Dalam novel Norwegian Wood, pastinya aku belajar bagaimana etika dan moral masyarakat Jepang. Etika adalah sistem nilai yang dianut oleh suatu kelompok, bisa suku atau negara. Isinya biasanya nilai-nilai baik. Jika etika sifatnya lebih universal, sebaliknya moral; sifatnya lebih sempit lagi. Bisa jadi makan dengan tangan kiri itu dianggap amoral buat orang Indonesia, tapi, belum tentu orang Amerika menganggapnya demikian.
Aku ambil sebuah contoh, tentang kebiasaan tidur bersama. Di Indonesia, pasangan yang belum menikah sangat dilarang untuk tidur bersama. Bahkan, jika hanya berciuman pun sudah sangat dianggap buruk. Berbeda dengan di Jepang. Orang-orang di sana santai saja menyikapi kebiasaan tidur bersama. Malah, mereka bisa tidur dengan orang asing yang baru ditemuinya dalam beberapa jam saja, dan itu sudah menjadi hal yang wajar.
Hal itu dimungkinkan oleh bedanya pemahaman. Indonesia diisi oleh mayoritas muslim yang sudah pasti agamis. Akan mengatakan bahwa hal itu salah dan tak boleh dilakukan, kecuali apabila sudah punya ikatan sah. Sedangkan di sisi lain, Jepang yang tidak terlalu hirau terhadap agama, lebih menekankan pemahamannya pada rasio atau akal. Jadi, mereka akan berpikir selagi itu tidak merugikan, kenapa tidak? Ia senang, aku pun senang. Asal suka sama suka, keduanya sama-sama akan diuntungkan.
Menurutku, Indonesia masih jauh ketinggalan dalam hal memahami cara berpikir. Kadang kebanyakan orang Indonesia selalu menilai sesuatu dengan sangat cepat, tanpa memikirkan variabel-variabel lain. Mereka hanya tahu benar dan salah. Penilaiannya terjebak hanya di antara hitam dan putih. Misalnya, Jepang yang biasa saja menyikapi seks bebas, akan dicap sebagai negara yang tidak punya etika dan moral. Padahal yang membuat heran, walau kehidupan seks terbilang bebas, justru populasi penduduk di Jepang tiap tahun menurun. Sedangkan di Indonesia, di negara yang anti terhadap seks bebas, populasi penduduk naik dengan pesat setiap tahunnya.
Anak SMA Jepang pada umumnya telah menghasilkan suatu karya dari hasil belajarnya. Seperti menciptakan robot canggih, teknololgi baru, dan lain-lain. Bagaimana dengan Indonesia? Tak kalah dari Jepang, anak SMA di Indonesia juga banyak yang telah menghasilkan suatu karya yang bisa dibilang sangat fantastik, yaitu, menciptakan manusia.
Kemudian, mari kita berbicara soal sopan santun. Menurutku, orang-orang Jepang tak kalah sopannya dengan orang-orang Indonesia. Justru, rasanya, mereka memilki prinsip sopan santun yang lebih tinggi. Karena sopan santunnya orang Jepang itu pure, murni. Mau itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Di mana pun tempatnya, mereka akan selalu bersopan santun. Dan mereka melakukannya untuk menjaga martabat dan kehormatan dirinya. Beda dengan orang Indonesia yang terlihat sopan di depan tapi di belakang, seringnya benar-benar tak ada akhlak.
Kupikir, hal itu mungkin bisa terjadi karena orang Jepang tidak terlalu menjadikan agama sebagai landasan. Mereka lebih suka menggunakan akalnya, dan lebih mempercayai suatu hal yang dapat dicerna olehnya. Mereka percaya bahwa hidup bisa berjalan sesuai dengan kehendak mereka. Apabila ingin sukses, kaya, dan bahagia, maka mereka harus mengerjakan sesuatu yang akan membuatnya sukses dan menggapai segalanya. Misalnya, dengan disiplin dan kerja keras.
Kebalikannya, orang-orang yang menelan agama mentah-mentah tanpa dibarengi akal sehat, seringnya tidak menjadi apa-apa. Sebab mereka percaya bahwa segalanya dalam hidup telah diatur Yang Maha Kuasa. Tinggal tunggu giliran saja. Mereka pun jadinya sering malas dan mudah putus asa.
Padahal, di Islam misalnya, ada pepatah yang mengatakan, “Bekerjalah seperti kau akan hidup selamanya, dan beribadahlah seperti kau akan mati esok pagi.” Jika mau sedikit menggunakan akal, kupikir hidup kita tak akan menjadi hancur-hancur amat. Tentunya, akal pun harus digunakan dengan takaran yang pas. Sebab, bahaya juga jika ternyata berat sebelah.
Iman tanpa akal tidak cukup. Sedangkan akal tanpa iman bisa berbahaya.
Judul Norwegian Wood | Penulis Haruki Murakami | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia | Tebal 423 hal | Peresensi Reni Saputri| Penyunting Ridwan Malik