12-14
Keluarga Adalah Tempat untuk Kembali.
Hal ini memang lumrah, dan betul, bahwa keluarga adalah alasan terbaik untuk kembali pulang.
Ketika di pesantren, kadang aku merasakan hal yang sama. Beberapa kali, aku sering menjadikan keluarga sebagai alasan untuk bisa pulang. Kuberitahu, menjadikan keluarga sebagai alasan untuk bisa pulang sangatlah efektif. Jika salah satu dari keluargamu meninggal, maka dengan mudah kamu akan mendapat izin untuk segera pulang. Ckckck. Ironis.
Itu juga yang dirasakan oleh Allan dan kawan-kawannya. Saat mereka memutuskan meninggalkan kediaman Ny. Gunilla Bjorkland di Lake Farm, mereka tersesat dan tak tahu harus pergi ke mana. Tapi kemudian, Benny punya rencana untuk menemui kakaknya, Bosse. Dari Lake Farm, jaraknya memang jauh, kurang lebih 150 km. Hanya saja, selama punya tujuan, jarak akan menjadi tak berarti.
Mau percaya atau tidak, kuingatkan sekali lagi: keluarga adalah tempat terbaik untuk kembali.
Urusan Dunia Selesaikan dengan Dunia, Urusan Akhirat Selesaikan dengan Akhirat.
Aku menanamkan kata-kata tersebut sangat dalam di pikiranku. Aku sangat setuju. Sangat-sangat setuju.
Contoh sederhananya, perkara merokok di pesantrenku. Sepertinya jika para perokok dicekoki berbagai macam hadits atau dalil, hasilnya tidak akan terlalu baik. Terlebih, tak efektif. Alih-alih diselesaikan dengan hadits atau dalil yang sifatnya dogmatis, kupikir akan sangat oke jika perkara rokok diselesaikan dengan teori kesehatan yang argumentatif.
Jika kita merokok di bawah umur 21, itu akan menggangu dan menghambat pertumbuhan tubuh. Bisa menyebabkan bontot, tidak tumbuh ke atas melainkan ke samping. Merusak sistem pernafasan, sistem pencernaan, dan sistem ekonomi. Dengan begitu, para perokok sedikitnya bisa menimbang baik-buruk rokok untuk dirinya. Malah, jika dijejali hadits-hadits atau dalil-dalil, kupikir mereka akan sangat muak dan tak peduli.
Aku hampir lupa. Ada satu lagi contoh. Saat Allan dan Pendeta Anglikan meledakan si Kepala Polisi di Iran, Allan berhasil melarikan diri, tapi tidak dengan si pendeta. Si pendeta sepertinya terlalu ‘bodoh.’ Setelah ledakan, ia malah menghampiri salah satu prajurit yang terluka akibat ledakan sambil berkata, “Oh anakku! Oh anakku!”
Si prajurit yang dihampiri tentu bukannya senang tapi malah menembak si pendeta dengan senapan yang disanggul di pundaknya.
“Matilah kau bangsat! Matilah!”
Melesatlah sekitar 30 peluru pada tubuh si pendeta.
Don’t Judge a Book by It’s Cover.
Jujur saja aku sudah sangat bosan mendengar kalimat di atas.
Kini, banyak para konglomerat dan ningrat yang senang berpakaian layaknya rakyat jelata. Sebaliknya, banyak dari orang-orang miskin yang bersusah payah berpakain layaknya para pejabat dan sebagainya. Kita sebenarnya memang tidak boleh menilai sesuatu dari tampilannya belaka, karena itu akan sangat menyesatkan.
Aku pikir sungguh bodoh jika kita menentukan kadar kualitas seseorang hanya dari gelar akademisi, pakaian, dan dari apa yang dimakannya. Bisa saja seseorang hanya makan singkong, ubi, dan jagung; pakaiannya hanya kaos oblong compang-camping; dan pendidikannya tak lebih dari tingkat sekolah dasar. Namun siapa tahu, orang tersebut, dalam segala aspek, bisa jadi lebih hebat daripada kita.
Pada bab 13, halaman 235, Jonas Jonasson menggambarkan apa yang kucontohkan tadi dengan tepat.
Ceritanya, Allan berhasil kabur dari Iran dan kembali ke Swedia dengan selamat. Ia mendapat uang sepuluh ribu krona, dan ia pun diwawancarai oleh Dr. Eklund, perwakilan pihak Atomic Energy Plan. Karena penampilannya, Dr. Eklund merasa Allan tak pantas untuk berada di organisasinya, dan lantas menolaknya mentah-mentah.
Kejadian serupa terjadi ketika Allan memasuki hotel paling mahal yang pernah ia temui. Ya, lagi-lagi, ia diremehkan karena pakaiannya. Namun, saat ia menunjukkan paspor diplomatiknya… sepertinya, aku tidak perlu menjelaskannya lebih lanjut.
Judul The 100-Year-Old Man Who Climbed Out Of The Window and Disappeared | Penulis Jonas Jonasson | Penerbit Bentang Pustaka | Tebal 508 hal | Peresensi Iqbal Maulana Yusuf Penyunting Ridwan Malik