Pengantar
Hampir pasti, bahwa setiap peristiwa dengan konotasi destruktif, kambing hitamnya adalah remaja. Bila remaja kita artikan sebagai tingkatan evolusi kemanusiaan tingkat dini, maka peristiwa-peristiwa destruktif adalah pembelajaran yang sangat edukasi dalam tahapan pencerahan evolusi itu sendiri. Arti lain, kesalahan remaja masih bisa masuk ke konsep Husnul Khotimah, perjalanan masih panjang dengan potensi yang masih gress.
Konsep Ki Sunda dalam perjalanan manusia terbagi menjadi :
1. Ngaco : Sebuah ungkapan yang menggambarkan perilaku manusia yang keluar dari kemanusiaanya dan dapat menimbulkan kekacauan sosial yang melekat pada kebutuhan kehidupan manusia itu sendiri.
Pada posisi ini manusia berada dalam keadaan “Nistya” yang dalam starata Budhis kelompok manusia yang terbinatangkan oleh kebutuhan hidupnya. Ia (manusia) hanya bisa mengungkap rasa tanpa solusi, ia (manusia) bisa menjadi marah terhadap suatu keadaan tanpa tahu hasil dari kemarahan tersebut baik terhadap dirinya maupun kepada perkembangan manusia itu sendiri didepannya. Begitu pula ketika (manusia) mengalami kegagalan atau kehilangan hanya bisa meraung kesedihan tanpa tahu untuk apa bersedih dan mengolah kesedihan itu menjadi pembelajaran kedepannya.
Ada dua titik extrim diposisi ini :
a. “Kokolot begog”, Ketika anak manusia (remaja) merasa dirinya paling benar, paling hak dan paling pantas. Ia (remaja) terjebak dalam keterhentian pencarian jati dirinya. Dan Maha Suci Alloh SWT, ternyata evolusi alam tidak membiarkan ini menjadi abadi, ia (remaja) beroleh kesempatan untuk proses perkembangan dirinya.
b. “Koloteun”, ketika pemberontakan-pemberontakan dalam dirinya bisa disalurkan melalui aktifitas-aktifitas positif (konstruktif) keremajaannya. Ia (remaja) begitu elegan memasuki wilayah “ngaco-nya” dan seiring waktu (proses) bisa tampil sebagai pemenang dan keluar dari wilayah “Ngaco”-nya tersebut dengan segudang prestasi (kemanfa’atan kehadirannya di setiap ruang dan waktu) sebagai bahan proses perkembangan selanjutnya.
Pada posisi “ngaco” ini, potensi yang diandalkannya adalah al-amarah yang merupakan kebutuhan (tabeat) manusia pada tingkat dini. Alquran telah mereferensi sebagai berikut :
Qs. 84 : 6 ( Bersungguh-sungguh), Qs. 70 : 19 – 21 ( Berkeluh kesah), Qs. 33 : 72 ( Bodoh), Qs. 3 : 180 (Kikir), Qs. 74 : 14, 15 ( Tamak), Qs. 100 : 6 – 8 ( Durhaka), Qs. 17 : 84 ( Durhaka), Qs. 2 : 66 ( kufur), Qs. 36 : 7 dan 16 :4 ( Pembangkang), Qs. 6 : 136 – 140 (Khurafat), Qs. 7 : 189 – 190 (Menyelahi permintaan), Qs. 10 : 15 (Minta ganti ayat Al-Quran), Qs 6 : 26 (melarang membaca Al-Quran), Qs. 8 : 3 dan 40 : 83 (Sombong : merasa pintar dan cukup), Qs. 18 : 54 (Tukang membantah), Qs. 96 : 6 (melampaui batas), Qs. 17 : 11 (Tergesa-gesa), Qs. 4 : 28 (Lemah), Qs. 5 : 59 (Suka menyalahkan orang yang beriman), Qs. 5 : 68 (Suka menyalahkan orang yang beriman), Qs. 22 : 72 (menyerang da’i), Qs. 17 : 41 (lari ketika dibacakan al-quran), Qs. 41 : 26 (mengganggu jika dibacakan Al-quran, dan Qs. 25 : 30 (mengolok-olok isi Alquran).
2. “Ngaca”, Bercermin dengan makna melakukan analisa diri (introspeksi). Ada bermacam cermin yang bisa dipakai dengan hasil tentu berbeda, pilihan terhadap cermin yang akan dipakai menunjukkan kesiapan (anak manusia) untuk melakukan perubahan-perubahan kepribadian yang signifikan. Paling tidak cermin itu adalah (membaca dan menganalisa) dirinya, (membaca dan menganalisa) alamnya dan (membaca dan menganalisa) Penciptanya. Bisa jadi ada banyak manusia yang setelah bercermin, masih tetap “kokolot begog” dan ini menunjukkan pembacaan pencerminan terdeviasi ketidakbeningan potensi diri, maka ia (manusia) akan bergerak dari “kokolot begog” ke “bubudakeun”
Dengan bercermin terhadap kejadian dan segala fenomena (Cermin diri, cermin alam, dan cermin Penciptanya) memungkinkan adanya temuan-temuan yang mengagumkan dalam lontaran :
“Ya Tuhan kami, sungguh tidak sia-sia penciptaan alam raya ini, Maha suci Engkau dan oleh karenanya hindarkan kami dari api neraka……”
Pernyataan ini merupakan hasil bercermin yang biasanya berlanjut dengan penyesalan-penyesalan terhadap perilaku yang belum mampu menghindarkan diri dari api neraka.
Posisi ini selanjutnya menempatkan manusia memahami kedudukannya atas makhluq lain dan kedudukannya terhadap Tuhan Pencipta (dalam starata Budhis disebut Madya). Alquran mereferensi fenomena ini sebagai berikut :
Qs. 17 : 70, (dilebihkan atas makhluq lainnya), Qs. 16 : 78, 76 : 1, 2 dan 17 : 36 (diberi pendengaran, penglihatan dan hati), dan Qs. 2 : 21, 22 (beribadah atas pengakuan tidak mempersekutukan Alloh SWT).
3. “Ngaci”, kristalisasi niat, lisan dan perbuatan atau juga pengendapan dari pengetahuan tentang diri, alam dan penciptanya melalui konsep muroja’ah/mudawamah/mulazamah menjadi perilaku yang insani (jinak/ tidak liar/ senang hati/ramah tamah).
Pada posisi ini, manusia telah bisa menemukan dirinya, alamnya dan penciptanya (dalam starata Budhis disebut Utama). Maka wajar kalau manusia yang model ini diseru untuk pulang kembali kerumahnya (surga).
Alquran mereferensi dalam beberapa surat dan ayat sebagai berikut :
Qs. 51 : 56 dan 20 : 14 (mengabdi untuk beribadah kepada Alloh SWT), Qs. 11 : 61 (menjadi pemakmur bumi), Qs. 76 : 1, 2 dan 67 : 1, 2 (untuk diuji), dan Qs. 75 : 36, 33 : 72 dan 43 : 44 (memberikan pertanggung jawaban dihadapan Alloh SWt).
Ruang dan waktu yang menjadi media perjalanan manusia dari ngaco (anak-anak), ngaca (remaja) ke ngaci (dewasa) ternyata menjadi bias ketika harus ditransfer dalam bentuk umur manusia, paling tidak ada kesepakatan (general saat ini) yang disebut remaja berkisar antara 15 s.d 25 tahun. Jadi, ketika ditemukan usia diatas 40 tahun standar awal “ngaci” manusia masih “bubudakeun” menunjukkan gejala perenungan yang salah, bukankah peradaban manusia berulang kali hancur oleh karakter “bubudakeun” sebagai gejala awal dari sikap “aki-aki/nini-nini nurus tunjung” ?, bukankah budaya jahiliyah, paganisme dan atheisme milik orang tua ?
Ternyata juga umur tidak menjadi ukuran bagi pertumbuhan intelektual, emosional dan spiritual manusia, dari beberapa kasus yang muncul pertumbuhan manusia hanya dipacu oleh “rasa ingin tahu” yang menjadi pembeda manusia dengan makhluq lainnya.
Kenakalan remaja adalah proses aktualisasi “rasa ingin tahu” yang tidak laten dan memerlukan bimbingan (konstruktif), sementara kenakalan orang tua adalah final, laten dan kriminal (destruktif).
Cetak Biru Perkembangan Manusia (STIFIN personality : Farid Poniman hal 82 – 88)
Tahun Pertama Haus Vocabulary
Tahun Ke-2 Komunikasi Non Verbal
Tahun Ke-3 Kemandirian
Tahun Ke-4 Kedermawanan
Tahun ke-5 Bossy
Tahun ke-6 Privasi
Tahun ke-7 Ekspresi diri
Tahun ke-8 Mengorganisasi diri
Tahun ke-9 Siap Melakukan Keterampilan
Tahun ke-10 Tanggung jawab
Tahun ke-11 Libido Awal
Tahun ke-12 Ensiklopedik
Tahun ke-13 Peniruan
Tahun ke-14 Percintaan
Tahun ke-15 Eksporasi Jati diri
Tahun ke-16 Penemuan Jati diri
Tahun ke-17 Persiapan
Tahun ke-18 Kesempurnaan Jati diri
Tahun ke-19 Kemandirian
Tahun ke-20 Perkawinan
Tahun ke-21 Persaingan
Tahun ke-22 Kemahiran
Tahun ke-23 Perjuangan
Tahun ke-24 Pengambilan Risiko
Tahun ke-25 Langkah Terobosan
Tahun ke-26 Eksistensi
Tahun ke-27 Pemaknaan Hidup
Tahun ke-28 Intensitas
Tahun ke-29 Persaudaraan
Tahun ke-30 Unjuk Gigi
Tahun ke-31 Pencapaian
Tahun ke-32 Ketokohan
Tahun ke-33 Penajaman Bisnis
Tahun ke-34 Pemasaran Kualitas
Tahun ke-35 Ektenfikasi
Tahun ke-36 Keselarasan Peta Hidup
Tahun ke-37 Otoritas
Tahun ke-38 Pengkaderan
Tahun ke-39 Peran Bintang
Tahun ke-40 Kekayaan
Tahun ke-41 Kepemimpinan
Tahun ke-42 Penciptaan Nilai-Nilai Baru
Tahun ke-43 Percepatan Bisnis
Tahun ke-44 Sirkulasi Power
Tahun ke-45 Kontribusi Besar
Tahun ke-46 kecanggihan
Tahun ke-47 Pendelegasian
Tahun ke-48 Branding
Tahun ke-49 Kedermawanan
Tahun ke-50 Kepahlawanan
Tahun ke-51 Pematenan
Tahun ke-52 Pencaplokan Baru
Tahun ke-53 Akumulasi
Tahun ke-54 Kedalaman Spiritual
Tahun ke-55 Pemassifan
Tahun ke-56 sinergi Generasi
Tahun ke-57 Pemassalan volume
Tahun ke-58 Perang Pengalaman
Tahun ke-59 Kebegawanan
Tahun ke-60 Kemegahan
Tahun ke-61 Pengkultusan
Tahun ke-62 Alih Kekuasaan
Tahun ke-63 Puncak Peranan