Prof. Dr. H.M. DIDI TURMUDZI, M.Si.
KEADAAN ini justru akan memberikan warna keindahan “pelangi” wacana dan pemikiran dalam Islam politik maupun Islam Sunda di Jawa Barat khususnya maupun di tanah air pada umumnya. Oleh karena itu, penulis tampaknya perlu memberikan counter argumen dan klarifikasi terhadap beberapa bagian yang menjadi sorotan AS. Meskipun, untuk sorotan tentang Islam politik, penulis sangat berterima kasih kepada Herman Ibrahim — disingkat HI — (“PR”, 29/5/05) yang telah memberikan penguatan dan tanggapan balik yang dalam banyak hal sejalan dengan pemikiran penulis termasuk untuk bagian yang berkaitan dengan DI/TII-nya sehingga dalam bagian ini tidak banyak lagi yang akan diulas.
Islam Sunda
Teori dominasi atau dalam kaitan budaya disebut mainstream yang dikemukakan HI sangat tepat untuk menggambarkan suatu komunitas atau negara dengan image tertentu tanpa mengabaikan yang minoritas. Sehingga masuknya Indonesia ke dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) berlangsuing tanpa kontroversi, padahal jelas bahwa bangsa kita tidak semua beragama Islam dan sampai saat ini warga yang non-Muslim ini tidak pernah terdengar ada yang protes dengan keanggotaan kita dalam OKI. Sebagaimana juga tidak semua warga Arab beragama Islam tapi bahwa Arab sebagai negeri Muslim sudah tak terbantahkan.
Demikian juga kalau dikatakan bahwa jika etnis Sunda sangat identik dengan Islam karena memang mayoritasnya beragama Islam sehingga akan tetap menjadi suatu anomali jika ada orang Sunda yang tidak beragama Islam. Bahkan, secara ekstrem ada seorang tokoh Sunda yang mengatakan bahwa, “Islam teh Sunda jeung Sunda teh Islam” (lihat Jacob Sumardjo, 325:2003). Pernyataan ini tentu kontroversial, karena kalau Sunda itu identik dengan Islam meskipun bisa diterima tapi bagi orang seperti AS terbukti menolaknya bagaimana lagi kalau dikatakan Islam itu Sunda maka reaksinya akan semakin keras dan luas — khususnya dari kalangan Islam fundamentalis — karena berarti mereduksi Islam yang bersifat samawi dengan kesundaan yang bersifat terbatas dan etnis (ardhi).
Oleh karena itu Ajip Rosidi menengahinya dengan mengatakan, “Islam heula samemeh Sunda”. Jadi, pertama-tama orang Sunda itu harus Islam dahulu dan segala sesuatu yang Sunda dan tak bertentangan dengan Islam dapat menjadikan seorang Sunda Islam menjadi Sunda. Dan di kalangan masyarakat Sunda terlihat bahwa dua kekuatan ini memengaruhi perilaku dan orientasi hidupnya, ada yang lebih kuat keislamannya dan sebagian warga lain di daerah-daerah lebih kuat pengaruh sistem Sunda wiwitan dari pengaruh Hindu-Buddhanya.
Dua kecenderungan ini dalam model Geertz dapat dibaca sebagai Islam santri dan Islam abangan. Sebagai sebuah model, tentu saja ada simplikasi dalam melihat realitas kecenderungan keagamaan yang lebih kompleks di masyarakat, tapi justru karena itu kita lebih bisa memahaminya dengan cara pemodelan tersebut.
Pola kecenderungan itu dalam model trikotomik Geertz disebut santri yang berpusat di daerah perdagangan atau pasar. Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya. Sedangkan abangan, berpusat di daerah pedesaan. Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan animisme. Dan priyayi berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman agama mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu.
Trikotomi Geertz memang sejak awal membingungkan karena mencampuradukkan aspek keberagaman dengan stratifikasi sosial dan dalam kenyataan tidak sesederhana itu karena masing-masing terjadi konversi dan perbauran. Muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk memberikan substansi kepada teori kelas menengah. Golongan priyayi menempati posisi teratas, kaum santri di bagian tengah, dan golongan abangan berada di bagian bawah.
Tanpa harus membaca Headley, tulisan Geertz sejak awal banyak dikritik. Salah satu yang pertama dari Harsya Bachtiar yang menurutnya, ketiga varian Geertz tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Dalam kenyataannya, tidak selalu demikian karena ketiga varian ini kadang-kadang bercampur. Meskipun demikian, klasifikasi Geertz sangat membantu untuk melihat sifat dan watak kaum Muslimin Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Karena penggolongan religio-sosial tersebut didasarkan pada pengalaman agama, maka yang digunakan biasanya konsep abangan dan santri, sementara priyayi dipandang berada di tempat yang lain.
Klasifikasi santri-abangan dilakukan berdasarkan pengalaman agama dan tampak secara horisontal. Sedangkan priyayi (secara sosial), penggolongannya adalah vertikal. Dengan demikian, menggabungkan ketiganya dalam satu klasifikasi adalah menyesatkan. Kritik yang sama datang dari Heffner, seorang antropolog dari Universitas Boston Amerika Serikat. Heffner lebih menyukai istilah Javanism daripada abangan karena tidak semata-mata pada kepercayaan, tetapi juga institusi sosial.
Ruth McVey, yang mengomentari konsep trikotomik Geertz berkata, “Dalam kenyataan, pembagian tiga priyayi-santri-abangan didasarkan atas dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan. Dalam hal kebudayaan pemisahan utama terjadi antara ajaran Islam dan ‘agama Jawa’ yang dianut para priyayi-abangan yang memasukkan pikiran pra-Islam ke dalamnya serta mewakili kebudayaan desa dan keraton di Jawa pedalaman, dalam mempertahankan diri terhadap kekuasaan Islam yang telah melangkah maju dalam sejarah. Dilihat dari pendirian ini maka masyarakat Jawa terbagi menjadi dua — bukan tiga bagian kebudayaan. Dan sesungguhnya ini merupakan pembagian dua atas golongan santri dan abangan”.
Sampai sekarang, kedua golongan ini masih ada dan pengaruhnya begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa. Dalam sejarahnya, keduanya merupakan unsur-unsur penting dalam proses perubahan sosial, politik, dan agama di Indonesia. Dalam keadaan demikian, santri dan abangan memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan sosial, politik dan beragama di Indonesia. Tidaklah berlebihan bila Emerson mengatakan bahwa penggolongan santri-abangan merupakan favorit topik bagi para pengamat politik Indonesia.
Dari pemikiran Geertz itu, Herbert Feith kemudian menderivasi menjadi lima aliran pemikiran politik di Indonesia yang dipengaruhi oleh Hindu, tradisionalisme Jawa, Islam serta Barat ke dalam ideologi komunisme (PKI), nasionalisme radikal (PNI), sosialisme (PSI), Islam (NU dan Masyumi) dan Tradisionalisme Jawa.
Pada saat ini, pengelompokan abangan-santri secara horisontal (berdasarkan pengamalan keagamaan) dan priyayi-wong cilik (berdasarkan karena adanya konvergensi sosial). Terjadi mobilitas sosial dari wong cilik ke atas, dan sebaliknya dari priyayi ke bawah. Sementara itu, golongan santri dan abangan sudah membuka diri sehingga terjadi proses saling mengisi. Akibatnya, batas-batas kultural di antara mereka sulit dikenali lagi. Bahkan di tengah kebangkitan dan antusiasme Islam belakangan terjadi “santrinisasi” kelompok abangan & sekuler, malah sebagian mereka mengeras menjadi “neo fundamentalisme”.
Dengan demikian tentu saja model trikotomi Geertz dalam membaca pola kecenderungan masyarakat Sunda tidak bisa dipakai seluruhnya, meskipun di beberapa bagian dapat digunakan alakadarnya. Dulu, di tatar Sunda, karena pengaruh Mataram, masyarakat dibagi ke dalam kaum menak (bupati -priyayi) atau senata dalem (bangsawan keturunan bupati) dan golongan atau somah (rakyat biasa). Sedangkan istilah santri di tatar Sunda cukup populer yang berkonotasi taat beribadah dan berkelakuan baik sehingga Bupati R.A.T. Wiranatakusumah pada saat itu dikenal sebagai bupati yang nyantri. Sedangkan istilah abangan, di tatar Sunda memang tidak populer untuk menggambarkan orang yang kurang taat melaksanakan ajaran agama sering masuk dalam kategori ini misalnya apa yang dulu disebut syahadat kalimusada, Islam Saepi dan Islam Madrais yang satu sama lain mempunyai karakter tersendiri.
Berkaitan dengan Madrais, ini awalnya merupakan kesalahan strategi dakwah sebagaimana dicontohkan para wali songo di mana mereka tidak menghadapi budaya yang ada secara frontal tapi melingkar dan merasuk ke dalam sehingga aspek substansi secara tidak disadari sudah berubah dengan warna Islam, contoh cerita pewayangan dan beberapa adat istiadat. Dan model ini tidak berhasil ketika proses Islamisasi di daerah Cigugur karena telanjur dicap penyimpangan sehingga akhirnya mereka lari ke PKI, Sunda wiwitan dan akhirnya ke Kristen, karena masyarakat Islam yang ada sudah tidak menerimanya.
Terlepas dari itu, semua proses Islamisasi di Jawa sejak awal dilakukan tanpa paksaan dan atas dasar sukarela, lembut dan penuh toleransi dan justru ini yang menjadi salah satu keberhasilannya. Sehingga jika ada beberapa kelompok yang belum tersentuh di satu etnis yang sama harus dianggap suatu yang wajar saja, khususnya untuk kelompok Kristen di Cideres dan sebaiknya justru menjadi “PR” juru dakwah selanjutnya.
Modernisme Islam
Berkaitan dengan modernisme Islam seperti dipertanyakan AS, penulis melihat bahwa modernisme Islam pada dasarnya adalah suatu gerakan pemikiran untuk kembali kepada Alquran dan Sunnah yang pada tahap awal dimotori oleh Ibnu Taymiyah, kemudian Muhammad Ibn Abdul Wahab dan secara lebih kuat ditampilkan oleh Al-Afgani dalam penggalian keilmuan dan filsafat untuk pembaharuan pendidikan yang berjuang penuh semangat untuk membebaskan hati dan pikiran umat dari tahayul, masa bodoh dan pasivisme. Dan dalam bidang politik dengan menggelorakan Pan Islamisme-nya yang bertujuan untuk menentang penetrasi Eropa. Upaya ini selanjutnya diteruskan oleh Muh. Abduh dan Rasyid Ridha sehingga sering dikatakan bahwa, “Al-Afgani adalah pemberi ilham dari mazhab salaf, Abduh adalah otaknya dan Rasyid Ridha adalah juru bicaranya”.
Dengan demikian modernisme Islam berusaha memberikan tafsir terhadap realitas kekinian dari perspektif keislaman atau seperti kata Bassam Tibi yaitu upaya pengintegrasian ilmu dan teknologi modern ke dalam Islam tetapi berusaha menghindari berbagai konsekuensi negatif dari penerapannya. Kaum modernis berusaha melihat Islam sebagai “jalan tengah”, dari kecenderungan-kecenderungan ekstrem yang terdapat dalam agama-agama dan paham. Karena Alquran sendiri menurut kaum ini, menjadikan umat sebagai ummatan washatan (umat pertengahan) dan khayru ummah (umat terbaik) yang ditonjolkan Allah terhadap umat-umat lain. Berdasarkan itu, modernisme memandang dalam bidang muamallah, harus bersifat terbuka (inklusif) dan memandang hikmah seperti dikatakan suatu hadis sebagai, “harta kekayaan orang beriman yang hilang”.
Oleh karena itu, dalam banyak hal, modernisme Islam sering dihadapkan pada fundamentalisme sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara pengintegrasian doktrin agama dalam hubungan antarmanusia, Tuhan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, dalam penafsiran kaum ini sering bersifat rigid dan literalis karena memandang bahwa corak pengaturan doktrin Islam bersifat total dan serbamencakup. Karena itu ijtihad dibatasi hanya pada masalah-masalah ketika doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan detail.
Hal ini tentu berbeda dengan kaum modernis yang melihat bahwa doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal dan karena itu ijtihad harus digalakkan. Oleh karena itu, dalam bidang politik kaum modernis tidak mementingkan simbol-simbol formal seperti “negara Islam” atau “dasar negara Islam” melainkan semangat dan jiwa hakikat hidup bernegara itu yang lebih penting. Sehingga secara umum kaum modernis dapat beradaptasi dengan gagasan demokrasi liberal yang berkembang di Barat seperti pluralisme, partisipasi politik, kebebasan beragama, dan lain-lain.
Alhasil, dalam dinamika kehidupan mustahil melahirkan “kesatuan” dan keseragaman pemikiran, aliran keagamaan dan ideologi politik, karena takdir kehidupan sendiri setidaknya berpasangan. Oleh karena itu, perbedaan harus dilihat secara positif dan rahmat untuk melahirkan hikmah dan pencerahan, sebagaimana diharapkan dari polemik ini. Semoga demikianlah adanya.