Categories
Book Reviews Treasure

Kesehatan Mental

Jepang memang dikenal dengan tingkat kematian yang tinggi dengan tingkat kelahiran rendah. Setelah membaca novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami, aku jadi tahu, faktor kematian tersebut tak jauh dari masalah kesehatan mental.

Berbicara soal mental. Mental merupakan hal yang memang tak terlihat wujudnya. Jika terluka, lukanya tak akan terlihat. Jika tersayat, hanya orang yang mengalaminya yang bisa merasakan perihnya. Kepedihannya hanya bisa dirasakan oleh si pemilik jiwa itu sendiri. Berbeda dengan sakit jasmani yang memang terlihat. Jika jasmaninya yang sakit, orang juga biasanya dapat sedikit merasakan luka seseorang. Karena pastinya, setiap orang pernah mengalami luka jasmani.

Dalam novel yang kubaca ini, banyak sekali gambaran mengenai tingginya tingkat bunuh diri di Jepang. Biasanya, hal itu disebabkan oleh rasa kesepian. Kesepian karena kehilangan seseorang yang sangat berpengaruh di dalam hidup. Misalnya, kehilangan sahabat dekat atau kekasih hati. Selain itu, kelelahan dan tekanan kerja juga sering menjadi pemicu bunuh diri. Itu karena, orang-orang Jepang sering kali bekerja sangat keras hingga lupa bahwa ada hal lain dalam hidupnya yang harus diurus. Tak sampai situ. Kasus bunuh diri juga banyak terjadi di kalangan pelajar. Biasanya, hal itu disebabkan oleh perundungan, atau karena tekanan pelajaran dan tuntutan orang tua yang tinggi supaya anaknya berprestasi.

Kemudian, yang biasanya membuat sempit ruang lingkup kehidupan orang-orang Jepang adalah kurangnya bersosialisasi. Karena terlalu sibuk dan fokus pada beberapa aspek saja. Bahkan, di Jepang ada budaya yang disebut hikikomori, yaitu ketika seseorang menghindari kontak sosial dan hidup sendiri dalam pengasingan. Mungkin, jika interaksi orang-orang di Jepang secair seperti di Indonesia, aku yakin negara mereka akan lebih makmur dan lebih maju daripada sekarang. Bukan hanya kehidupan material yang tersusun rapi, tapi, kehidupan batin pun akan terukir damai.

Reiko-san bisa menjadi contoh bagaimana banyak dari masyarakat Jepang mengalami isu kesehatan mental. Pada beberapa kesempatan, ia mengatakan bahwa sakit mentalnya itu seperti kabel-kabel yang berbelat-belit kusut di otaknya. Sehingga untuk meluruskan dan memperbaiki kabel-kabel itu harus sangat pelan-pelan dan hati-hati.

Reiko-san mengaku, sakitnya itu dikarenakan dirinya merasa mumet dan stres terhadap kehidupan. Rasa itu terus berputar-putar di pikirannya, hingga ia muak akan hidupnya yang terasa sangat sesak dan sempit. Dalam keadaan seperti itu, ia tak melihat cara lain untuk mengakhiri segala kepedihannya selain daripada bunuh diri. Itulah cara terbaik yang murah meriah untuk lepas dari kehidupan keparat ini.

Bagaimana Kabarmu, Bestie?

Dua tahun yang lalu aku pernah memiliki seorang teman. Mungkin lebih tepatnya, bisa disebut sahabat pena. Ia gadis blasteran Jepang-Amerika yang tinggal di California. Namanya Akira Mikasa.

Ceritanya, ia sedang menjalani liburan di Jepang, di rumah kakeknya. Di saat itulah, aku dan ia sering bertukar pesan. Ia berkata padaku, bahwa ini pertama kalinya dirinya memiliki teman yang mau diajak bicara banyak hal. Tanpa segan-segan, ia pun menumpahkan semua keluhan dan segala pikirannya yang berkecamuk.

Aku kesepian. Ibu dan Ayahku pergi bekerja jauh di luar kota, di industri besar Hollywood. Aku tinggal bersama kakekku yang sangat kubenci. Dia tidak memperlakukanku dengan baik. Aku sangat dilarang untuk pergi keluar, padahal ini hari libur. Akan lebih baik rasanya kalau tidak ada hari libur sekalian. Pergi ke Jepang dan tinggal dengan seorang kakek yang menyebalkan dan benar-benar tidak menyukaiku, dan kau tahu? Aku benar-benar kesepian! Kau tahu alasan kakekku membenciku? Karena aku berpenyakit. Ya, aku mengidap penyakit jantung. Terlalu cepat untuk mengalaminya di usia kita, bukan? Aku sakit. Mereka tahu itu. Tapi bisakah aku mendapat sedikit saja kebahagiaan? Sebelum kematian benar-benar harus aku jalani? Aku jadi benci kehidupan! Setidaknya dengan kematian, aku tidak akan merasakan sakit yang beribu kali dan bertimpal-timpal setiap harinya. Bertemu dengan obat, suntikan, amarah, larangan, dan kamar yang selalu terkunci dan tertutup yang membuatku tak bisa melihat dunia luar. Aku ingin mengakhiri hidupku. Mungkin kau orang terakhir yang aku ajak bicara, daripada ayah dan ibuku yang terlalu gila uang. Katanya, mereka kerja cari uang juga untukku. Apa? Itu untuk diri kalian saja. Makan itu uang!

Begitulah aku mengingat kalimat-kalimatnya dengan baik. Aku kemudian berkata, mencegahnya untuk mengakhiri hidupnya dan memberi dorongan penuh untuk tetap berjuang hidup. Ia pun mengikuti saranku, dan berjanji untuk bertahan hidup sampai waktunya kami bertemu nanti.

Lima hari berlalu, dan kami saling bertukar banyak cerita. Kami lalu memasuk hari keenam, dan itu adalah hari operasinya. Jika operasinya gagal, maka hidupnya berakhir. Sangat menakutkan ketika nyawanya hanya tergantung pada tangan dokter. Sebelum menjalani operasinya, ia berkata begini, “Aku akan pergi ke Indonesia! Aku akan ke rumahmu! Kita tinggal bersama ya!!! Setelah operasi aku akan kabur dari rumah kakek sialan ini. Soal penjaga dan perawat, itu urusan mudah. Tunggu aku!!!”

Aku dibuat luluh olehnya. Aku menangis saat membaca kalimat-kalimat indah dan semangat yang ia kirim untukku. Aku membayangkan betapa indah raut wajah dan jarinya ketika mengetik pesan yang dikirimkannya padaku. Jarinya ramping, sangat indah. Pernah kulihat fotonya. Cantik.

Di hari keenam, aku mencoba menghubunginya untuk memberi semangat. Ternyata, pesanku dijawab oleh ibunya.

“Jangan pernah dekati, berteman, atau menghubungi anak saya lagi,” ia membalas.

Aku merasa tegang ketika membaca pesan ibunya. Aku pun menjawab, “Madam, please tell Akira that I always be with her! I have a big love for her. I am ready to walk with her! Stay strong and fight till we meet! Stay alive, cause we will meet later. Please!”

“Yes, I will. But don’t you ever call or send a message to Akira!!!”

Aku merasa ibunya tidak menyukaiku. Tapi aku memahami perasaannya. Ia seorang ibu, dan selayaknya seorang ibu, ia pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, Akira. Ia ingin aku untuk membiarkan Akira fokus pada operasinya dan tidak mengganggunya.

Perasaanku tentunya sangat tercabik. Aku merasa gagal menjadi sahabat penanya. Andai aku punya koneksi dan uang banyak, mungkin aku akan langsung pergi ke Jepang dan menemuinya.

Judul Norwegian Wood | Penulis Haruki Murakami | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia | Tebal 423 hal | Peresensi Reni Saputri| Penyunting Ridwan Malik

By Reni Saputri

D'amour Mou Castivaz

Leave a Reply