wis diaturi

mujijade, kang nandhakake yen kudu wis santun agama Islam,

ananging atur mau ora dipanggalih, isih nglêstarekake agamane lawas,

mula iya banjur dimungsuh. Lamun mangkono tumindake, sanadyan

mungsuh wong tuwa, lair batine ora luput. Barêng wong kang kaya

kowe, mujijadmu apa? Yen nyata Khalifatu’llah wênang nyalini agama

lah coba wêtokna mujijadmu tak-tontone”.

Prabu Jimbun matur yen ora kagungan mujijad apa-apa, mung manut

unine buku, jare yen ngislamake wong kapir iku ing besuk oleh

ganjaran swarga.

Nyai Agêng Ngampel gumujêng nanging wêwah dukane. Ujar-jare bae

kok disungkêmi, tur dudu bukuning lêluhur, wong ngumbara kok

diturut rêmbuge, sing nglakoni rusak ya kowe dhewe, iku tandha yen

isih mêntah kawruhmu, durung wani marang wong tuwa, saka

kêpenginmu jumênêng Nata, kasusuhane ora dipikir. Kowe kuwi dudu

santri ahli budi, mung ngêndêlake ikêt putih, nanging putihe kuntul,

sing putih mung ing jaba, ing jêro abang, nalika eyangmu isih sugêng,

kowe tau matur yen arêp ngrusak Majapahit, eyangmu ora parêng,

malah manti-manti aja nganti mungsuh wong tuwa, saiki eyangmu wis

seda, wêwalêre kok-trajang, kowe ora wêdi papacuhe. Yen kowe njaluk

idi marang aku, prakara têtêpmu dadi Ratu tanah Jawa, aku ora

wênang ngideni, aku bangsa cilik tur wong wadon, mêngko rak buwana

balik arane, awit kowe sing mêsthine paring idi marang aku, amarga

kowe Khalifatu’llah sajroning tanah Jawa, mung kowe dhewe sing tuwa,

saucapmu idu gêni, yen aku tuwa tiwas, yen kowe têtêp tuwa Ratu”.

Banjure pangandikane Nyai Agêng Ngampel: “Putu! kowe tak-

dongengi kupiya patang prakara, ing kitab hikayat wis muni, carita

tanah Mêsir, panjênêngane Kanjêng Nabi Dhawud, putrane anggege

kapraboning rama, Nabi Dhawud nganti kengsêr saka nagara, putrane

banjur sumilih jumênêng Nata, ora lawas Nabi Dhawud sagêd wangsul

ngrêbut nagarane. Putrane nunggang jaran mlayu mênyang alas, jarane

ambandhang kêcanthol-canthol kayu, nganthi pothol gumantung ana ing

kayu, iya iku kang diarani kukuming Allah. Ana maneh caritane Sang

Prabu Dewata-cêngkar, iku iya anggege kapraboning rama, nanging

banjur disotake dening ingkang rama banjur dadi buta, sabên dina

mangsa jalma, ora suwe antarane, ana Brahmana saka tanah sabrang

angajawa, aran Aji Saka, anggêlarake panguwasa sulap ana ing tanah

Jawa. Wong Jawa akeh kang padha asih marang Aji Saka, gêthing

marang Dewatacêngkar, Ajisaka diangkat dadi Raja, Dewatacêngkar

dipêrangi nganti kêplayu, ambyur ing sagara, dadi bajul, ora antara

suwe banjur mati. Ana maneh caritane nagara Lokapala uga mangkono,

Sang Prabu Danaraja wani karo ingkang rama, kukume iya isih

tumindak kaya kang tak-caritakake mau, kabeh padha nêmu sangsara.

Apa maneh kaya kowe, mungsuh bapa kang tanpa prakara, kowe mêsthi

cilaka, patimu iya mlêbu mênyang yomani, kang mangkono iku kukume

Allah”.

Sang Prabu Jimbun mirêng pangandikane ingkang eyang,

panggalihe rumasa kêduwung bangêt, nanging wis ora kêna dibalekake.

Nyai Agêng Ngampel isih nêrusake pangandikane: “Kowe kuwi

dilêbokake ing loropan dening para ngulama lan para Bupati, mung

kowe kok gêlêm nglakoni, sing nglakoni cilaka rak iya mung kowe

dhewe, tur kelangan bapa, salawase urip jênêngmu ala, bisa mênang

pêrang nanging mungsuh bapa Aji, iku kowe mrêtobata marang Kang

Maha Kuwasa, kiraku ora bakal oleh pangapura, sapisan mungsuh bapa,

kapindho murtat ing Ratu, kaping têlune ngrusak kabêcikan apa dene

ngrusak prajane tanpa prakara. Adipati Pranaraga lan Adipati

Pêngging masa trimaa rusaking Majapahit, mêsthine labuh marang bapa,

iku bae wis abot sanggane”.

Nyai Agêng akeh-akeh pangandikane marang Prabu Jimbun.

Sawise Sang Prabu dipangandikani, banjur didhawuhi kondur mênyang

Dêmak, sarta didhawuhi nglari lolose ingkang rama, yen wis kêtêmu

diaturana kondur mênyang Majapahit, lan aturana mampir ing

Ngampelgadhing, nanging yen ora kêrsa, aja dipêksa, amarga yen

nganti duka mangka banjur nyupatani, mêsthi mandi.

Sang Prabu Jimbun sarawuhe ing Dêmak, para wadya padha

sênêng-sênêng lan suka-suka nutug, para santri padha trêbangan lan

dhêdhikiran, padha angucap sukur lan bungah bangêt dene Sang

Prabu wis kondur sarta bisa mênang pêrange.

Sunan Benang mêthukake kondure Sang Prabu Jimbun, Sang Nata

banjur matur marang Sunan Benang yen Majapahit wis kêlakon bêdhah,

layang-layang Buddha iya wis diobongi kabeh, sarta ngaturake yen

ingkang rama lan Raden Gugur lolos, Patih Majapahit mati ana

samadyaning papêrangan, Putri Cêmpa wis diaturi ngungsi mênyang

Benang, wadya Majapahit sing wis têluk banjur padha dikon Islam.

Sunan Benang mirêngake ature Sang Prabu Jimbun, gumujêng

karo manthuk-manthuk, sarta ngandika yen wis cocog karo panawange.

Sang Prabu matur, yen kondure uga mampir ing Ngampeldênta,

sowan ingkang eyang Nyai Agêng Ngampel, ngaturake yen mêntas saka

Majapahit, sarta nyuwun idi ênggone jumênêng Nata, nanging ana ing

Ngampel malah didukani sarta diuman-uman, ênggone ora ngrêti marang

kabêcikane Sang Prabu Brawijaya, nanging sawise, banjur didhawuhi

ngupaya ingkang rama, apa sapangandikane Nyai Agêng Ngampel

diaturake kabeh marang Sunan Benang.

Sunan Benang sawise mirêngake ature Sang Nata ing batos iya

kêduwung, rumaos lupute, dene ora ngelingi marang kabêcikane Sang

Prabu Brawijaya. Nanging rasa kang mangkono mau banjur dislamur

ing pangandika, samudanane nyalahake Sang Prabu Brawijaya lan

Patih, ênggone ora karsa salin agama Islam.

Sunan Benang banjur ngandika, yen dhawuhe Nyai Agêng

Ngampel ora pêrlu dipanggalih, amarga panimbange wanita iku mêsthi

kurang sampurna, luwih bêcik ênggone ngrusak Majapahit dibanjurake,

yen Prabu Jimbun mituhu dhawuhe Nyai Ngampeldênta, Sunan Benang

arêp kondur mênyang ‘Arab, wusana Prabu Jimbun banjur matur

marang Sunan Benang, yen ora nglakoni dhawuhe Nyai Ngampel,

mêsthine bakal oleh sabda kang ora bêcik, mula iya wêdi.

Sunan Benang paring dhawuh marang Sang Prabu, yen ingkang

rama mêksa kondur mênyang Majapahit, Sang Prabu didhawuhi sowan

nyuwun pangapura kabeh kaluputane, dene yen arêp ngaturi jumênêng

Nata maneh, aja ana ing tanah Jawa, amarga mêsthi bakal ngribêdi

lakune wong kang padha arêp salin agama Islam, supaya dijumênêngake

ana seje nagara ing sajabaning tanah Jawa.

Sunan Giri banjur nyambungi pangandika, mungguh prayoganing

laku supaya ora ngrusakake bala, Sang Prabu Brawijaya sarta putrane

bêcik ditênung bae, awit yen mateni wong kapir ora ana dosane.

Sunan Benang sarta Prabu Jimbun wis nayogyani panêmune

Sunan Giri kang mangkono mau.

Gênti kang cinarita, tindake Sunan kalijaga ênggone ngupaya Sang

Prabu Brawijaya, mung didherekake sakabat loro lakune kêlunta-lunta,

sabên desa diampiri, saka ênggone ngupaya warta. Lampahe Sunan

Kalijaga turut pasisir wetan, sing kalangkungan tindake Sang Prabu

Brawijaya.

Lampahe Sang Prabu Brawijaya wis têkan ing Blambangan, sarehne

wis kraos sayah banjur kendêl ana sapinggiring beji. Ing wêktu iku

panggalihe Sang Prabu pêtêng bangêt, dene sing marak ana ngarsane

mung kêkasih loro, iya iku Nayagenggong lan Sabdapalon, abdi loro

mau tansah gêguyon, lan padha mikir kahaning lêlakon kang mêntas

dilakoni, ora antara suwe kêsaru sowanne Sunan Kalijaga, banjur

ngabêkti sumungkêm padane Sang Prabu.

Sang Prabu banjur ndangu marang Sunan Kalijaga: “Sahid! kowe

têka ana apa? Apa prêlune nututi aku?”

Sunan Kalijaga matur: “Sowan kula punika kautus putra paduka,

madosi panjênêngan paduka, kapanggiha wontên ing pundi-pundi,

sêmbah sungkêmipun konjuka ing pada paduka Aji, nuwun pangaksama

sadaya kasisipanipun, dene ngantos kamipurun ngrêbat kaprabon

paduka Nata, awit saking kalimputing manah mudha punggung, botên

sumêrêp tata krami, sangêt kapenginipun mêngku praja angreh

wadyabala, sineba ing para bupati. Samangke putra paduka rumaos ing

kalêpatanipun, dene darbe bapa Ratu Agung ingkang anyêngkakakên

saking ngandhap aparing darajat Adipati ing Dêmak, tangeh malêsa ing

sih paduka Nata, ing mangke putra paduka emut, bilih panjênêngan

paduka linggar saking praja botên kantênan dunungipun, punika putra

paduka rumaos yen mêsthi manggih dêdukaning Pangeran. Mila kawula

dinuta madosi panjênêngan paduka, kapanggiha wontên ing pundi-

pundi ingaturan kondur rawuh ing Majapahit, têtêpa kados ingkang

wau-wau, mêngku wadya sineba para punggawa, aweta dados jêjimat

pinundhi-pundhi para putra wayah buyut miwah para santana,

kinurmatan sinuwunan idi wilujêngipun wontên ing bumi. Manawi

paduka kondur, putra paduka pasrah kaprabon paduka Nata, putra

paduka nyaosakên pêjah gêsang, yen kaparêng saking karsa paduka,

namung nyuwun pangaksama paduka, sadayaning kalêpatanipun, lan

nyuwun pangkatipun lami dados Adipati ing Dêmak, têtêpa kados

ingkang sampun.

Dene yen panjênêngan paduka botên karsa ngasta kaprabon Nata,

sinaosan kadhaton wontên ing rêdi, ing pundi sasênênging panggalih

paduka, ing rêdi ingkang karsakakên badhe dipundhêpoki, putra

paduka nyaosi busana lan dhahar paduka, nanging nyuwun pusaka

Karaton ing tanah Jawa, dipunsuwun ingkang rila têrusing panggalih”.

Sang Prabu Brawijaya ngandika: “Ingsun-rungu aturira, Sahid!

nanging ora ingsun-gatekake, karana ingsun wis kapok rêmbugan karo

santri padha nganggo mata pitu, padha mata lapisan kabeh, mula blero

pandulune, mawas ing ngarêp nanging jêbul anjênggung ing buri,

rêmbuge mung manis ana ing lambe, batine angandhut pasir

kinapyukake ing mata, murih picêka mataku siji. Sakawit ingsun bêciki,

walêse kaya kênyung buntut, apa ta salah-ingsun, têka rinusak tanpa

prakara, tinggal tata adat caraning manusa, mukul pêrang tanpa

panantang, iku apa nganggo tataning babi, dadi dudu tataning manusa

kang utama”.

Sunan Kalijaga barêng ngrungu pangandikane Sang Prabu rumasa

ing kaluputane ênggone melu mbêdhah karaton Majapahit, ing batin

bangêt panalangsane, dene kadudon kang wis kêbanjur, mula banjur

ngrêrêpa, ature: “Inggih saduka-duka paduka ingkang dhumawa

dhatêng putra wayah, mugi dadosa jimat paripih, kacancang pucuking

rema, kapêtêk wontên ing êmbun, mandar amêwahana cahya nurbuwat

ingkang wêning, rahayunipun para putra wayah sadaya. Sarehning

sampun kalêpatan, punapa malih ingkang sinuwun malih, kajawi namung

pangapuntên paduka. wangsul karsa paduka karsa tindak dhatêng

pundi?”

Sang Prabu Brawijaya ngandika: “Saiki karsaningsun arsa tindak

mênyang Bali, kêtêmu karo yayi Prabu Dewa agung ing Kêlungkung,

arsa ingsun-wartani pratingkahe si Patah, sikara wong tuwa kang

tanpa dosa, lan arsa ingsun-kon nimbali para Raja kanan kering tanah

jawa, samêkta sakapraboning pêrang, lan Adipati Palembang sun-wehi

wêruh, yen anake karo pisan satêkane tanah Jawa sun-angkat dadi

Bupati, nanging ora wêruh ing dalan, banjur wani mungsuh bapa Ratu,

sun-jaluk lilane anake arêp ingsun pateni, sabab murtat wani ing bapa

kapindhone Ratu, lan ingsun arsa angsung wikan marang Hongte ing

Cina, yen putrane wis patutan karo ingsun mêtu lanang siji, ananging

ora wêruh ing dalan, wani mungsuh bapa ratu, iya ingsun-jaluk lilane,

yen putune arsa ingsun-pateni, ingsun njaluk biyantu prajurit Cina,

samêkta sakapraboning pêrang, njujuga nagari Bali. Yen wis samêkta

sawadya prajurit, sarta padha eling marang lêlabêtan kabêcikaningsun,

lan duwe wêlas marang wong wungkuk kaki-kaki, yêkti padha têka ing

Bali sagêgamaning pêrang, sun-jak marang tanah Jawa angrêbut

kapraboningsun, iya sanadyan pêrang gêdhe gêgêmpuran amungsuh

anak, ingsun ora isin, awit ingsun ora ngawiti ala, aninggal carane

wong agung.”

Sunan Kalijaga ngrungu dhawuhe Sang Prabu kang mangkono iku

ing sanalika mung dhêlêg-dhêlêg, ngandika sajroning ati: “Tan cidra

karo dhawuhe Nyai Agêng Ngampelgadhing, yen eyang wungkuk isih

mbrêgagah nggagahi nagara, ora nyawang wujuding dhiri, kulit kisut

gêgêr wungkuk. Lamun iki ngantiya nyabrang marang Bali, ora wurung

bakal ana pêrang gêdhe tur wadya ing Dêmak masa mênanga, amarga

katindhihan luput, mungsuh ratu pindho bapa, kaping têlune kang

mbêciki, wis mêsthi bae wong Jawa kang durung Islam yêkti asih

marang Ratu tuwa, angantêp tangkêping jurit, mêsthi asor wong Islam

tumpês ing pêpêrangan.”

Wusana Sunan Kalijaga matur alon: “Dhuh pukulun Jêng Sang

Prabu! saupami paduka lajêngna rawuh ing bali, nimbali para Raja,

saestu badhe pêrang gêgêmpuran, punapa botên ngeman risakipun

nagari Jawi, sampun tamtu putra paduka ingkang badhe nêmahi

kasoran, panjênêngan paduka jumênêng Nata botên lami lajêng surud,

kaprabon Jawi kaliya ing sanes darah paduka Nata, saupami kados

dene sêgawon rêbatan bathang, ingkang kêrah tulus kêrah têtumpêsan

sami pêjah sadaya daging lan manah kathêda ing sêgawon sanesipun”.

Sang prabu Brawijaya ngandika: “Mungguh kang mangkono iki

luwih-luwih karsane Dewa Kang Linuwih, ingsun iki Ratu Binathara,

nêtêpi mripat siji, ora nganggo mata loro, mung siji marang bênêr

paningalku, kang miturut adat pranatane para lêluhur. Saupama si

Patah ngrasa duwe bapa ingsun, kêpengin dadi Ratu, disuwun

krananing bêcik, karaton ing tanah Jawa, iya sun-paringake krana

bêcik, ingsun wis kaki-kaki, wis warêg jumênêng Ratu, nrima dadi

pandhita, pitêkur ana ing gunung. Balik samêngko si Patah siya mring

sun, mêsthine-ingsun iya ora lila ing tanah Jawa diratoni, luwih

karsaning Jawata Gung, pamintane marang para titah ing wuri.”

Sunan Kalijaga barêng mirêng pangandikane Sang Prabu, rumasa

ora kaconggah ngaturi, mula banjur nyungkêmi pada, sarta banjur

nyaosake cundrike karo matur, yen Sang Prabu ora karsa nglampahi

kaya ature Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga nyuwun supaya dipateni

bae, amarga lingsêm manawa mêruhi lêlakon kang saru.

Sang Prabu nguningani patrape Sunan kalijaga kang mangkono

mau, panggalihe kanggêg, mula nganti suwe ora ngandika tansah têbah

jaja karo nênggak waspa, sêrêt pangandikane: “Sahid! linggiha dhisik,

tak-pikire sing bêcik, tak-timbange aturmu, bênêr lan lupute, têmên

lan gorohe, amarga aku kuwatir yen aturmu iku goroh kabeh.

Sumurupa Sahid! saupama aku kondur marang Majapahit, si Patah seba

mênyang aku, gêthinge ora bisa mari, amarga duwe bapa Buddha kawak

kapir kupur, liya dina lali, aku banjur dicêkêl dibiri, dikon tunggu

lawang pungkuran, esuk sore diprêdi sêmbahyang, yen ora ngrêti

banjur diguyang ana ing blumbang dikosoki alang-alang garing.”

Sang Prabu mbanjurake pangandikane marang Sunan Kalijaga:

“Mara pikirên, Sahid! saiba susahing atiku, wong wis tuwa, nyêkrukuk,

kok dikum ing banyu”.

Sunan Kalijaga gumujêng karo matur: “Mokal manawi makatên,

benjing kula ingkang tanggêl, botên-botênipun manawi putra paduka

badhe siya-siya dhatêng panjênêngan paduka, dene bab agami namung

kasarah sakarsa paduka, namung langkung utami manawi panjênêngan

paduka karsa gantos sarak rasul, lajêng nyêbut asmaning Allah,

manawi botên karsa punika botên dados punapa, tiyang namung bab

agami, pikêkahipun tiyang Islam punika sahadat, sanadyan salat

dhingklak-dhingkluk manawi dereng mangrêtos sahadat punika inggih

têtêp nama kapir”.

Sang Prabu ngandika: “Sahadat iku kaya apa, aku kok durung

ngrêti, coba ucapna tak-rungokne”.

Sunan kalijaga banjur ngucapake sahadat: ashadu ala ilaha

ila’llah, wa ashadu anna Mukhammadar-Rasulu’llah, têgêsipun: Ingsung

anêkseni, ora ana Pangeran kang sajati, amung Allah, lan anêkseni,

Kangjêng Nabi Mukhammad iku utusane Allah”.

Ature Sunan Kalijaga marang Sang Prabu: “Tiyang nêmbah

dhatêng arah kemawon, botên sumêrêp wujud têgêsipun, punika têtêp

kapiripun, lan malih sintên tiyang ingkang nêmbah puji ingkang sipat

wujud warni, punika nêmbah brahala namanipun, mila tiyang punika

prêlu mangrêtos dhatêng lair lan batosipun. Tiyang ngucap punika

kêdah sumêrêp dhatêng ingkang dipunucapakên, dene têgêsipun Nabi

Mukhammad Rasula’llah: Mukhammad punika makam kuburan, dados

badanipun tiyang punika kuburipun rasa sakalir, muji badanipun

piyambak, botên muji Mukhammad ing ‘Arab, raganipun manusa punika

wêwayanganing Dzating Pangeran, wujud makam kubur rasa, Rasul rasa

kang nusuli, rasa pangan manjing lesan, Rasule minggah swarga,

lu’llah, luluh dados êndhut, kasêbut Rasulu’llah punika rasa ala ganda

salah, riningkês dados satunggal Mukhammad Rasula’llah, kang dhingin

wêruh badan, kaping kalih wêruh ing têdhi, wajibipun manusa

mangeran rasa, rasa lan têdhi dados nyêbut Mukhammad rasulu’llah,

mila sêmbahyang mungêl “uzali” punika têgêsipun nyumêrêpi asalipun.

Dene raganipun manusa punika asalipun saking roh idlafi, rohipun

Mukhammad Rasul, têgêsipun Rasul rasa, wijile rasaning urip, mêdal

saking badan kang mênga, lantaran ashadualla, manawi botên mêngrêtos

têgêsipun sahadat, botên sumêrêp rukun Islam, botên mangrêtos

purwaning dumados”.

Sunan kalijaga ature akeh-akeh, nganti Prabu Brawijaya karsa

santun agama Islam, sawise banjur mundhut paras marang Sunan

Kalijaga nanging remane ora têdhas digunting, mulane Sunan Kalijaga

banjur matur, Sang Prabu diaturi Islam lair batos, amarga yen mung

lair bae, remane ora têdhas digunting. Sang Prabu banjur ngandika

yen wis lair batos, mulane kêna diparasi.

Sang Prabu sawise paras banjur ngandika marang Sabdapalon lan

Nayagenggong: “Kowe karo pisan tak-tuturi, wiwit dina iki aku ninggal

agama Buddha, ngrasuk agama Islam, banjur nyêbut asmaning Allah

Kang Sajati. Saka karsaku, kowe sakarone tak-ajak salin agama Rasul

tinggal agama Buddha.”

Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing

rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan

kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa,

Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki,

kula momong pikukuh lajêr Jawi, kula manawi tilêm ngantos 200 taun,

sadangunipun kula tilêm tamtu wontên pêpêrangan sadherek mêngsah

sami sadherek, ingkang nakal sami nêdha jalma, sami nêdha

bangsanipun piyambak, dumugi sapriki umur-kula sampun 2000

langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah

agamanipun, nêtêpi wiwit sapisan ngestokakên agami Buddha. Sawêg

paduka ingkang karsa nilar pikukuh luhur Jawi. Jawi têgêsipun ngrêti,

têka narimah nama Jawan, rêmên manut nunut-nunut, pamrihipun damêl

kapiran muksa paduka mbenjing.”

Sabdane Wiku tama sinauran gêtêr-patêr.

Sang Prabu Brawijaya sinêmonan dening Jawata, ênggone karsa

mlêbêt agama Rasul, iya iku rêrupan kahanan ing dunya ditambahi

warna têlu: 1: aran sukêt Jawan, 2: pari Randanunut, lan 3: pari Mriyi.

Sang Prabu andangu maneh: “Kapriye kang padha dadi

kêkêncênganmu, apa gêlêm apa ora ninggal agama Buddha, salin agama

Rasul, nyêbut Nabi Mukhammad Rasula’llah panutaning para Nabi, lan

nyêbut asmaning Allah Kang Sajati?”

Sabdapalon ature sêndhu: “Paduka mlêbêt piyambak, kula botên

têgêl ningali watak siya, kados tiyang ‘Arab. Siya punika têgêsipun

ngukum, tur siya dhatêng raga, manawi kula santun agami, saestu

damêl kapiran kamuksan-kula, ing benjing, dene ingkang mastani mulya

punika rak tiyang ‘Arab sarta tiyang Islam sadaya, anggenipun ngalêm

badanipun piyambak. Manawi kula, mastani botên urus, ngalêm saening

tangga, ngapêsakên badanipun piyambak, kula rêmên agami lami,

nyêbut Dewa Ingkang Linangkung.

Jagad punika raganipun Dewa ingkang asipat budi lan hawa, sampun

dados wajibipun manusa punika manut dhatêng eling budi karêpan,

dados botên ngapirani, manawi nyêbut Nabi Mukhammad Rasulu’llah,

têgêse Mukhammad niku makaman kubur, kubure rasa kang salah,

namung mangeran rasa wadhag wadhahing êndhut, namung tansah

nêdha eca, botên ngengêti bilahinipun ing wingking, mila nami

Mukhammad inggih makaman kuburan sakalir, roh idlafi têgêsipun

lapisan, manawi sampun risak wangsul dhatêng asalipun malih. Wangsul

Prabu Brawijaya lajêng manggen wontên pundi. Adam punika muntêl

kaliyan Hyang Brahim, têgêsipun kêbrahen nalika gêsangipun, botên

manggih raos ingkang saestu, nanging tangining raos wujud badan,

dipunwastani Mukhammadun, makaman kuburing rasa, jasanipun budi,

dados sipatipun tiyang lan raos. Manawi dipunpundhut ingkang

Mahakuwasa, sarira paduka sipate tiyang wujud dados, punika

dadosipun piyambak, lantaranipun ngabên awon, bapa biyung botên

damêl, mila dipunwastani anak, wontênipun wujud piyambak, dadosipun

saking gaib samar, saking karsaning Latawalhujwa, ingkang nglimputi

wujud, wujudipun piyambak, risak-risakipun piyambak, manawi

dipunpundhut dening Ingkang Maha Kuwasa, namung kantun rumaos

lan pangraos ingkang paduka-bêkta dhatêng pundi kemawon, manawi

dados dhêmit ingkang têngga siti, makatên punika ingkang nistha,

namung prêlu nênggani daging bacin ingkang sampun luluh dados siti,

makatên wau têtêp botên wontên prêlunipun. Ingkang makatên punika

amargi namung saking kirang budi kawruhipun, kala gêsangipun

dereng nêdha woh wit kawruh lan woh wit budi, nrimah pêjah dados

setan, nêdha siti ngajêng-ajêng tiyang ngirim sajen tuwin

slamêtanipun, ing têmbe tilar mujijat rakhmat nyukani kiyamat dhatêng

anak putunipun ingkang kantun. Tiyang pêjah botên kêbawah

pranataning Ratu ing lair, sampun mêsthi sukma pisah kaliyan budi,

manawi tekadipun sae inggih nampeni kamulyan, nanging manawi

tekadipun awon inggih nampeni siksanipun. Cobi paduka-jawab atur-

kula punika”.

Sang Prabu ngandika: “Mulih marang asale, asal Nur bali marang

Nur”.

Sabdapalon matur maneh: “Inggih punika kawruhipun tiyang

bingung gêsangipun rugi, botên gadhah kawruh kaengêtan, dereng

nêdha woh kawruh lan budi, asal siji mantuk satunggal, punika sanes

pêjah ingkang utami, dene pêjah ingkang utami punika sewu satus

têlung puluh. Têgêsipun satus punika putus, têlu punika tilas, puluh

punika pulih, wujud malih, wujudipun risak, nanging ingkang risak

namung ingkang asal saking roh idlafi. Uripipun langgêng namung

raga pisah kaliyan sukma, inggih punika sahadat ingkang botên mawi

ashadu, gantos roh idlafi lapisan: sasi surup mêsthi saking pundi

asalipun wiwit dados jalmi. Surup têgêsipun: sumurup purwa madya

wasananipun, nêtêpana namane tiyang lumampah, sampun ebah saking

prênahipun mlêbêt mbêkta sir cipta lami”.

Sang Prabu ngandika: “Ciptaku nempel wong kang luwih”.

Sabdapalon matur: “Punika tiyang kêsasar, kados dene kêmladeyan

tumemplek wit-witan agêng, botên bawa piyambak, kamuktenipun

namung nêmpil. Punika botên pêjah utami, pêjahipun tiyang nistha,

rêmênipun namung nempel, nunut-nunut, botên bawa piyambak, manawi

dipuntundhung, lajêng klambrangan, dados brêkasakan, lajêng nempel

dhatêng sanesipun malih”.

Sang Prabu ngandika maneh: “Asal suwung aku bali, mênyang

suwung, nalika aku durung maujud iya durung ana apa-apa, dadi

patiku iya mangkono”.

Sabdapalon: “Punika pêjahipun tiyang kalap nglawong, botên iman

‘ilmi, nalika gêsangipun kados kewan, namung nêdha ngombe lan tilêm,

makatên punika namung sagêd lêma sugih daging, dados nama sampun

narimah ngombe uyuh kemawon, ical gêsangipun salêbêtipun pêjah”.

Sang Prabu: “Aku nunggoni makaman kubur, yen wis luluh dadi

lêbu”.

Sabdapalon: “Inggih punika pêjahipun tiyang cubluk, dados setan

kuburan, nênggani daging wontên kuburan, daging ingkang sampun

luluh dados siti, botên mangrêtos santun roh hidlafi enggal. Inggih

punika tiyang bodho mangrêtosa. Nun!”

Sang Prabu ngandika: “Aku arêp muksa saragaku”.

Sabdapalon gumuyu: “Yen tiyang agami Rasul têrang botên sagêd

muksa, botên kuwawi ngringkês nguntal raganipun, lêma kakathahên

daging. Tiyang pêjah muksa punika cêlaka, amargi nami pêjah, nanging

botên tilar jisim, namanipun botên sahadat, botên pêjah, botên gêsang,

botên sagêd dados roh idlafi enggal, namung dados gunungan dhêmit”.

Pangandikane Sang Prabu: “Aku ora duwe cipta apa-apa, ora ikhtiar

nampik milih, sakarsane Kang Maha Kuwasa”.

Sabdapalon: “Paduka nilar sipat, botên ngrumaosi yen tinitah

linangkung, nilar wajibing manusa, manusa dipunwênangakên nampik

milih, manawi sampun narimah dados sela, sampun botên prêlu pados

‘ilmi kamulyaning seda”.

Sang Prabu: “Ciptaku arêp mulih mênyang akhirat, munggah swarga

seba Kang maha Kuwasa”.

Sabdapalon matur: “Akhirat, swarga, sampun paduka-bêkta ngaler

ngidul, jagadipun manusa punika sampun mêngku ‘alam sahir kabir,

nalika tapêl Adam, sampun pêpak: akhirat, swarga, naraka ‘arasy

kursi. Paduka badhe tindak dhatêng akhirat pundi, mangke manawi

kêsasar lo, mangka ênggene akhirat punika têgêse mlarat, saênggen-

ênggen wontên akhirat, manawi kenging kula-singkiri, sampun ngantos

kula mantuk dhatêng kamlaratan sarta minggah dhatêng akhirat adil

nagari, manawi lêpat jawabipun tamtu dipunukum, dipunbanda,

dipunpaksa nyambut damêl awrat tur botên tampa arta. Klêbêt akhirat

nusa Srênggi, nusa têgêsipun manusa, Srêng têgêsipun padamêlan

ingkang awrat sangêt. Ênggi têgêsipun gawe. Dados têgêsipun jalma

pinêksa nyambut damêl dhatêng Ratu Nusa Srênggi namanipun, punapa

botên cilaka, tiyang gêsang wontên ing dunya kados makatên wau,

sakulawargane mung nadhah bêras sapithi, tanpa ulam, sambêl, jangan

punika akhirat ingkang katingal tata lair, manawi akhiratipun tiyang

pêjah malah langkung saking punika, paduka sampun ngantos kondur

dhatêng akhirat, sampun ngantos minggah dhatêng swarga, mindhak

kêsasar, kathah rajakaya ingkang wontên ing ngriku, sadaya sami

trima tilêm kêmul siti, gêsangipun nyambut damêl kanthi paksan, botên

salah dipunpragat, paduka sampun ngantos sowan Gusti Allah, amargi

Gusti Allah punika botên kantha botên warna, wujudipun amung asma,

nglimputi wontên ing dunya tuwin ing akhirat, paduka dereng têpang,

têpangipun amung têpang kados cahyanipun lintang lan rêmbulan,

kapanggihe cahya murub dados satunggal, botên pisah botên kumpul,

têbihipun botên mawi wangênan, cêlak botên panggihan, kula botên

kuwawi cêlak, punapa malih paduka, Kangjêng Nabi Musa toh botên

kuwawi mandêng dhatêng Gusti Allah, mila Allah botên katingal, namung

Dzatipun ingkang nglimputi sadaya wujud, paduka wiji rohani, sanes

bangsanipun malaekat, manusa raganipun asal saking nutfah, sowan

Hyang Latawalhujwa, manawi panggenanipun sampun sêpuh, nyuwun

ingkang enggal, dados botên wongsal-wangsul, ingkang dipunwastani

pêjah gêsang, ingkang gêsang napasipun taksih lumampah, têgêsipun

urip, ingkang têtêp langgêng, botên ewah botên gingsir, ingkang pêjah

namung raganipun, botên ngraosakên kanikmatan, pramila tumrap

tiyang agami Buddha, manawi raganipun sampun sêpuh, suksmanipun

mêdal nyuwun gantos ingkang sae, nglangkungi ingkang sampun

sêpuh, nutfah sampun ngantos ebah saking jagadipun, jagadipun

manusa punika langgêng, botên ewah gingsir, ingkang ewah punika

makaming raos, raga wadhag ingkang asal roh idlafi.

Prabu Brawijaya botên anem botên sêpuh, nanging langgêng

manggen wontên satêngahipun jagadipun, lumampah botên ebah saking

panggenanipun, wontên salêbêting guwa sir cipta kang êning. Gawanên

gêgawanmu, ngGêgawa nêdha raga. Tulis ical, etangan gunggunge:

kumpul, plêsatipun wêtaha. Ningali jantung kêtêg kiwa: surut marga

sire cipta, jujugipun ingkang cêtha cêthik cêthak. Punika

pungkasanipun kawruh, kawruhipun tiyang Buddha. Lêbêtipun roh

saking cêthak marginipun, kendêl malih wontên cêthik, mêdal wontên

kalamwadi, kentir sagara rahmat lajêng lumêbêt ing guwa indra-

kilaning estri, tibaning nikmat ing dhasaring bumi rahmat, wontên ing

ngriku ki budi jasa kadhaton baitu’llah ingkang mulya, dadosipun

saking sabda kun, dados wontên têngahing jagad swarganing tiyang

sêpuh estri, mila jalma keblatipun wontên têngahing jagad, jagading

tiyang punika guwa sir cipta namanipun, dipunbêkta dhatêng pundi-

pundi botên ewah, umuripun sampun dipunpasthekakên, botên sagêd

ewah gingsir, sampun dipunsêrat wontên lokhil-makful, bêgja

cilakanipun gumantung wontên ing budi nalar lan kawruhipun, ingkang

ical utawi kirang ikhtiaripun inggih badhe ical utawi kirang

bêgjanipun. Wiwitanipun keblat sakawan, inggih punika wetan kilen

kidul ler : têgêsipun wetan : wiwitan manusa maujud; têgêsipun kulon :

bapa kêlonan; têgêsipun kidul : estri didudul wêtênge ing têngah;

têgêsipun lor : laire jabang bayi, tanggal sapisan kapurnaman, sênteg

sapisan tênunan sampun nigasi. Têgêsipun pur: jumbuh, na; ana wujud,

ma; madhêp dhatêng wujud; jumbuh punika têgêsipun pêpak, sarwa

wontên, mêngku alam sahir kabir, tanggalipun manusa, lairipun saking

tiyang sêpuhipun estri, sarêng tanggalipun kaliyan sadherekipun

kakang mbarêp adhi ragil, kakang mbarêp punika kawah, adhi punika

ari-ari, sadherek ingkang sarêng tanggal gaibipun, rumêksa

gêsangipun elingipun panjanmaning surya, lênggah rupa cahya,

kontêning eling sadayanipun, siyang dalu sampun sumêlang dhatêng

sadaya rêrupen, ingkang engêt sadayanipun, surup lan tanggalipun

sampun samar : kala rumiyin, sapunika lan benjing, punika kawruhipun

tiyang Jawi ingkang agami Buddha. Raga punika dipunibaratakên baita,

dene suksmanipun inggih punika tiyang ingkang wontên ing baita wau,

ingkang nêdahakên pandomipun, manawi baitanipun lumampah mangka

salah pandomipun, tamtu manggih cilaka, baita pêcah, tiyangipun rêbah.

Pramila kêdah ingkang mapan, mumpung baitanipun taksih lumampah,

manawi botên mapan gêsangipun, pêjah malih sagêda mapan, nêtêpi

kamanusanipun, manawi baitanipun bibrah, inggih pisah kaliyan

tiyangipun; têgêsipun suksma ugi pisah kaliyan budi, punika

namanipun sahadat, pisahipun kawula kaliyan Gusti, sah têgêsipun

pisah, dat punika Dzating Gusti, manawi sampun pisah raga suksma,

budinipun lajêng santun baitu’llah, napas tali, muji dhatêng Gusti,

manawi pisaha raga suksma lan budi, mrêtitis ingkang botên-botên, yen

tunggal, kabêsaran, tanggalipun botên surup salaminipun, punika

kêdah ingkang waspada, ngengêtana dhatêng asaling kawula, kawula

ugi wajib utawi wênang matur dhatêng Gusti, nyuwun baitu’llah

ingkang enggal, ngungkulana ingkang lami. Raganing manusa punika

namanipun baitu’llah, inggih prau gaweyaning Allah, dadosipun saking

sabda kun, manawi baitanipun tiyang Jawi sagêd mapan santun

baitu’llah malih ingkang sae, baitanipun tiyang Islam gêsangipun

kantun pangrasa, praunipun sampun rêmuk, manawi suksma punika

pêjah ing ‘alam dunya suwung, botên wontên tiyang, manawi tiyang

punika têrus gêsang, ing dunya kêbak manusa, lampahipun saking

ênem urut sêpuh, ngantos roh lapisan, sanadyan suksmanipun tiyang,

nanging manawi tekadipun nasar, pêjahipun manjalma dados kuwuk,

sanadyan suksmanipun kewan, nanging sagêd manjalma dados tiyang

(kajêngipun, adiling Kawasa tiyang punika pinasthi ngundhuh wohing

panggawene piyambak-piyambak). Nalika panjênênganipun Bathara

Wisnu jumênêng Nata wontên ing Mêndhang Kasapta, sato wana tuwin

lêlêmbut dipuncipta dados manusa, dados wadya-balanipun Sang Nata.

Nalika eyang paduka Prabu Palasara iyasa kadhaton wontên ing

Gajahoya, sato wana tuwin lêlêmbut inggih dipuncipta dados tiyang,

pramila gandanipun tiyang satunggal-satunggalipun beda-beda,

gandanipun kadosdene nalika taksih dados sato kewan. Sêrat tapak

Hyang, ingkang dipunwastani Sastrajendrayuningrat, dados saking

sabda kun, ingkang dipunwastani jithok têgêsipun namung puji thok.

Dewa ingkang damêl cahya murub nyrambahi badan, têgêsipun incêngên

aneng cêngêlmu. Jiling punika puji eling marang Gusti. Punuk

têgêsipun panakna. Timbangan têgêsipun salang.

Pundhak punika panduk, urip wontên ing ‘alam dunya pados

kawruh kaliyan woh kuldi, manawi angsal woh kuldi kathah,

untungipun sugih daging, yen angsal woh kawruh kathah, kenging

kangge sangu gêsang, gêsang langgêng ingkang botên sagêd pêjah.

Têpak têgêsipun têpa-tapanira. Walikat: walikane gêsang. Ula-ula:

ulatana, lalarên gêgêrmu sing nggligir. Sungsum têgêsipun

sungsungên. Lambung: waktu Dewa nyambung umur, alamipun jalma

sambungan, lali eling urip mati. Lêmpeng kiwa têngên têgêsipun

tekadmu sing lêmpêng lair batin, purwa bênêr lawan luput, bêcik lawan

ala. Mata têgêsipun tingalana batin siji, sing bênêr keblatira, keblat lor

bênêr siji. Têngên têgêsipun têngênên ingkang têrang, wontên ing

dunya amung sadarmi ngangge raga, botên damêl botên tumbas.

Kiwa têgêsipun: raga iki isi hawa kêkajêngan, botên wênang ngêkahi

pêjah. Makatên punika ungêling sêrat. Manawi paduka maibên, sintên

ingkang damêl raga? Sintên ingkang paring nama?

inggih namung Latawalhujwa, manawi paduka maibên, paduka têtêp

kapir, kapiran seda paduka, botên pitados dhatêng sêratipun Gusti,

sarta murtat dhatêng lêluhur Jawi sadaya, nempel tosan, kajêng sela,

dados dhêmit têngga siti, manawi paduka botên sagêd maos sastra

ingkang wontên ing badanipun manusa, saseda paduka manjalma

dhatêng kuwuk, dene manawi sagêd sagêd maos sastra ingkang wontên

ing raga wau, saking tiyang inggih dados tiyang, kasêbut ing sêrat

Anbiya, Kanjêng Nabi Musa kala rumiyin tiyang ingkang pêjah wontên

ing kubur, lajêng tangi malih, gêsangipun gantos roh lapis enggal,

gantos makam enggal. Manawi paduka ngrasuk agami Islam, tiyang Jawi

tamtu lajêng Islam sadaya. Manawi kula, wadhag alus-kula sampun

kula-cakup lan kula-carub, sampun jumbuh dados satunggal, inggih

nglêbêt inggih jawi, dados kantun sasêdya-kula kemawon, ngadam

utawi wujud sagêd sami sanalika, manawi kula kêpengin badhe wujud,

inggih punika wujud-kula, sêdya ngadam, inggih sagêd ical sami

sanalika, yen sêdya maujud sagêd katingal sanalika. Raga-kawula

punika sipating Dewa, badan-kawula sakojur gadhah nama piyambak-

piyambak. Cobi paduka-dumuk: pundi wujudipun Sabdapalon, sampun

kalingan pajar, saking pajaripun ngantos sampun botên katingal

wujudipun Sabdapalon, kantun asma nglimputi badan, botên ênem botên

sêpuh, botên pêjah botên gêsang, gêsangipun nglimputi salêbêting

pêjahipun, dene pêjahipun nglimputi salêbêting gêsangipun, langgêng

salaminipun”.

Sang Prabu ndangu: “Ana ing ngêndi Pangeran Kang Sajati?”

Sabdapalon matur: “Botên têbih botên cêlak, paduka wayangipun

wujud sipating suksma, dipunanggêp sarira tunggal, budi hawa badan,

tiga-tiga punika tumindakipun; botên pisah, nanging inggih botên

kumpul. Paduka punika sampun Ratu linuhung tamtu botên badhe

kêkilapan dhatêng atur-kula punika”.

Sang Prabu ngandika maneh: “Apa kowe ora manut agama?”

Sabdapalon ature sêndhu: “Manut agami lami, dhatêng agami enggal

botên manut! Kenging punapa paduka gantos agami têka botên nantun

kula, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda

têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat,

Genggong: langgêng botên ewah.

Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat

pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”

Sang Prabu ngandika: “Kapriye iki, aku wis kêbacut mlêbu agama

Islam, wis disêkseni Sahid, aku ora kêna bali agama Buddha maneh,

aku wirang yen digêguyu bumi langit.”

Sabdapalon matur maneh: “Inggih sampun, lakar paduka-lampahi

piyambak, kula botên tumut-tumut.”

Sunan Kalijaga banjur matur marang Sang Prabu, kang surasane ora

prêlu manggalih kang akeh-akeh, amarga agama Islam iku mulya

bangêt, sarta matur yen arêp nyipta banyu kang ana ing beji, prêlu

kanggo tandha yêkti, kapriye mungguh ing gandane. Yen banyu dicipta

bisa ngganda wangi, iku tandha yen Sang Prabu wis mantêp marang

agama Rasul, nanging yen gandane ora wangi, iku anandhakake: yen

Sang Prabu isih panggalih Buddha. Sunan Kalijaga banjur nyipta,

padha sanalika banyu sêndhang banjur dadi wangi gandane, ing kono

Sunan kalijaga matur marang Sang Prabu, kaya kang wis kathandha,

yen Sang Prabu nyata wis mantêp marang agama Rasul, amarga banyu

sêndhang gandane wangi. (11)

Ature Sabdapalon marang Sang Prabu: Punika kasêkten punapa?

kasêktening uyuh-kula wingi sontên, dipunpamerakên dhatêng kula.

Manawi kula timbangana nama kapilare, mêngsah uyuh-kula piyambak,

ingkang kula rêbat punika? Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa

dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula-

êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk,

kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên

momong paduka. Manawi kula sumêdya ngêdalakên kaprawiran, toya

kula-êntut sêpisan kemawon, sampun dados wangi. Manawi paduka

botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya,

punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi

Mahmeru punika sadaya kula, adi Guru namung ngideni kemawon, ing

wêkdal samantên tanah Jawi sitinipun gonjang-ganjing, saking

agênging latu ingkang wontên ing ngandhap siti, rêdi-rêdi sami kula

êntuti, pucakipun lajêng anjêmblong, latunipun kathah ingkang mêdal,

mila tanah Jawi lajêng botên goyang, mila rêdi-rêdi ingkang inggil

pucakipun, sami mêdal latunipun sarta lajêng wontên kawahipun, isi

wedang lan toya tawa, punika inggih kula ingkang damêl, sadaya wau

atas karsanipun Latawalhujwa, ingkang damêl bumi lan langit. Punapa

cacadipun agami Buddha, tiyang sagêd matur piyambak dhatêng

Ingkang Maha Kuwasa. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami

Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun

jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu

dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.

Cobi paduka-yêktosi, benjing: sasi murub botên tanggal, wiji

bungkêr botên thukul, dipuntampik dening Dewa, tinanêma thukul

mriyi, namung kangge têdha pêksi, mriyi punika pantun kados kêtos,

amargi paduka ingkang lêpat, rêmên nêmbah sela. Paduka-yêktosi,

benjing tanah Jawa ewah hawanipun, wêwah bênter awis jawah, suda

asilipun siti, kathah tiyang rêmên dora, kêndêl tindak nistha tuwin

rêmên supata, jawah salah masa, damêl bingungipun kanca tani. Wiwit

dintên punika jawahipun sampun suda, amargi kukuminipun manusa

anggenipun sami gantos agami. Benjing yen sampun mrêtobat, sami

engêt dhatêng agami Buddha malih, lan sami purun nêdha woh kawruh,

Dewa lajêng paring pangapura, sagêd wangsul kados jaman Buddha

jawahipun”.

Sang Prabu mirêng ature Sabdapalon, ing batos rumaos kaduwung

bangêt dene ngrasuk agama Islam, nilar agama Buddha. Nganti suwe

ora ngandika, wasana banjur ngandika, amratelakake yen ênggone

mlêbêt agama Islam iku, amarga kêpencut ature putri Cêmpa, kang

ngaturake yen wong agama Islam iku, jarene besuk yen mati, antuk

swarga kang ngungkuli swargane wong kapir.

Sabdapalon matur, angaturake lêpiyan, yen wiwit jaman kuna mula,

yen wong lanang manut wong wadon, mêsthi nêmu sangsara, amarga

wong wadon iku utamane kanggo wadhah, ora wênang miwiti karêp,

Sabdapalon akeh-akeh ênggone nutuh marang Sang Prabu.

Sang Prabu ngandika: “Kok-tutuha iya tanpa gawe, amarga barang

wis kêbacut, saiki mung kowe kang tak-tari, kapriye kang dadi

kêkêncênganing tekadmu? Yen aku mono ênggonku mlêbu agama Islam,

wis disêkseni dening si Sahid, wis ora bisa bali mênyang Buddha

mêneh”.

Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang

ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi

jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. Sang

Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa,

agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp

diwulang wêruha marang bênêr luput.

Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong,

nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta

nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing

besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya

têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa

momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah

sabrang”.

Sunan Kalijaga banjur didhawuhi nêngêri banyu sêndhang, yen

gandane mari wangi, besuk wong Jawa padha ninggal agama Islam ganti

agama Kawruh.

Sunan Kalijaga banjur jasa bumbung loro kang siji diiseni banyu

tawa, sijine diiseni banyu sêndhang. Banyu sêndhang mau kanggo

tandha, yen gandane mari wangi, wong tanah Jawa padha salin agama

kawruh. Bumbung sawise diiseni banyu, banjur disumpêli godhong

pandan-sili, sabanjure digawa sakabate loro.

Sang Prabu Brawijaya banjur tindak didherekake Sunan Kalijaga lan

sakabate loro, tindake kawêngen ana ing dalan, nyare ana ing

Sumbêrwaru, esuke bumbunge dibukak, banyune diambu isih wangi,

nuli mbanjurake tindake, wayah surup srêngenge, wis têkan ing

Panarukan. Sang Prabu nyare ana ing kono, ing wayah esuk, banyu

ing bumbu diganda isih wangi, Sang Prabu mbanjurake tindake.

Barêng wis wayah surup srêngenge, têkan ing Bêsuki, Sang Prabu

uga nyare ana ing kono, esuke banyu ing bumbung diganda mundhak

wangine, Sang Prabu banjur nêrusake tindake nganti wayah surup

srêngenge, têkan ing Prabalingga, ana ing kono uga nyare sawêngi,

esuke banyune ditiliki, banyune tawa isih enak, nanging munthuk,

unthuke gandane arum, nanging mung kari sathithik, amarga kêrêp

diunjuk ana ing dalan, dene banyune sêndhang barêng ditiliki gandane

dadi bangêr, tumuli dibuwang. Sang Prabu banjur ngandika marang

Sunan Kalijaga: “Prabalingga ing besuk jênênge loro, Prabalingga karo

Bangêrwarih 12 ing kene besuk dadi panggonan kanggo pakumpulane

wong-wong kang padha ngudi kawruh kapintêran lan kabatinan,

Prabalingga têgêse prabawane wong Jawa kalingan prabawane tangga”.

Sang Prabu mbanjurake tindake, ing pitung dinane, wis têkan ing

Ampelgadhing. Nyai Agêng Ampelgadhing tumuli mêthukake banjur

ngabêkti marang Sang Prabu karo muwun, sarta akeh-akeh sêsambate.

Sang Prabu banjur ngandika: “Wis aja nangis êngger, mupusa yen

kabeh mau wis dadi karsane Kang Maha Kuwasa, kudu mangkene. Aku

lan kowe mung sadarma nglakoni, kabeh lêlakon wis ditulis aneng

lokhilmakful. Bêgja cilaka ora kêna disinggahi, nanging wajibe wong

urip kudu kêpengin mênyang ilmu”.

Nyai Agêng Ampel banjur matur marang Sang Prabu, ngaturake

patrape ingkang wayah Prabu Jimbun, kaya kang wis kasêbut ing

ngarêp. Sang Prabu banjur dhawuh nimbali Prabu Jimbun. Nyai Ampel

nuli utusan mênyang Dêmak nggawa layang, satêkane ing Dêmak,

layang wis katur marang Sang Prabu Jimbun, ora antara suwe Prabu

Jimbun budhal sowan mênyang Ampel.

Kacarita putra Nata ing Majapahit, kang aran Raden Bondhankajawan

ing Tarub, mirêng pawarta yen nagara Majapahit dibêdhah Adipati

Dêmak, malah Sang Prabu lolos saka jroning pura, ora karuhan

mênyang ngêndi tindake, rumasa ora kapenak panggalihe, banjur

tindak marang Majapahit, tindake Raden Bondhankajawan namur kula,

nungsung warta ing ngêndi dununge ingkang rama, satêkane Surabaya,

mirêng warta yen ingkang rama Sang Prabu têdhak ing Ampel, nanging

banjur gêrah, Raden Bondhankajawan nuli sowan ngabêkti.

Sang Prabu ndangu: “Sing ngabêkti iki sapa?”

Raden Bondhankajawan matur yen panjênêngane kang ngabêkti.

Sang Prabu banjur ngrangkul ingkang putra, gêrahe Sang Prabu

sangsaya mbatêk, ngrumaosi yen wis arêp kondur marang jaman

kalanggêngan, pangandikane marang Sunan Kalijaga mangkene: Sahid,

nyêdhaka mrene, aku wis arêp mulih marang jaman kalanggêngan, kowe

gaweya layang mênyang Pêngging lan Pranaraga, mêngko tak-wenehane

tandha asta, wis padha narima rusake Majalêngka, aja padha ngrêbut

kapraboningsun, kabeh mau wis karsane Kang Maha Suci, aja padha

pêrang, mundhak gawe rudahing jagad, balik padha ngemana rusaking

wadya-bala, sebaa marang Dêmak, sapungkurku sing padha rukun, sapa

sing miwiti ala, tak-suwun marang Kang maha Kuwasa, yudane apêsa.”

Sunan Kalijaga banjur nyêrat, sawise rampung banjur ditapak-astani

dening sang Prabu, sabanjure diparingake marang Pêngging lan

Pranaraga.

Sang Prabu banjur ngandika: “Sahid, sapungkurku kowe sing bisa

momong marang anak putuku, aku titip bocah iki, saturun-turune

êmongên, manawa ana bêgjane, besuk bocah iki kang bisa nurunake

lajêre tanah Jawa, lan maneh wêkasku marang kowe, yen aku wis

kondur marang jaman kalanggêngan, sarekna ing Majapahit sa-lor-

wetane sagaran, dene pasareyaningsun bakal sun-paringi jênêng

Sastrawulan, lan suwurna kang sumare ana ing kono yayi Raja Putri

Cêmpa, lan maneh wêlingku, besuk anak-putuku aja nganti entuk liya

bangsa, aja gawe senapati pêrang wong kang seje bangsa.”

Sunan Kalijaga sawise dipangandikani banjur matur: “Punapa Sang

Prabu botên paring idi dhatêng ingkang putra Prabu Jimbun

jumênêngipun Nata wontên ing tanah Jawi?”

Sang Prabu ngandika: “Sun-paringi idi, nanging mung mandhêg

têlung turunan.”

Sunan kalijaga nyuwun sumurup mungguh têgêse araning bakal

pasareyane Sang Prabu.

Sang Prabu ngandika: “Sastra têgêse tulis, Wulan têgêse damaring

jagad, tulise kuburku mung kaya gêbyaring wulan, yen isih ana

gêbyaring wulan, ing têmbe buri, wong Jawa padha wêruh yen sedaku

wis ngrasuk agama Islam, mula tak-suwurake Putri Cêmpa, amarga aku

wis diwadonake si Patah, sarta wis ora dianggêp priya, nganti kaya

mangkene siya-siyane marang aku, mulane ênggonku mangêni madêge

Ratu mung têlung turunan, amarga si Patah iku wiji têlu, Jawa, Cina

lan raksasa, mula kolu marang bapa sarta rusuh tindake, mula

wêkasku, anak-putuku aja entuk seje bangsa, amarga sajroning

sihsinihan di seje bangsa mau nganggo ngobahake agamane, bisaa

ngapêsake urip, mula aku paring piwêling aja gawe senapati pêrang

wong kang seje jinis, mundhak ngenthengake Gustine, ing sajroning

mangun yuda, banjur mangro tingal, wis Sahid, kabeh pitungkasku,

tulisên.”

Sang Prabu sawise paring pangandika mangkono, astane banjur

sidhakêp, têrus seda, layone banjur disarekake ana ing astana

Sastrawulan ing Majapahit, katêlah nganti saprene kocape kang sumare

ana ing kono iku Sang Putri Cêmpa, dene mungguh satêmêne Putri

Cêmpa iku sedane ana ing Tuban, dununing pasareyan ana ing Karang

Kumuning.

Barêng wis têlung dina saka sedane Sang Prabu Brawijaya, kacarita

Sultan Bintara lagi rawuh ing Ampelgadhing sarta kapanggih Nyai

Agêng.

Nyai Agêng ngandika: “Wis bêgjane Prabu Jimbun ora nungkuli

sedane ingkang rama, dadi ora bisa ngabêkti sarta nyuwun idi ênggone

jumênêng Nata, sarta nyuwun pangapura kabeh kaluputane kang wis

kêlakon”.

Prabu Jimbun ature marang Nyai Agêng, iya mung mupus pêpêsthen,

barang wis kêbacut iya mung kudu dilakoni.

Sultan Dêmak ana ing Ampel têlung dina lagi kondur.

Kacarita Adipati Pêngging lan Pranaraga, iya iku Adipati

Andayaningrat ing Pêngging lan Bathara katong ing Pranaraga, wis

padha mirêng pawarta yen nagara Majapahit dibêdhah Adipati Dêmak,

nanging ênggone mbêdhah sinamun sowan riyaya, dene ingkang rama

Sang Prabu lan putra Raden Gugur lolos saka praja, ora karuhan

jujuge ana ing ngêndi, Adipati Pêngging lan Adipati Pranaraga bangêt

dukane, mula banjur dhawuh ngundhangi para wadya sumêdya nglurug

pêrang marang Dêmak, labuh bapa ngrêbut praja, para wadya-bala wis

rumanti gêgamaning pêrang pupuh, mung kari budhale bae, kasaru

têkane utusane Sang Prabu maringake layang. Adipati Pêngging lan

Adipati Pranaraga sawise tampa layang lan diwaos, layang banjur

disungkêmi kanthi bangêt ing pamuwune lan bangêt anjêntung

panggalihe, tansah gedheg-gedheg lan gêrêng-gêrêng, wajane kêrot-

kêrot, surya katon abang kaya gêni, lan kawiyos pangandikane sêru,

kang surasane nyupatani marang panjênêngane dhewe, muga aja awet

urip, mundhak ndêdawa wirang.

Adipati sakarone padha puguh ora karsa sowan marang Dêmak,

amarga saka putêking panggalihe banjur padha gêrah, ora antara lawas

padha nêmahi seda, dene kaol kang gaib, sedane Adipati Pêngging lan

Adipati Pranaraga padha ditênung dening Sunan Giri, pamrihe supaya

aja ngribêdi ing têmbe buri. Mula carita bêdhahe Majapahit iku mung

dicêkak, ora satimbang karo gêdhene nagara sarta ambane jajahane,

amarga aran ambuka wêwadining ratu, putra mungsuh bapa, yen dirasa

satêmêne saru bangêt. Mula carita bêdhahe Majapahit sinêmonan dening

para pujangga wicaksana, mangkene pasêmone:

1. Amarga saka kramate para Wali, kêrise Sunan Giri ditarik mêtu

tawone ngêntupi wong Majapahit.

2. Sunan Cirêbon badhonge mêtu tikuse maewu-ewu, padha mangani

sangu lan bêkakas jaran, wong Majapahit bubar, amarga wêruh akehing

tikus.

3. Pêthi saka Palembang ana satêngahing paprangan dibukak mêtu

dhêmite, wong Majapahit padha kagegeran amarga ditêluh ing dhêmit.

4. Sang Prabu Brawijaya sedane mekrad.

Banjure pangandikane kiyai Kalamwadi marang muride kang aran

Darmagandhul, kaya kang kapratelakake ing ngisor iki:

Kabeh mau mung pasêmon, mungguh sanyatane, carita bêdhahing

Majapahit iku kaya kang tak-caritakake ing ngarêp. Nagara Majapahit

iku rak dudu barang kang gampang rusake, ewadene bisa rusak mung

amarga dikritiki tikus. Lumrahe tawon iku bubar amarga saka dipangan

ing wong. Alas angkêr akeh dhêmite, bubaring dhêmit yen alase

dirusak dening wong, arêp ditanduri. Nanging yen Majapahit rusake

amarga saking tikus, tawon lan dhêmit, sapa kang ngandêl yen rusake

Majapahit amarga tikus, tawon lan dhêmit, iku pratandha yen wong mau

ora landhêp pikire, amarga carita kang mangkono mau kalêbu aneh lan

ora mulih ing nalar, ora cocog lair lan batine, mula mung kanggo

pasêmon, yen dilugokake jênênge ambukak wadine Majapahit, mula

mung dipralambangi pasêmon kang orang mulih karo nalare. Dene

têgêse pasêmon mau mangkene:

Tikus iku watake ikras-ikris, suwe-suwe yen diumbar banjur

ngrêbda, têgêse: para ‘ulama dhek samana, nalika lagi têkane nyuwun

panguripan marang sang Prabu ing Majapahit, barêng wis diparingi,

piwalêse ngrusak.

Tawon iku nggawa madu kang rasane manis, gêgamane ana ing silit,

dene panggonane ana ing gowok utawa tala, têgêse: maune têkane

nganggo têmbung manis, wusana ngêntup saka ing buri, dene tala

têgêse mêntala ngrusak Majapahit, sapa kang ngrungu padha gawok.

Dene dhêmit diwadhahi pêthi saka Palembang, barêng dibukak muni

jumêglug, têgêse: Palembang iku mlembang, iya iku ganti agama, pêthi

têgêse wadhah kang brukut kanggo madhahi barang kang samar,

dhêmit têgêse samar, rêmit, rungsid, dhêmit iku uga tukang nêluh.

Mungguh gênahe mangkene: bêdhahe nagara Majapahit sarana ditêluh

kalayan primpên lan samar, nalika arêp pambêdhahe ora ana rêmbag

apa-apa, samudanane mung sowan garêbêgan, dadi dikagetake, mula

wong Majapahit ora sikêp gêgaman pêrang, wêruh-wêruh Adipati

Têrung wis ambantu Adipati Dêmak.

Kuna-kunane ora ana praja gêdhe kaya Majapahit bêdhahe mung

saka diêntup ing tawon sarta dikritiki ing tikus bae, apa dene bubare

wong sapraja mung saka ditêluh ing dhêmit.

Bêdhahe Majapahit swarane jumêgur, kêprungu saka ing ngêndi-êndi

nagara, yen bêdhahe saka binêdhah dening putra, iya iku Wali wolu

utawa Sunan wolu kang padha dimêmule wong Jawa, sangane Adipati

Dêmak, kabeh mau padha mbalela mbalik.

Banjure maneh pangandikane kiyai Kalamwadi:

Kandhane guruku Rahaden Budi Sukardi, sadurunge Majapahit

bêdhah, manuk kuntul iku durung ana kang nganggo kucir, barêng

nagara wis ngalih marang Dêmak, kahanan ing dunya nuli malih, banjur

ana manuk kuntul nganggo kucir.

Prabu Brawijaya sinêmonan ing gaib: kêbo kombang atine êntek

dimangsa tuma kinjir, kêbo têgêse ratu sugih, kombang têgêse mênêng

swarane kang mbrêngêngêng, iya iku Prabu Brawijaya panggalihe têlas

nalika bêdhahe Majapahit, kajaba mung kendêl gêrêng-gêrêng bae, ora

karsa nglawan pêrang, dene tuma kijir iku tumane celeng, tuma têgêse

tuman, celeng iku iya aran andhapan, iya iku Raden Patah nalika

têkane ana ing Majapahit sumungkêm marang ingkang rama Sang

Prabu, ing wêktu iku banjur diparingi pangkat, têgêse oleh ati saka

Sang Prabu, wusana banjur mukul pêrang ngrêbut nagara, ora

ngetung bênêr utawa luput, nganti ngêntekake panggalihe Sang Prabu.

Dene kuntul nganggo kucir iku pasêmone Sultan Dêmak, ênggone

nyêri-nyêri marang ingkang rama Sang Prabu, dumeh agamane Buddha

kawak kapir kupur, mulane Gusti Allah paring pasêmon, githok kuntul

kinuciran, têgêse: tolehên githokmu, ibumu Putri Cina, ora kêna nyêri-

nyêri marang wong seje bangsa, Sang Prabu Jimbun iku wiji têlu,

purwane Jawa, iya iku Sang Prabu Brawijaya, mula Sang Prabu Jimbun

gêdhe panggalihe melik jumênêng Nata, mulane melik ênggal sugih,

amarga katarik saka ibune, dene ênggone kêndêl nanging tanpa duga

iku saka wijine Sang Arja Damar, amarga Arja Damar iku ibune putri

raksasa, sênêng yen ngokop gêtih, pambêkane siya, mula ana kuntul

nganggo kucir iku wis karsaning Allah, ora mung Sunan Dêmak dhewe

bae kang didhawuhi ngrumasani kaluputane, nanging sanadyan para

Wali liyane uga didhawuhi ngrumasani, yen ora padha gêlêm

ngrumasani kaluputane, dosane lair batin, mula jênênge Wali ditêgêsi

Walikan: dibêciki malês ngalani.

Dene anane bangsa Cina padha nênêka ana ing tanah Jawa iku

dêdongengane mangkene: Jare, dhek jaman kuna, nalika santri Jawa

durung akeh kawruhe, sawise padha mati, suksmane akeh kang katut

angin banjur thukul ana ing tanah China, mula saiki banjur padha bali

mulih marang tanah Jawa, dadi suksmane bangsa mau, iku mau-maune

iya akeh kang suksma Jawa.

Darmagandhul matur: “kiyai! Kang diarani agama Srani iku kang

kaya apa?”

Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake: “Kang diarani agama Srani iku

têgêse sranane ngabêkti: têmên-têmên ngabêkti marang Pangeran, ora

nganggo nêmbah brahala, mung nêmbah marang Allah, mula sêbutane

Gusti Kanjêng Nabi ‘Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake,

mangkono kang kasêbut ing kitab Anbiya”.

Banjure pangandikane kiyai Kalamwadi.

Sultan Dêmak waskitha ing gaib, rumaos kadukan dening Kang Maha

Kuwasa, mula banjur ngrumaosi kabeh kaluputane, nuli sowan

andêdagan ana ing pasareyane ingkang rama, barêng wis antara têlung

dina lawase, kaprênah pusêring kuburan tanpa sangkan thukul wit-

witan warna papat, siji warnane irêng sêmu abang dalah godhong sarta

kêmbange, loro wit sarta kêmbange putih godhonge sêdhêngan, têlu wit

kang godhonge ngrêmbuyut mubêng kaya payung, papat wit kang

godhonge lêmbut sarta mawa êri, lan wêktu iku sajroning pasareyane

Sang Prabu kêprungu ana swara dumêling, mangkene ujaring swara:

“Êntek katrêsnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah

digêtak kaya kucing, sanajan matiya ing tata-kalairane, nanging lah

eling-elingên ing besuk, yen wis agama kawruh, ing têmbe bakal tak-

walês, tak-ajar wêruh ing nalar bênêr lan luput, pranatane mêngku

praja, mangan babi kaya dhek jaman Majapahit.”

Sultan Dêmak mirêng swara dumêling kang surasane mangkono iku,

ing batos bangêt kaduwung marang apa kang wis dilampahi, mula

nganti suwe njêgrêg ora bisa ngandika, ngrumaosi klirune dene nuruti

rêmbuge para Sunan kabeh, nganti wani mungsuh ingkang rama sarta

ngrusak Majapahit. Iya wiwit titi masa iku anane wit-witan warna papat

kang padha thukul ana ing kuburan, dadi pasêmon kabeh, iya iku

Tlasih, Sêmboja, Turugajah lan Gêtakkucing. Mula nganti tumêka

saprene wit Sêmboja panggonane ana ing kuburan, kêmbang Tlasih

kanggo ngirim para lêluhur, godonge Gêtakkucing yen kasenggol

banjur obah, godhonge uga banjur mingkup kaya dene godhong

Gêtakkucing.

Sawise mangkono, Sultan Dêmak banjur kondur, sakondure saka

pasareyane ingkang rama, bangêt panalangsane ing dalêm batos, tansah

ngrumaosi ing kalêpatane.

Sunan Kalijaga uga waskitha ing gaib yen sinêmonan dening Kang

Maha Kuwasa, mula uga bangêt panalangsane sarta ngrumaosi

kaluputane, mula banjur mangagêm sarwa wulung, beda karo para Wali

liyane isih padha manganggo sarwa putih. Kabeh mau ora padha

ngrumasani kaluputane, mung Sunan Kalijaga piyambak rumaos yen

kadukan dening Kang Maha Kuwasa, mula bangêt mrêtobate, wasana

banjur pinaringan pangapura dening Allah, sinêmonan wiwit anane

orong-orong githoke tumêka ing punuk disêsêli tataling kayu jati,

mungguh karêpe: punukmu panakna, sajatining ‘ilmu iku ora susah

maguru marang wong ‘Arab, ‘ilmuning Gusti Allah wis ana ing

githokmu dhewe-dhewe,wujude puji thok, nanging dudu puji jatining

kawruh, kang ngawruhi sajatining urip, urip dadi wayangan Dzating

Pangeran, manusa bisa apa, mobah mosik mung sadarma nglakoni, budi

kang ngobahake, sabda iku mêtu saka ing karêp, karêp mêtu saka ing

budi, budi iku Dzate Kang Maha Agung, agung iku wis samêkta, tanpa

kurang tan wuwuh, tanpa luwih sarta ora arah ora ênggon.

Kiyai kalamwadi nutugake caritane: “Kandhane guruku Rahaden Budi

Sukardi mangkene: mungguh kang katarima, muji marang Allah iku, iku

sindhenan Dharudhêmble. Têmbung dhar iku têgêse wudhar, ru iku

têgêse ruwêt sulit lan rungsit, dene dhêmble têgêse dhêmbel dadi siji,

yen wis sumurup têpunge sarat sari’at tarekat hakekat lan ma’rifat,

iku mau wis muji tanpa ngucap, sarak iku sarate ngaurip, iya iku

nampik milih iktiyar lan manggaota, sari’at iku saringane kawruh agal

alus, tarekat iku kang nimbang lan nandhing bênêr lan luput, hakekat

iku wujud, wujud karsaning Allah, kang ngobahake sarta ngosikake

rasane budi, wêruh ora kasamaran ing sawiji-wiji. Yen kowe wis ngrêti

marang têgêse Dharudhêmble, mêsthi wis marêm marang kawruhmu

dhewe. Mangan woh kawruh lan budi, sêmbahe kaya wêsi kang dilabuh

ana ing gêni ilang abange mung rupa siji, kang muji lan kang dipuji

wis nunggal dadi sawiji, dhêmble wujud siji. Yen kowe wis bisa

ngawruhi surasane kang tak-kandhakake iki, jênênge munajad.

Saupama wong nulup manuk, yen ra wêruh prênahe manuke, masa

kênaa, ênggone nulup mung ngawur. Yen kawruhe wong pintêr ora

angel yen disawang, mêtune saka ing utêk”.

Darmagandhul matur, nyuwun ditêrangake bab ênggone Nabi Adam

lan Babu Kawa padha kêsiku dening Pangeran, sabab saka ênggone

padha dhahar wohe kayu Kawruh kang ditandur ana satêngahing taman

Pirdus. Ana maneh kitab kang nêrangake, kang didhahar Nabi Adam lan

Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun

têrange, yen ing kitab Jawa caritane kapriye, kang nyêbutake kok

mung kitab ‘Arab lan kitabe wong Srani.

Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kitabe wong Jawa ora

nyêbutake bab mangkono iku, dene Sajarah Jawa iya ana kang

nyêbutake turun Adam, iya kitab Manik Maya.

Kiyai Kalamwadi banjur ngandhakake: “Sawise buku-buku pathokan

agama Buddha diobongi, amarga mundhak ngrêribêdi agama Rasul,

sanadyan buku kang padha disimpêni dening para wadya, iya

dipundhut banjur diobongi, nalika sabêdhahe Majapahit, sapa kang

durung gêlêm nganggo agama Islam banjur dijarah rajah, mula wong-

wong ing kono padha wêdi marang wisesaning Ratu. Dene wong-wong

kang wis padha gêlêm salin agama Rasul, banjur padha diganjar

pangkat utawa bumi sarta ora padha nyangga pajêg, mulane wong-

wong ing Majapahit banjur padha ngrasuk agama Islam, amarga padha

melik ganjaran. Ing wêktu iku Sunan Kalijaga, kagungan panggalih,

caritane lêluhure supaya aja nganti pêdhot, banjur iyasa wayang,

kanggo gantine kitab-kitab kuna kang wis padha diobongi. Ratu

Mataram uga mangun carita sajarahe para lêluhur Jawa, buku-buku

sakarine, kang isih padha disimpên uga padha dipundhut kabeh,

nanging wis padha amoh, Sang Nata ing Mataram andangu para wadya,

nanging wis padha ora mênangi, wiwit Kraton Gilingwêsi nganti tumêka

Mataram wis ora kasumurupan caritane, buku-buku asli saka ing Dêmak

lan Pajang padha dipriksa, nanging tinêmu tulisan ‘Arab, kitab Pêkih

lan Taju-salatina apa dene Surya-Alam kang kanggo pikukuh, mula

Sang Prabu ing Mataram kewran panggalihe ênggone kagungan karsa

iyasa babad carita tanah Jawa. Sang Prabu banjur dhawuh marang

para pujangga, andikakake padha gawe layang Babad Tanah Jawa,

ananging sarehne kang gawe Babad mau ora ngêmungake wong siji

bae, mula ora bisa padha gaweyane, kang diênggo pathokan layang

Lokapala, mungguh caritane kaya kang kasêbut ing ngisor iki”.

Wayahe Nabi Adam iya iku putrane Nabi Sis, arane Sayid Anwar.

Sayid Anwar didukani ingkang rama lan ingkang eyang, amarga wani-

wani mangan wohe wit kayu Budi sêngkêrane Pangeran kang tinandur

ana ing swarga. Ciptane Sayid Anwar supaya kuwasane bisa ngiribi

kaya dene kuwasane Pangeran, ora narima yen mung mangan woh

Kawruh lan woh Kuldi bae, nanging wohe kayu Budi kang disuwun.

Sayid Anwar miwiti yasa sarengat dhewe, ora karsa ngagêm agamane

ingkang rama lan ingkang eyang, dadi murtat sarta nampik agamane

lêluhure, mangkono uga karsa ngakoni yen turune Adam sarta Sis,

pangraose Sayid Anwar iku dadi saka dadine piyambak, mung waranane

bae saka Adam lan Sis, dadine saka budi hawaning Pangeran. Ênggone

Kagungan pamanggih mangkono mau diantêpi bangêt, jalaran mangkene:

asal suwung mulih marang sêpi, bali marang asale maneh. Sarehne

Sayid Anwar banjur lunga nuruti karêping atine, lakune mangetan

nganti tumêka ing tanah Dewani, ana ing kono banjur kêtêmu karo

ratuning jin arane Prabu Nuradi, Sayid Anwar ditakoni iya banjur

ngandharake lêlakone kabeh, wusanane Sayid Anwar diêpek mantu

sarta dipasrahi kaprabon, ngratoni para jin, jêjuluk Prabu Nurcahya,

wiwit jumênênge Prabu Nurcahya, jênênge nagara banjur diêlih dadi

aran nagara Jawa. Misuwure, kang jumênêng Nata, Jawa jawi ngrêti

kawruh agal alus. Sawise iku Sang Prabu banjur nganggit sastra mung

salikur aksara, saucaping wong Jawa bisa kaucap, dijênêngake Sastra

Endra Prawata. Têmbung Jawa, ditêgêsi: nguja hawa, karsane Sang

Prabu: bisaa rowa, saturun-turune bisaa jumênêng Nata mêngkoni

tanah Jawa. Sang Prabu putrane siji pêparab Sang Hyang Nurrasa, uga

dhaup karo putri jin putrane mung siji iya iku Sang Hyang Wênang.

Sang Hyang Wênang uga dhaup karo putri jin, dene putrane uga mung

siji kakung pêparab Sang Hyang Tunggal, krama oleh putri jin. Sang

Hyang Tunggal pêputra Sang Hyang Guru, kabeh mau turune Sang

Hyang Nurcahya, kang padha didhahar woh wit kayu Budi. Sang Hyang

Guru kagungan pangraos yen kuwasane padha karo Gusti Allah, mula

banjur iyasa kadhaton ana pucaking Mahameru, sarta ngakoni yen

purwaning dumadi mêtune asal saka budi hawa nêpsu. Aran Dewa

ngaku misesani mujudake sipat roh, agamane Buddha budi, mangeran

digdayane sarta ngaku Gusti Allah. Sêdya kang mangkono mau iya

diideni dening Kang Maha Kuwasa, sarta kalilan nimbangi jasane Kang

Maha Kuwasa. Dewa iku wêrdine ana loro têgêse: budi hawa, sarta: wadi

dawa, mulane agamane Buddha. Sêbutan Dewi: têgêse: dening wadining

wadon iku bisa ngêtokake êndhas bocah.

Darmagandhul didhawuhi nimbang mungguh kang bênêr kang êndi,

mangan woh wit kayu Kawruh, apa wit kayu Budi, apa woh wit Kuldi?

Saka panimbange Darmagandhul, kabeh iku iya bênêr, sênêngan

salah siji êndi kang disênêngi, diantêpi salah siji aja nganti luput. Yen

kang dipangan woh wit kayu Budi, agamane Buddha budi, panyêbute

marang Dewa; manawa mangan woh wit kawruh, pênyêbute marang

Kangjêng Nabi ‘Isa, agamane srani, yen sênêng mangan woh wit kayu

Kuldi, agamane Islam, sambate marang nabi panutan; iya iku Gusti

Kangjêng Nabi Rasul; dene yen dhêmên Godhong Kawruh Godhong Budi,

panêmbahe marang Pikkong, sarta manut sarake Sisingbing lan Sicim;

salah sijine aja nganti luput. Yen bisa woh-wohan warna têlu iku mau

iya dipangan kabeh, yen wong ora mangan salah sijine woh mau,

mêsthine banjur dadi wong bodho, uripe kaya watu ora duwe

kêkarêpan lan ora mangrêti marang ala bêcik. Dene mungguh bêcike

wong urip iku mung kudu manut marang apa alame bae, dadi ora aran

siya-siya marang uripe, yen Kalifah dhahar woh Budi, iya melu mangan

woh Budi, yen Kalifah dhahar woh kawruh, iya melu mangan woh

kawruh, yen kalifah dhahar woh Kuldi, iya melu mangan woh Kuldi.

Dene prakara bênêr utawa lupute, uki Kalifah kang bakal tanggung.

Sarehne diênut wong akeh, dadi Panutan kudu kang bênêr, amarga

wong dadi Panutan iku saupama têtuwuhan minangka wite. Yen wong

ora gêlêm manut marang kang bênêre kudu diênut, iku kaya dene iwak

kang mêtu saka ing banyu. Saupama woh ora gêlêm nempel wit, mêsthi

dadi glundhungan kang tanpa dunung. Awit saka iku, mulane wong iku

kudu ngelingi marang agamane kang nurunake, amarga sanadyan

saupama ana salahe, Gusti Allah mêsthi paring pangapura.

Darmagandhul matur nyuwun têrange agama Rasul lan liya-liyane,

mungguh kang dadi bedane apa?

Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake beda-bedane, yen saka dhawuhe

kang Maha Kuwasa, manusa didhawuhi muja marang agamane. Nanging

banjur akeh kang kliru muja marang barang kang katon, kaya ta

kêris, tumbak, utawa liya-liyane barang. Kang kaya mangkono mau

ngrusakake agama, amarga banjur mangeran marang wujud, satêmah

lali marang Pangerane, amarga maro tingal marang barang rêrupan.

Wong urip iku kudu duwe gondhelan agama, amarga yen ora duwe

agama mêsthi duwe dosa, mung bae dosane mau ana kang sathithik lan

ana kang akeh. Dene kang bisa nyirnakake (nyudakake) dosa iku,

mung banyu suci, iya iku tekad suci lair batin. Kang diarani banyu

tekad suci iku kang êning, iya iku minangka aduse manusa, bisa

ngrêsiki lair batine. Yen wong luwih, ora ngarêp-arêp munggah

swarga, kang digoleki bisaa nikmat mulya punjula saka sapadhane, aja

nganti nêmu sangsara, bisaa duwe jênêng kang bêcik, sinêbut kang

utama, bisaa nikmat badan lan atine, mulya kaya maune, kaya nalika

isih ana ing alam samar, ora duwe susah lan prihatin. Lawang swarga

iku prêlu dirêsiki, dirêngga ing tekad kang utama, supaya aja

ngrêribêdi ana ing donyane, bisaa slamêt lair batine. Kang diarani

lawang swarga lan lawang nêraka iku, pancadan kang tumuju marang

kabêgjan utawa kacilakan. Yen bêcik narik raharja, yen ala ngundhuh

cilaka, mula pangucap kang ala, mêsthi mlêbu yomani. Yen bêcik, bisa

tampa ganjaran.

Darmagandhul matur maneh, nyuwun têrange, manusa ing dunya

wujude mung lanang lan wadon, dadine kok banjur warna-warna, ana

Jawa, ‘Arab, Walanda lan Cina. Dene sastrane kok uga beda-beda. Iku

maune kêpriye, dalah têgêse sarta cacahing aksarane kok uga beda-

beda. Geneya kok ora nganggo aksara warna siji bae?

Kyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kabeh-kabeh mau wis dadi

karsane Kang Maha Kuwasa. Mula aksarane digawe beda-beda, supaya

para kawulane padha mangan woh wit kayu Budi lan woh wit kayu

Kawruh, amarga manusa diparingi wahyu kaelingan, bisa mêthik woh

Kawruh lan woh Budi, pamêthike sapira sagaduke. Gusti Allah uga iyasa

sastra, nanging sastrane nglimputi ing jêro, lan manut wujud, iya iku

kang diarani sastra urip, manusa ora bisa anggayuh, sanadyan para

Auliya sarta para Nabi ênggone nggayuh iya mung sagaduke. Woh wit

Kawruh lan woh wit Budi ditandhani nganggo sipat wujud, dicorek ana

ing dluwang, nganggo mangsi supaya wong bisa wêruh, mula jênênge

dalwang, têgêse mêtu wangune, mangsi têgêse mangsit, dadi yen

dalwang ditrapi mangsi, mêsthi banjur mêtu wangune, mangsit mangan

kawruh, mula jênêng kalam, amarga kawruhe anggawa alam. Sastra

warna-warna paringe kang Maha-Kuwasa, iku wajib dipangan, supaya

sugih pangrêten lan kaelingan, mung wong kang ora ngrêti sastra

paringe Gusti Allah, mêsthi ora mangêrti marang wangsit. Auliya Gong

Cu kumênthus niru sastra tulisan paringe Gusti allah, nanging

panggawene ora bisa, sastrane unine kurang, dadi pelon, para Auliya

panggawene sastra dipathoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh

bangêt cacahe, nanging unine pelo, amarga Auliya kang nganggit

kêsusu mangan woh Kawruh, ing mangka iya kudu mangan woh wit

kayu Budi. Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa. Ewadene mêksa

nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu wajibe,

kêsusu tampa panglulu nganggit sastra kang nganti tanpa etungan

cacahe, jênênge sastra godhong. Godhonge wit Budi lan wit Kawruh,

dipêthik saka sathithik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo

sastra, mulane aksarane nganti ewon. Auliya Cina kêsiku, amarga arêp

gawe sastra urip kaya yasane Gusti Allah. Auliya Jawa ênggone mangan

woh wit kayu Budi nganti warêg, mula ênggone nganggit aksara iya

dipathoki cacahe. Auliya Arab ênggone mangan woh wit kayu Kuldi

akeh bangêt. Dene ênggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe.

Nanging yen sastra yasane Gusti Allah, dadine saka sabda, wujude dadi

dhewe, mulane unine iya cêtha, sastrane ora ana kang padha.

Darmagandhul banjur didhawuhi nimbang, mungguh anggitane para

Auliya kabeh mau kang mratandhani asor luhuring budine kang êndi?

Saka panimbange Darmagandhul, kabeh mau iya bênêr, nanging

anggêr mêtu saka budi. Dene kang gawe aksara mung sathithik,

nanging wis bisa nyukupi, iku mratandhani yen luwih pintêr tinimbang

karo liya-liyane.

Kiyai Kalamwadi ngandika: “Yen manusa arêp wêruh sastrane Gusti

Allah, tulisan mau ora kêna ditonton nganggo mripat lair – kudu

ditonton nganggo mripat batin. Yen mangkono iya bisa katon, Gusti

Allah iku mung sawiji, nanging Dzate nyarambahi sakabehing wujud.

Yen ndêlêng kudu nganggo ati kang bêning, ora kêna kacampuran

pikiran kang warna-warna, sarta kudu kang mêlêng ênggone mawas,

supaya ora bisa kliru karo kanyatane”.

Kiyai Kalamwadi lênggah diadhêp garwane aran Endhang Prêjiwati.

Darmagandhul sarta para cantrik iya padha marak. Kiyai Kalamwadi

paring piwulang marang garwane, dadi nêtêpi jênênge priya kudu

mulang muruk marang rabine. Dene kang diwulangake, bab kawruh

kasunyatan sarta kawruh kang kanggo yen wis tumêka ing pati, ing

wong sêsomahan iku. Kang wadon diupamakake omah, sanadyan

kahanane wis sarwa bêcik. Nanging sabên dinane isih kudu dipiyara

lan didandani. Saka pangandikane Kiayi Kalamwadi, wong iku yen

dipitakoni, satêmêne ragane wis bisa mangsuli, sabab ing kono wis ana

pangandikane Gusti Allah paring piwulang, nanging ora mêtu ing lesan,

mung paring sasmita kang wis ditulis ana saranduning badan sakojur.

Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Sarehne aku iku wong cubluk, dadi

ora bisa aweh piwulang kang endah, aku mung arêp pitakon marang

ragamu, amarga ragamu iku wis bisa sumaur dhewe”.

Banjure pangandika kiyai Kalamwadi kaya ing ngisor iki. Tanganmu

kiwa iku wis anggawa têgês dhewe, lan wis dadi piwulang kang bêcik

lan nyata, kang anuduhake yen ragamu iku wujude kiwa, mung hawa

kang katon. Têmbung ki: iku têgêse iki, wa: têgêse wêwadhah, ragamu

iku di’ibaratake prau, prau dadi ‘ibarate wong wadon, wong têgêse

ngêlowong, wadon têgêse mung dadi wadhah, dene isine mung têlung

prakara, iya iku: “kar-ri-cis”. Yen prau wis isi têlung prakara iku,

wong wadon wis kêcukup butuhe, dadi ora goreh atine. Dene têgêse

kar-ri-cis iku mangkene.

1. Kar, têgêse dakar, iya iku yen wong lanang wis bisa nêtêpi

lanange, mêsthi wong wadon atine marêm, wusanane dadi nêmu

slamêt ênggone jêjêdhowan.

2. Ri, têgêse pari, iya iku kang minangka pangane wong wadon, yen

wong lanang wis bisa nyukupi pangane, mêsthi wong wadon bisa

têntrêm ora goreh.

3. Cis, têgêse picis, utawa dhuwit, ya iku yen wong lanang wis bisa

aweh dhuwit kang nyukupi, mêsthi wong wadon bisa têntrêm,

tak baleni maneh, cis têgêse bisa goreh atine.

Kosok baline yen wong lanang ora bisa aweh momotan têlung

prakara mau, wong wadon bisa goreh atine.

Tangan têngên têgêse etungên panggawemu, sabên dina sudiya,

sanggup dadi kongkonan, wong wadon wis dadi wajibe ngrewangi kang

lanang anggone golek sandhang pangan.

Bau têgêse kanthi, gênahe wong wadon iku dadi kanthine wong

lanang, tumrap nindakake samubarang kang prêlu.

Sikut têgêse singkurên sakehing panggawe kang luput.

Ugêl-ugêl têgêse sanadyan tukar padu, nanging yen isih padha

trêsnane iya ora bisa pêdhot.

Epek-epek têgêse ngêpek-ngêpek jênênge kang lanang, awit wong

wadon iku yen wis laki, jênênge banjur melu jênênge kang lanang. Iya

iku kang diarani warangka manjing curiga, warangkane wanita,

curigane jênênge wong lanang.

Rajah (ing epek-epek) têgêse wong wadon iku panganggêpe marang

guru-lakine dikaya dene panganggêpe marang raja.

Driji têgêse drêjêg utawa pagêr, iya iku idêrana jiwamu nganggo

pagêr kautaman, wanita iku kudu andarbeni ambêk kang utama, dene

driji kabeh mau ana têgêse dhewe-dhewe.

Jêmpol têgêse êmpol, yen wanita dikarsakake dening priyane, iku

kang gampang gêtas rênyah kaya dene êmpoling klapa.

Driji panuduh têgêse wanita nglakonana apa sapituduhe kang priya.

Driji panunggul, têgêse wanita wajib ngunggulake marang priyane,

supaya nyupangati bêcik.

Driji manis, têgêse wanita kudu duwe pasêmon utawa polatan kang

manis, wicarane kudu kang manis lan prasaja.

Jênthik, têgêse wong wadon iku panguwasane mung sapara limane

wong lanang, mula kudu sêtya tuhu marang priyane.

Kuku têgêse ênggone rumêksa marang wadi, paribasane aja nganti

kêndho tapihe.

Mungguh pikikuhe wong jêjodhowan iku, wanita kudu sêtya marang

lakine sarta nglakoni patang prakara, iya iku: pawon, paturon,

pangrêksa, apa dene kudu nyingkiri padudon.

Wong jêjodhowan yen wis nêtêpi kaya piwulang iki, mêsthi bisa

slamêt sarta akeh têntrême.

Kiyai Kalamwadi banjur paring pangandika maneh, dene kang

dipangandikakake bab pikukuhe wong jêjodhowan. Saka pangandikane

kiyai Kalamwadi, wong jêjodhowan iku pikukuhe kudu duwe ati eling,

aja nganti tumindak kang ora bênêr. Mungguh pikukuhe wong laki-rabi

iku, dudu dunya lan dudu rupa, pikukuhe mung ati eling. Wong

jêjodhowan, yen gampang luwih gampang, nanging yen angel, angele

ngluwihi. Wong jêjodhowan itu luput pisan kêna pisan, yen wis luput,

ora kêna tinambak ing rajabrana lan rupa. Wanita kudu tansah eling

yen winêngku ing priya, yen nganti ora eling, lupute banjur ngambra-

ambra, amargi yen wanita nganti cidra, iku ugi ngilangake Pangerane

wong jêjodhowan, dene kang diarani cidra iku ora mung jina bae,

nanging samubarang kang ora prasaja iya diarani cidra, mula wanita

kudu prasaja lair batine, amarga yen ora mangkono bakal nandhang

dosa rong prakara, kang sapisan dosa marang kang lanang, kapindhone

dosa marang Gusti Allah, kang mangkono iku mêsthi ora bisa nêmu

lêlakon kang kapenak.

Mula ati, kudu tansah eling, amarga tumindaking badan mung manut

karêping ati, awit ati iku dadi ratuning badan. Wong jêjodhowan

di’ibaratake prau kang gêdhe, lakuning prau manut satang lan

kêmudhine, sanadyan satange bênêr, yen kêmudhine salah, prau ora

bêcik lakune. Wong lanang iku lakuning satang, dene kang wadon

ngêmudheni, sanadyan bêcik ênggone ngêmudheni, nanging yen kang

nyatang ora bênêr, lakune prau iya ora bisa jêjêg, sarta bisa têkan

kang disêdya, amarga kang padha nglakokake padha karêpe, dadi

têgêse, wong jêjodhowan, kudu padha karêpe, mula kudu rukun, rukun

iku gawe karaharjan sarta mahanani katêntrêman, ora ngêmungake

wong jêjodhowan kang rukun bae, kang oleh katêntrêmaning ati,

sanadyan tangga têparone iya melu têntrêm, mula wong rukun iku

bêcik bangêt.

Kowe tak-pituturi, mungguh dalane kamulyan iku ana patang

prakara:

(1) Mulya saka jênêng.

(2) Mulya saka bandha.

(3) Mulya saka sugih ‘ilmu.

(4) Mulya saka kawignyan.

Kang diarani mulya saka jênêng, iku wong kang utama, bisa oleh

kabêgjan kang gêdhe, nanging kabêgjane mau ora mung kanggo awake

dhewe, kapenake uga kanggo wong akeh liyane. Dene kang mulya saka

ing bandha, lan mulya saka ênggone sugih ‘ilmu, lan mulya saka

kapintêran, iku ana ngêndi bae, iya akeh rêgane.

Mungguh dalane kasangsaran uga ana patang prakara:

(1) Rusaking ati, manusa iku yen pikire rusak, ragane mêsthi iya

melu rusak.

(2) Rusaking raga, iya iku wong lara.

(3) Rusaking jênêng, iya iku wong mlarat.

(4) Rusaking budi, iya iku wong bodho, cupêt budine, wong

bodho lumrahe gampang nêpsune.

Kang diarani tampa kanugrahing Gusti Allah, iya iku wong kang

sêgêr kawarasan sarta kacukupan, apa dene têntrêm atine.

Wong urip kang kêpengin bisaa dadi wong utama, duweya jênêng

kang bêcik, kanggo têtuladhan marang wong kang padha ditinggal ing

têmbene”.

Ki Darmagandhul matur lang nyuwun ditêrangake bab anane wong

ing jaman kuna karo wong ing jaman saiki, iku satêmêne pintêr kang

êndi, amarga wong akeh panêmune warna-warna tumrape bab iku.

Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Wong kuna lan wong saiki, iku

satêmêne iya padha pintêre, mung bae tumrape wong ing jaman kuna,

akeh kang durung bisa mujudake kapintêrane, mula katone banjur

kaya dene ora pintêr. Ana dene wong ing jaman saiki ênggone katon

luwih pintêr iku amarga bisa mujudake kapintêrane. Wong ing jaman

kuna kapintêrane iya wis akeh, dene kang mujudake iya iku wong ing

jaman saiki. Saupama ora ana kapintêrane wong ing jaman kuna, mêsthi

bae tumrape wong ing jaman saiki ora ana kang kanggo têtuladhan,

amarga kahanan saiki iya akeh kang nganggo kupiya kahanan ing

jaman kuna. Wong ing jaman saiki ngowahi kahanan kang wis ana, êndi

kang kurang bêcik banjur dibêcikake. Wong ing jaman saiki ora ana

kang bisa nganggit sastra, yen manusa iku rumasa pintêr, iku têgêse

ora rumasa yen kawula, mangka uripe manusa mung sadarma nglakoni,

mung sadarma nganggo raga, dene mobah mosik, wis ana kang murba.

Yen kowe arêp wêruh wong kang pintêr têmênan, dununge ana wong

wadon kang nutu sabên dina, tampahe diiseni gabah banjur diubêngake

sadhela, gabah kang ana kabur kabeh, sawise, banjur dadi beda-beda,

awujud bêras mênir sarta gabah, nuli mung kari ngupuki bae,

sabanjure dipilah-pilah. Têgêse: bêras yen arêp diolah kudu dirêsiki

dhisik, miturut kaya karêpe kang arêp olah-olah. Yen kowe bisa

mangreh marang manusa, kaya dene wong wadon kang nutu mau,

ênggone nyilah-nyilahake bêras aneng tampah, kowe pancen wong

linuwih, nanging kang mangkono mau dudu kawadjibanmu, awit iku

dadi kawajibane para Raja, kang misesa marang kawulane. Dene kowe,

mung wajib mangrêti tataning praja supaya uripmu aja kongsi dikul

dening sapadhaning manusa, uripmu dadi bisa slamêt, kowe bakal dadi

têtuwa, kêna kanggo pitakonan tumraping para mudha bab pratikêle

wong ngawula ing praja. Mula wêlingku marang kowe, kowe aja pisan-

pisan ngaku pintêr, amarga kang mangkono mau dudu wajibing manusa,

yen ngrumasani pintêr, mundhak kêsiku marang Kang Maha Kuwasa,

kaelokane Gusti Allah, ora kêna ginayuh ing manusa, ngrumasanana yen

wong urip iku mung sadarma, ana wong pintêr isih kalah pintêr karo

wong pintêr liyane, utawa uga ana wong pintêr bisa kasoran karo

wong kompra, bodho pintêring manusa iku saka karsane Kang Maha

Kuwasa, manusa anduweni apa, bisane apa, mung digadhuhi sadhela

dening Kang Maha Kuwasa, yen wis dipundhut, kabeh mau bisa ilang

sanalika, saka kalangkungane Gusti Allah, yen kabeh mau kapundhut

banjur diparingake marang wong kompra, wong kompra banjur duwe

kaluwihan kang ngungkuli kaluwihane wong pintêr. Mula wêlingku

marang kowe, ngupayaa kawruh kang nyata, iya iku kawruh kang

gandheng karo kamuksan”.

Ki Darmagandhul banjur matur maneh, nyuwun têrange bab tilase

kraton Kêdhiri, iya iku kratone Sang Prabu Jayabaya.

Kiyai Kalamwadi ngandika: “Sang Prabu Jayabaya ora jumênêng ana

ing Kêdhiri, dene kratone ana ing Daha, kaprênah sawetane kali

Brantas. Dene yen Kêdhiri prênahe ana sakuloning kali Brantas lan

sawetaning gunung Wilis, ana ing desa Klotok, ing kono iku ana bata

putih, iya iku patilasane Sri Pujaningrat. Dene yen patilasane Sri

Jayabaya ika ana ing daha, saikine jênênge desa Mênang, patilasane

kadhaton wis ora katon, amarga kurugan ing lêmah lahar saka gunung

Kêlut, patilasan-patilasan mau wis ilang kabeh, pasanggrahan Wanacatur

lan taman Bagendhawati uga wis sirna, dene pasanggrahan Sabda,

kadhatone Ratu Pagêdhongan uga wis sirna. Kang isih mung rêca

yasane Sri Jayabaya, iya iku candhi Prudhung, Têgalwangi, prênahe in

sa-lor-wetane desa Mênang, lan rêca buta wadon, iya iku rêca kang

diputung tangane dening Sunan Benang nalika lêlana mênyang Kêdhiri,

rêca mau lungguhe madhêp mangulon, ana maneh rêca jaran awak siji

êndhase loro, panggonane ana ing desa Bogêm, wêwêngkon dhistrik

Sukarêja, mula Sri Jayabaya yasa rêca, mangkene caritane, (kaya kang

kapratelakake ing ngisor ini)”.

Ing Lodhaya ana buta wadon ngunggah-unggahi Sang Prabu

Jayabaya, nanging durung nganti katur ing ngarsa Prabu, buta wadon

wis dirampog dening wadya cilik-cilik, buta wadon banjur ambruk,

nanging durung mati, barêng ditakoni, lagi waleh yen sumêdya

ngunggah-unggahi Sang Prabu. Sang Prabu banjur mriksani putri buta

mau, barêng didangu iya matur kang dadi sêdyane. Sang Prabu banjur

paring pangandika mangkene: “Buta! andadekna sumurupmu, karsaning

Dewa Kang Linuwih, aku iku dudu jodhomu, kowe dak-tuturi, besuk

sapungkurku, kulon kene bakal ana Ratu, nagarane ing Prambanan, iku

kang pinasthi dadi jodhomu, nanging kowe aja wujud mangkono,

wujuda manusa, aran Rara Jonggrang”.

Sawise dipangandikani mangkono, putri buta banjur mati. Sang

Prabu banjur paring pangandika marang para wadya, supaya desa ing

ngêndi papan matine putri buta mau dijênêngake desa Gumuruh. (11)

Ora antara suwe Sri Jayabaya banjur jasa rêca ana ing desa Bogêm.

Rêca mau wujud jaran lagaran awak siji êndhase loro, kiwa têngên

dilareni. Patihe Sang Prabu kang aran Buta Locaya sarta Senapatine

kang aran Tunggulwulung padha matur marang sang Prabu, kang

surasane nyuwun mitêrang kang dadi karsa-Nata, ênggone Sang Prabu

yasa rêca mangkono mau, apa mungguh kang dadi karsane.

Sang Prabu banjur paring pangandika, yen ênggone yasa rêca kang

mangkono itu prêlu kanggo pasêmon ing besuk, sapa kang wêruh

marang wujude rêca iku mêsthi banjur padha mangrêti kang dadi

tekade wong wadon ing jaman besuk, yen wis jaman Nusa Srênggi.

Bogêm têgêse wadhah bangsa rêtna-rêtna kang adi, têgêse wanita iku

bangsa wadhah kang winadi.

Laren (12) kang ngubêngi jaran têgêse iya sêngkêran. Dene jaran

sêngkêran iya iku ngibaratake wong wadon kang disêngkêr.

Sirah loro iku dadi pasêmone wong wadon ing jaman besuk, kang

akeh padha mangro tingal, sanadyan ora kurang ing panjagane, iya

bisa cidra, lagaran, iku têgêse tunggangan kang tanpa piranti. Ing

jaman besuk, kang kêlumrah wong arêp laki-rabi, ora nganggo idine

wong tuwane, margane saka lagaran dhisik, yen wis mathuk pikire, iya

sida diêpek rabi, nanging yen ora cocog , iya ora sida laki-rabi.

Sang Prabu ênggone yasa candhi, prêlu kanggo nyêdhiyani yen ana

wadyabala kang mati banjur diobong ana ing kono, supaya bisa sirna

mulih marang alam sêpi. Yen pinuju ngobong mayit, Sang Prabu uga

karsa rawuh ngurmati.

Kang mangkono iku wis dadi adate para raja ing jaman kuna. Mula

kang dadi panyuwunku marang Dewa, muga Sang Prabu karsa yasa

candhi kanggo pangobongan mayit, kaya adate Raja ing jaman kuna,

amarga aku iki anak dhalang, aja suwe-suwe kaya mêmêdi, duwe rupa

tanpa nyawa, bisaa mulih marang asale.

Samuksane Sang Prabu Jayabaya, Patih Buta Locaya sarta Senapati

Tunggulwulung, apa dene putrane Sang Prabu kang kêkasih Ni Mas

Ratu Pagêdhongan, kabeh banjur padha andherek muksa.

Buta Locaya banjur dadi ratuning dhêdhêmit ing Kêdhiri.

Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, dene Ni Mas Ratu Pagêdhongan

banjur dadi ratuning dhêdhêmit ana ing sagara kidul, asmane ratu

Anginangin.

Ana kêkasihe Sang Prabu Jayabaya, jênênge Kramatruna, nalika Sri

Jayabaya durung muksa, Kramatruna didhawuhi ana ing sêndhang

Kalasan. Sawise têlung atus taun, putrane Ratu ing Prambanan, kêkasih

Lêmumbardadu iya Sang Pujaningrat, jumênêng Nata ana ing Kêdhiri,

kadhatone ana sakuloning bangawan (3), kêdhi têgêse wong wadon

kang ora anggarap sari, dene dhiri iku têgêse anggêp, kang paring

jênêng iku Rêtna Dewi Kilisuci, dicocogake karo adate Sang Rêtna

piyambak, amarga Sang Rêtna Dewi Kilisuci iku wadat, sarta ora

anggarap sari. Dewi Kilisuci nyawabi nagarane, aja akeh gêtihe wong

kang mêtu. Mula Kêdhiri iku diarani nagara wadon, yen nglurug

pêrang akeh mênange, nanging yen dilurugi apês. Kang kêlumrah

pambêkane wanita ing Kêdhiri iku gêdhe atine, amarga kasawaban

pambêkane Sang Rêtna Dewi Kilisuci. Dene Rêtna Dewi Kilisuci iku

sadhereke sêpuh Nata ing Jênggala. Sang Rêtna mau tapa ana ing guwa

Selamangleng, sukune gunung Wilis.

WUWUHAN KATÊRANGAN.

Kanjeng Susuhunan Ampeldênta pêputra ratu Fatimah, patutan saka

Nyai Agêng Bela. Ratu Fatimah krama oleh pangeran Ibrahim, ing

Karang Kumuning Satilare Pangeran Karang Kumuning. Ratu Fatimah

banjur tapa ana ing manyura, karo Pangeran Ibrahim Ratu Fatimah

pêputra putri nama Nyai Agêng Malaka, katêmokake Raden Patah.

Raden Patah (Raden Praba), putrane Prabu Brawijaya patutan saka

putri Cêmpa kang katarimakake marang Arya Damar Adipati ing

Palembang, barêng Raden Patah wis jumênêng Nata, jêjuluk Sultan

Syah ‘Alam Akbar Siru’llah Kalifatu’lRasul Amiri’lMu’minin

Rajudi’l’Abdu’l Hamid Kak, iya Sultan Adi Surya ‘Alam ing Bintara

(Dêmak).

Putri Cêmpa nama Aranawanti (Ratu Êmas) kagarwa Prabu Brawijaya,

pêputra têlu:

1. Putri nama Rêtna Pambayun, katrimakake marang Adipati

Andayaningrat ing Pêngging, nalika jaman pambalelane nagara Bali

marang Majapahit.

2. Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati ing Madura.

3. Isih timur rêmên marang laku tapa, nama Raden Gugur, barêng

muksa kasêbut nama Sunan Lawu.

Panênggak Putri Cêmpa nama Pismanhawanti kagarwa putrane

Jumadi’lKubra I, patutan saka ibu Sitti Fatimah Kamarumi, isih têdhake

Kangjêng Nabi Mukammad, asma Maulana Ibrahim, dêdalêm ana ing

Jeddah, banjur pindhah ing Cêmpa, dadi Imam ana ing Asmara tanah

ing Cêmpa, banjur kasêbut nama Maulana Ibrahim Asmara, iku kang

pêputra Susuhunan Ampeldênta Surabaya.

Dene putra Cêmpa kang waruju kakung, nama Awastidab, wus

manjing Islam, nyakabat marang maulana Ibrahim, jumênêng Raja

Pandhita ing Cêmpa anggênteni ingkang rama, pêputra siji kakung

kêkasih Raden Rachmat.

Kang ibu putri Cêmpa (garwa Maulana Ibrahim), pêputra Sayid ‘Ali

Rachmat, ngêjawa nama Susuhunan Katib ing Surabaya, dêdalêm ing

Ampeldênta, kasêbut Susuhunan Ampeldênta.

Cêmpa iku kutha karajan ing India buri (Indo china).

Sayid Kramat kang kasêbut ing buku iki pêparabe Susuhunan ing

Bonang (Sunan Benang).

TAMAT.

(1) Kulon kutha Majakêrta lêt +/- 10 km.

(2) Pêlabuhane saiki aran: “Haipong”.

(3) Lor Stasiyun: Surabaya kota “Sêmut”.

(4) Benang = Bonang ing Karêsidhenan Rêmbang.

(5) Tarik.

(6) Kulon kutha Kêdhiri.

(9) Akire Mênang didêgi pabrik gula arane iya pabrik Mênang,

stasiyune ing Gurah antarane Kêdhiri – Pare +/- 7 km. saka Kêdhiri.

(10) Kidul Majaagung lêt +/- 15-16 km. Saiki dicêluk desa Ngrimbi.

(11) Ing sacêlakipun pabrik Mênang, wontên dhusun nama Guruh.

1. mbok manawi ewah-ewahan saking Gumêrah-Gumuruh.

2. Gurah = gusah.

3. ngrêsiki gorokan.

(12) Laren = kalenan.

(13) Bangawan = Brantas.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply