EnglishArabicIndonesian
Categories
Book Reviews Reading novels Treasure

Kebenaran adalah Kebohongan yang Disampaikan Berulang (Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi)

Mengingat novel Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, aku teringat si pembual, Warto Kemplung. Novel karya Mahfud Ikhwan ini dimulai dengan sebuah dongeng dari Warto Kemplung di sebuah warung kopi. Menceritakan tentang tragedi seorang anak laki-laki yang terlahir buruk rupa bernama Muhammad Dawud, yang kemudian dikenal sebagai Mat Dawuk.

Julukan plung atau kemplung yang diberikan kepada Warto oleh warga desa Rumbuk Randu berarti pembawa berita bohong. Julukan itu didapatnya setelah ia bercerita kepada semua orang tentang dirinya yang merantau ke Malaysia, dan mengaku berteman dengan seorang pejabat tinggi Malaysia yang dikenal orang Indonesia sebagai Anwar Ibrahim.

Meski Warto Kemplung dikenal sebagai tukang ngibul, tapi siapa sangka, ceritanya tentang Mat Dawuk ternyata didengar oleh seorang wartawan yang tengah mencari berita. Namanya Mustofa Abdul Wahab. Ia lalu membukukan bualan Warto Kemplung dengan judul Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu. Cerita itu mendapat respon yang sangat bagus dari para pembaca.

Warto Kemplung mirip dengan salah seorang kakak kelasku. Kakak kelasku suka dan selalu bercerita panjang lebar. Setiap hari, entah kenapa selalu ada saja topik yang ia ceritakan padaku dan teman-temanku. Saat aku dan teman-temanku bertanya tentang apa yang diceritakan kakak kelasku kepada seseorang, aku akan mendapat jawaban begini, “Kayak yang gak tau aja kamu. Dia memang selalu membual. Kisah yang dia ceritakan tak semuanya benar. Dia selalu menambahkan kejadian yang tak sebenarnya supaya ceritanya tak ada akhir.”

Sebenarnya aku tahu kalau dia memang begitu. Maksudnya, aku tahu kalau kakak kelasku itu memang seorang pembual. Namun anehnya, aku dan teman-temanku, atau orang-orang yang pernah mendengar ceritanya selalu saja meresponnya dengan baik. Entah karena caranya bercerita sangat menarik, atau kisah yang diceritakannya terkesan seru.

Soal cerita atau berita bohong, kalian tentu familiar dengan kata hoax. Istilah hoax banyak dibicarakan orang di dunia nyata dan maya.

Hoaks mulai dikenal dan dipakai di Inggris pada abad ke-18. Bersamaan dengan terbitnya buku A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names and Allusions to Customs yang ditulis oleh Robert Nares tahun 1822. Ia menulis mengenai  asal-muasal kata hoaks. Menurutnya, hoaks berasal dari kata hocus dalam hocus pocus. Hocus pocus adalah mantra yang diucapkan para penyihir. Kata hocus pocus diambil dari salah satu nama penyihir Italia yang terkenal, Ochus Bochus. Kata hoaks kemudian dipakai oleh para pesulap dalam pertunjukan mereka.

Menurut Robert, hoaks adalah kabar bohong yang dibuat untuk melucu. Selain itu, hoaks juga sengaja dibuat. Hoaks dibuat dengan tujuan untuk membuat bingung penerima informasi dengan maksud menghibur berupa candaan. Seiring berjalannya waktu, kata hoaks lantas semakin dikenal dan berkembang.

Lalu, bagaimana bisa hoax memikat hati para pendengar atau pembaca seperti halnya bualan Warto Kemplung yang diterima oleh telinga warga desa Rumbuk Randu?

Bualan Warto Kemplung bukanlah bualan biasa. Karena cerita yang disampaikannya mengandung deskripsi yang jelas. Cerita yang disampaikan Warto Kemplung tidak hanya fokus pada tokoh dan peristiwa, tapi juga lengkap dengan sejarah dan fakta-fakta politik yang berhubungan. Campuran antara fiksi dan fakta inilah yang membuat seolah-olah kisahnya betul-betul terjadi.

Begitupun hoax bekerja. Dengan campuran antara fiksi dan fakta, banyak orang terpikat hatinya dan percaya bahwa informasi yang mereka terima itu benar. Di Indonesia, hal ini bertambah semakin parah. Berdasarkan riset World’s Most Literate Nation Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Sekolahku padahal telah menerapkan program literasi yang mewajibkan setiap murid membaca buku dan kemudian membuat atau menulis opini setelah membacanya. Namun ternyata, perbandingannya masih sangatlah jauh, mungkin 1:1000. Sepertinya inilah alasan kenapa orang-orang di Indonesia bisa dengan mudahnya menerima informasi tanpa memilah dan memilihnya. Itu karena asupan literasi di dalam otaknya masih sangat kurang. Aku berharap suatu saat Indonesia bisa menempati peringkat tiga besar.

Sebagai generasi penerus, kita harus memperbaiki kebiasaan dalam mencari atau membaca informasi. Minimal, kita tidak menelan mentah-mentah kabar yang sedang ramai beredar. Jika generasi kita tetap melakukan hal yang sama, maka kita tidak ada bedanya dengan orang yang selalu mencibir tanpa memberi solusi.

Judul Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu| Penulis Mahfud Ikhwan| Penerbit Marjin Kiri| Tebal vi+182 hal | Presensi Asiyah Nurul Millah | Penyunting Ridwan Malik 

Leave a Reply