Ironi Pun Boncel

(Ahmad Gibson Al-Bustomi)

Panas tiris baseuh tuhur,

Ngeunah teu ngeunah nu aing,

Nu kasorang ulah nyemah,

Bisi pajar dipilain,

Hiji barang dua ngaran,

Bongan dua nu ngalandi.

(K.H. Hasan Mustapa)

Dulu, ceritera epik Pun Boncel bukan merupakan cerita asing. Entah sekarang. Anak desa yang meninggalkan kampung halaman dan ibunya, menjadi pengembala kuda dan akhirnya menjadi seorang bangsawan. Ketika kesuksesan telah diraihnya, ia mencampakkan dan tidak mengakui ibunya. Dan, sang ibu pun menghujat anaknya. Pun Boncel sakit keras. Ceritanya mirip Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu. Tampaknya kaum ibu di masyrakat Sunda lebih pemaaf, seperti dalam cerita Pun Boncel. Ia hanya di dihujat dan sakit, dan setelah Pun Boncel insap serta memohon ma’af, sang ibu memaafkannya dan Pun boncel pun sembuh dari sakitnya. Selanjutnya, mereka menjadi keluarga yang bahagia. Happy Ending.

Melihat alur dan setting suasananya, cerita Pun Boncel, bisa dipastikan lahir dari masa penaklukan (penjajahan) Mataram atas wilayah Priangan. Secara selintas, cerita ini hanya merupakan cerita yang berisi petuah tentang akibat dari kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya. Akan tetapi, untuk konteks budaya ketika itu, sangat sulit diterima adanya kenyataan seorang anak mendurhakai ibunya, dengan tidak mengakuinya.

Dalam konteks kesekarangan; bila hal itu benar-benar terjadi, ada anak yang mengabaikan atau bahkan tidak mengakui atau menolak orang tuanya (khususnya ibunya), bisa dipastikan bukan hanya karena anak tersebut memang durhaka, akan tetapi bisa pula dipastikan karena orang tuanya sendiri yang tidak (bisa) memposisikan dirinya sebagai orang tua. Dan, fenomena itu tidak ditemukan pada cerita Pun Boncel. Lalu, ada apa di balik cerita Pun Boncel yang dulu sangat terkenal itu ? Wallahu’alam.

Fakta literal dari cerita Pun Boncel, adalah ironi. Seorang anak menolak ibunya karena ia seorang dusun yang miskin. Dalam kosmologi budaya Sunda, ibu adalah inti sari bumi (Dewi Sri) yang turun dari langit, dan ia adalah cahaya langit (Sunan Ambu), dan dunia (buana) adalah tempat bagi manusia untuk menemukan jati dirinya (Lutung Kasarung). Ibu adalah axis mundi (pusat dunia). Maka, bagi orang Sunda, tidak ada lagi dosa terbesar selain durhaka pada ibunya. Maka, cerita Pun Boncel menjadi cerita yang sangat berharga, mutiara paling berharga yang bisa diberikan sang ibu pada anak-anaknya ketika mengantarkan sang anak ke dalam mimpi malamnya yang paling indah.

Pun boncel, anak dusun, pada masa penaklukkan Mataram tidak mungkin berharap menjadi pembesar, bangsawan. Mimpi pun terlalu besar untuk itu. Dan, tanpa diduga, tarikan kehidupan menyeretnya ke ruang yang tidak pernah disentuh oleh mimpinya sekali pun. Ia menjadi bangsawan. Kecerdasan, keuletan dan kesabarannya, telah mengantarkannya ke sana. Dunia yang bersih dari lumpur kotor dan keringat pedusunan. Maka, ia campakkan pakaian lusuh yang ia bawa dari kampungnya, yang dulu ia terima sebagai warisan orang tuanya, yang ia terima dengan segenap jiwanya. Warisan yang menjadikannya hadir di muka bumi.

Budaya, kepribadian, moralitas. Itu yang ia warisi. Dan, kemudian dicampakkannya, karena ia telah mendapatkan budaya, kepribadian dan moralitas baru. Yang ia sandang dengan seluruh suka cita dan rasa bangga. Kenapa pun Boncel melepaskan warisannya setelah ia duduk di atas singgasana? Tidak bisakah ia duduk di atas singgasana dengan pakaian udiknya? Pakaian yang telah membangkitkan semangat hidupnya. Pakaian yang telah membuatnya menjadi manusia ulet dan sabar dan cerdas. Pakaian yang telah mengantarkan pada kesuksesan yang telah diraihnya ?

Pun Boncel yang bangsawan itu, telah meninggalkan nilai-nilai primordialnya, telah meninggalkan axis mundi-nya. Meninggalkan, melupakan, bahkan menolak ibunya dengan rasa jijik. Menolak budayanya. Dan, akhirnya tanah, air dan nurani yang telah lama mengalir dalam darahnya, darah yang mengalir deras dari ibunya, berbalik meracuninya. Ia jatuh sakit. Ibu yang berwujud tanah dan air, ibu yang berwujud padi yang menjadi makanan pokoknya, ibu yang mewujud cahaya mata hari dan cahaya hatinya. Maka, mata hati dan mata bathin Pun Boncel pun menjadi gelap, tak ada cahaya yang bisa menyelinap ke dalam matanya. Tertutup baju kebesaran. Baju orang lain.

Fenomena Pun Boncel, adalah ironi yang berubah menjadi tragedi. Tragedi kultural, tragedi kepribadian. Tragedi yang terlahir dari budaya kolonialisme serta poskolonialisme dan mental inlander. Cerita Pun Boncel dalam konteks kesekarangan bisa dilihat sebagai kritik terhadap sikap radikal dari cara pandang orang pada budayanya. Cara pandang yang mengkutub secara radikal, cara pandang hitam putih terhadap kebudayaan. Kebudayan, termasuk kebudayaan pribumi, bukanlah kitab suci yang harus diterima secara apriori, dan bukan pula pakaian yang bisa begitu saja ditanggalkan dan dibuang. Ia adalah badan kita sendiri, yang harus dipelihara dan perlu diamputasi serta dibersihkan bila terdapat penyakit di dalamnya.

Masyarakat Sunda, khususnya di kalangan generasi muda dan setengah tua, kini seperti anak ayam kehilangan induknya. Ia kehilangan identitas dirinya, karena terasing dari budaya primordialnya dan ia pun tidak pernah bisa menapakkan kakinya di atas kebudayaan “modern”  yang tidak jelas bentuknya. Di satu sisi ia “mengutuk” budaya modern, dan di sisi lain ia tidak punya referensi budaya lokal atau budaya lain tempatnya berlabuh, kembali. K.H. Hasan Mustapa menggambarkan kondisi sejenis :

      Mupunjung ka uwung-uwung

Migusti ka katumbiri

Mangeran ka awang-awang

Lain deui lain deui

Nu aya disaha-saha[ISGD1] 

Aling-aling roch idofi

Nu matak diugung-ugung

Kupanarimaning ati

Nu datang disaha-saha

Nu undur dileungit-leungit

Kokoceakan neangan

Matangankeun nu ngabukti

Rasa frustasi, termasuk dari kalangan budayawannya, telah melahirkan sikap mengkutub yang membuta. Mereka mencari-cari sesuatu dari catatan masa lampau yang belum tentu cocok, bahkan mungkin terasa asing. Karena apa yang dicarinya telah terlalu jauh dari titik dimana ia berdiri. Ia pun menolak nilai-nilai lokal “kontemporer” karena dicurigai sebagai sesuatu yang bukan miliknya. Dan sebagian lagi, menolak masa lalu dan budaya lokal dengan rasa nyinyir, sementara apa yang  dipegang pun tak sepenuhnya ia pahami. Mereka seperti “Nu pundung di Bandung ka Cikapundung” yang diungkap dalam Uga Bandung.

      Masyarakat Sunda kini mengalami neurosis, karena frustasi. Neurosis pula yang menyebabkan masyarakat Sunda terpecah-pecah. Mereka mencari akar historis bangsanya, sambil menolak-nolak dan memilah sebagian dari fakta pengalaman sejarahnya. K.H. Hasan Mustapa menyindir perilaku menyebelah ini dangding-nya :

Kiaina deui kitu, 

Têpi ka mêlêtik budi, 

Hidayat ka pangeranan, 

Heran ku basa kiai, 

Naha bêt nyêmbah nyabeulah, 

Kumaha jadina hiji.

Kini, masyarakat Sunda hanya bisa berharap ibunya yang telah dilupakan tidak mengutuknya, walau rasa sakit telah merasuki seluruh bagian tubuhnya. Bahkan, borok dan benjolan-benjolan telah muncul di sana-sini. Lebih dari sebagaian tubuh telah ada yang diamputasi. Ia hanya bisa meratap, setelah bagian dari tubuh itu terpisah dari badannya. Kalau pun supata (kutuk) sang Ibu telah diucapkan, hanya ada satu harapan, Sang Ibu masih mau memafkan dan menerimanya. Itu pun, bila ia segera menyadari kesalahan dan penyakit yang dideritanya, dan “Nu pundung di Bandung ka Cikapundung geus balik deui”. Wallahu’alam.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply