Keadilan yang paling adil hanya keadilan dari Tuhan. Tahun Penuh Gulma, karya Siddharta Sarma adalah judul buku yang mengandung banyak arti dalam setiap katanya. Saat pertama kali aku membaca judulnya, aku menduga kata ‘gulma’ itu adalah rumput liar. Setelah aku cari-cari maknanya di kamus ilmiah, ah, ternyata dugaanku hampir mendekati benar.
Di dalam bukunya itu, Siddharta Sarma menceritakan tentang seorang pemuda yang bernama Korok, berumur sekitar belasan tahun yang putus sekolah. Sedangkan ayahnya ditempatkan ke dalam penjara oleh polisi, walau tidak pernah ada bukti yang mendukung hal itu.
Aku sempat merasa aneh ketika penangkapan ayah Korok berlangsung. Waktu itu ia sedang menaiki sepeda dengan membawa beberapa kentang. Tiba-tiba ia disergap oleh polisi lalu dimasukkan ke dalam mobil. Tapi kenapa sepeda dan kentangnya ikut serta diadili? Terdengar kabar bahwa kentangnya sudah divonis masuk ke dalam perut polisi, sedangkan sepedanya disimpan. Ternyata polisi juga bisa membuat lelucon, ya.
Aku merasa tidak tega pada Korok ketika ia dibawa ke kantor polisi. Coba bayangkan. Pantas tidak, seorang polisi menampar keras seorang pemuda yang tidak bersalah? Polisi itu mengira bahwa Korok adalah orang yang mencuri ayam dan kandangnya. Mungkin sekarang ini polisi-polisi sudah mulai melalaikan tugasnya sebagai penegak kedilan.
*
Perilaku jujur dan dermawan ternyata memang tidak dapat dipisahkan. Keduanya mempunyai ikatan khusus yang saling terkait. Di dalam novel Tahun Penuh Gulma, ada juga dibahas tentang seberapa jauh sih tingkat kejujuran seseorang dalam bersosial.
Hampir semua orang suku Gondi memiliki pohon buah-buahan di depan rumahnya. Mereka akan senang jika ada yang meminta buah itu. Karena mereka berpikir, jika buahnya dibiarkan terus maka akan membusuk. Berbeda halnya dengan penjual buah di Pasar Balangir. Namanya juga ingin laris, tidak ingin dagangannya rugi, jadi si penjual mengatakan bahwa buahnya masih segar. Walaupun, ya, itu jauh berbeda dengan kenyataannya. Sudah pasti hal itu dibuat semenarik mungkin untuk menutupi kebenarannya. Ia mencipratkan air ke buah-buahan agar terlihat fresh kembali.
Novel ini juga mengajarkan bahwa kita, manusia, harus belajar bercocok tanam. Banyak sekali manfaat dari bercocok tanam. Selain untuk bahan pangan, misalnya, kita juga bisa meramu obat herbal dari tanaman-tanaman yang sudah ditanam itu. Jadi, kita bisa mengurangi penggunaan obat kimia. Seperti halnya Korok yang menjelaskan khasiat tanaman senna. Konon katanya, senna bisa meredakan penyakit pegal-pegal pada punggung, tangan, dan kaki dengan diambil minyaknya lalu digosokkan ke bagian persendian.
Semua orang di desa itu tahu bahwa siapa pun bisa menumbuhkan kentang dan sebagainya, atau memetik bunga liar dari bukit. Tapi konon katanya, hanya Korok seorang yang bisa menumbuhkan tanaman atau bunga liar di kebunnya. Kau ingin tahu apa rahasianya? Ternyata selama ini Korok menanam tanamannya dengan penuh cinta. Cintalah yang membuat tanaman-tanaman liar bisa tumbuh dengan indah di kebunnya.
*
Saat aku kecil, aku menganggap ayahku adalah orang yang paling berkuasa di rumah. Itu karena ia mempunyai uang. Uang ternyata bisa jadi simbol kekuasaan. Hal itu terbukti sampai sekarang.
Seperti orang-orang proyek yang berbicara dengan santainya kepada dua remaja. Bahwa tujuan mereka datang ke sana adalah untuk menggusur tempat keramat yang ada di bukit untuk diambil bauksit-nya. Selain perusahaan akan mendapat keuntungan, katanya, orang-orang pun harusnya senang. Karena setelah bukitnya dikeruk, mereka akan punya pekerjaan. Pekerjaan yang bagaimana? Tentu saja pekerjaan yang malah membuat hidup orang-orang sengsara.
Ternyata manusia belum benar-benar bisa memahami jujur dan adil. Mbah Pram pernah mengatakan bahwa kita itu, “Harus bersikap adil sudah sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.” Coba pikirkan! Manusia mana yang tidak akan marah dan sakit hati ketika tempat yang berarti bagi mereka direbut dan dirusak? Tapi ternyata orang-orang proyek tetap melakukannya. Orang-orang proyek itu bisa berbuat semau mereka, yaitu menuruti keserakahan, menuruti ego. Kau tahu kenapa? Karena mereka mempunyai uang.
Saat pertama kali aku membaca novel ini, aku baru paham ketika sudah sampai di halaman 50. Ternyata judul dari Tahun Penuh Gulma itu tak lain dan tak bukan merujuk pada orang-orang proyek. Atau orang-orang perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa mereka sama saja seperti gulma. Karena walaupun tidak semua gulma sama jenisnya, tapi aku belum pernah mendengar kalau gulma pernah menjadi kabar baik untuk kebun.
Manusia memanglah mahluk yang tidak pernah puas. Seperti orang-orang proyek itu. Coba pikir-pikir! Mereka itu kan sudah punya banyak uang, berarti mereka sudah bisa dibilang berkuasa. Tapi, lalu apa yang terjadi? Mereka tetap menggali bauksit di bukit itu. Ya, tujuannya sama saja. Hanya untuk mendapatkan uang. Ujung-ujungnya balik lagi, yaitu agar mereka lebih berkuasa.
*
Selain tentang gulma dan bercocok tanam, ada bagian menarik lagi dalam buku ini. Tentang mengapa kita harus mencari ilmu pengetahuan, dan tentang membaginya atau memanfaatkannya untuk orang lain. Tak boleh hanya untuk kepentingan diri sendiri. Seperti sosok guru yang selalu mengajarkan bahwa kita tidak boleh bersikap sombong, apalagi egois. Kita harus berbagi ilmu yang telah didapat kepada orang lain.
Dalam novel ini, aku suka dengan seorang tokoh. Jadob namanya. Ia memiliki nasib yang beruntung dibanding Korok. Saat SMA Korok ditinggalkan oleh gurunya, tapi tidak dengan Jadob. Oleh karena itulah ia bisa melanjutkan pendidikannya. Dengan modal ilmu pengetahuan yang telah ia dapatkan, maka ia bisa membantu masyarakat setiap ada suatu permasalahan.
Jadob sangat peduli pada orang-orang desa. Selain itu tata krama dalam berbahasa pun ia miliki. Ia tahu betul bagaimana bersikap jika sedang berhadapan dengan orang yang lebih muda atau yang lebih tua darinya. Momen yang kusukai dari seorang Jadob adalah ketika ia mendukung apa pun keputusan dan tindakan Korok untuk menyelamatkan suku Gondi dan bukit Devi.
Siddharta Sarma juga menceritakan bahwa kita harus tetap tersenyum walaupun hidup serba sederhana. Anchita membandingkan lukisan yang menggambarkan kehidupan sederhana yang menampilkan ruangan kosong dan sebuah sendok, dengan keadaan rumah Korok yang hanya terdiri atas kamar, dapur, balai-balai, tergantung cermin di dinding, rak kayu, dan ada beberapa pakaian miliknya. Bisa disimpulkan oleh Anchita bahwa ruangan kosong milik Koroklah yang paling bisa disebut kehidupan sederhana yang lengkap. Karena di antara ruangan kosong itulah Korok tersenyum, dan menikmati makanan pemberian Anchita dengan senang dan puas.
Korok dan Anchita dengan usianya yang masih belasan tahun, sudah punya keinginan luhur untuk membantu orang-orang Gondi. Mereka tidak hanya berkeinginan saja, tapi mereka juga ikut bertindak. Namun tidak ada yang mengetahuinya selain mereka berdua. Anchita mengambil sebuah keputusan sekaligus tindakan yang berani dan patut dijadikan contoh. Anchita mengirim e-mail yang berisi cerita film kepada seorang sutradara film. Alur film-nya sama persis dengan keadaan yang sedang dialami oleh orang-orang Gondi. Sutradara film itu cukup terkenal. Jadi Anchita pikir, apa salahnya mencoba menghubunginya agar bisa dimintai bantuan?
Ya, intinya kita harus yakin dan percaya kepada diri sendiri. Karena itu bisa jadi penolongmu sendiri. Selain itu, kita juga harus mengemukakan sebuah ide jika dengan itu akan tercipta perubahan yang baik. Meskipun ide itu mungkin dianggap mustahil oleh orang-orang. Tapi ada pepatah mengatakan, never try never know.
Kita juga tidak boleh terus menerus bersembunyi di balik keputusan orang lain. Maksudku, bersembunyi di ketiak orang lain. Karena itu sama saja dengan plagiat. Menurutku keputusan yang timbul dari pemikiran sendiri lebih hebat dibanding dengan keputusan milik orang lain. Ya, karena setidaknya otak kita dipakai untuk berpikir. Maka dari itu, ayolah kita bersama-sama belajar untuk berani beropini dan juga berani untuk mengambil keputusan sendiri. Itu baru generasi yang hebat.
Nah, saat kau telah memutuskan sesuatu, maka kau harus mempertahankan keputusanmu itu. Jangan sampai keputusan yang telah kau ambil itu tergoyahkan oleh orang lain. Kecuali jika keputusan yang kau ambil itu kurang tepat dan baik. Tak salah jika ada orang mengoreksi dan memperbaikinya. Kita juga bisa membedakan mana orang yang mencoba menghancurkan keyakinan kita, dan mana orang yang akan memperbaiki keyakinan kita demi kebaikan diri kita sendiri.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa ubahlah hidupmu hari ini, jangan bertaruh pada masa depan, bertindaklah sekarang tanpa menunda. Menurutku Korok telah melaksanakan pepatah itu. Korok terus berpikir bagaimana caranya agar orang-orang Gondi tidak merasa sedih karena perbukitan Devi yang akan digali oleh perusahaan. Apakah Korok pernah berpikir takut kalah karena harus melawan orang-orang besar yang memegang kekuasaan? Tidak, Korok tidak seperti itu. Sikap Korok yang gigih menunjukkan bahwa Korok tidak peduli akan bagaimana nanti hasilnya. Apakah nanti ia akan kalah atau menang. Yang pasti, ia sudah berusaha melawan.
Ternyata memang benar. Jika kita memfokuskan diri pada pemikiran bahwa kita akan kalah, maka usaha yang akan kita lakukan tidak akan pernah terlaksana. Karena nantinya hal itu jatuh pada keraguan. Sedangkan, sikap ragu itu tidak baik. Karena orang yang ragu itu seperti kapal yang sedang terombang-ambing oleh ombak di lautan, tidak tentu arahnya ke mana.
Disebutkan juga dalam Qs. Al-baqarah ayat 147, “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.”
Memang sulit, sih, untuk menghindari sikap ragu. Terkadang kita refleks bersikap seperti itu. Maka dari itu tidak ada buruknya jika kita belajar untuk menghilangkan rasa ragu yang ada di dalam diri kita. Di awal-awal memang pasti akan sulit, itu wajar. Kalau tidak sulit bukan belajar namanya. Belajar itu tidak harus langsung bisa. Belajar itu proses yang harus disandingkan dengan sikap sabar dan konsisten. Terus, mau semalas apa pun kamu belajar sampai-sampai kamu ingin berhenti belajar, tapi hidup tak akan pernah berhenti mengajarimu. Benar, kan?
Secara tidak langsung hidup telah banyak mengajari kita. Kita kadang-kadang hanya tidak menyadarinya saja. Secara tidak langsung juga hidup telah menjadi guru kita. Ada quote seperti ini, experience is the best teacher. Benar juga. Karena jika kita pernah punya pengalaman terhadap sesuatu, akan lebih mudah untuk memahami sesuatu itu. Makannya, kita harus berusaha berani untuk menciptakan pengalaman itu.
Nama Saniya Kautsar | Judul Tahun Penuh Gulma | Penulis Siddharta Sarma | Penerbit Marjin Kiri | vi + 248 hlm; 14 x 20,3 cm | Penyunting Ridwan Malik