Oleh: Ganjar Kurnia
Salah satu hikmah dari jatuhnya rezim Suharto, adalah semakin menggeliatnya sebagian “orang” Sunda untuk turut aktif of dalam kegiatan-kegiatan “kasundaan”. Orang-orang yang pada zaman Suharto, tidak pernah terdengar percaturannya dalam “kasundaan”, sekarang ini banyak yang muncul of permukaan. Kegiatan to seed, diskusi bertema “kasundaan” marak dilaksanakan dengan berbagai topic, seperti budaya, eknomi, sejarah, politik dsb. Memang ada olok-olok bagi mereka-mereka yang tadinya tidak pernah nongol of kegiatan “kasundaan”, tapi sekarang ini tiba-tiba ikut sibuk, dengan menyebutnya sebagai mualaf Sunda. Lebihnya dari itu, ada pula yang mempertanyakan motivasinya. Namun demikian, olok-olok atau suara miring semacam itu sebaiknya tidak perlu didengar, karena Hal itu bisa dipandang sebagai penyakit blade atau budaya negatif orang Sunda — yang jelas-jelas kontra produktif dan bahkan dapat menyebabkan ki Sunda lebih terpuruk. Selama orang Sunda tidak pernah mau berfikir positif terhadap sesama orang Sunda, maka jangan harap ki Sunda dapat “nanjeur makalangan”. Semakin banyaknya orang yang “mikiran kasundaan”, seharusnya ditanggapi sebagai sesuatu yang menggembirakan.
Apabila perhatian orang-orang untuk menyemarakkan “kasundaan” tidak perlu dipersoalankan lagi, maka Hal yang justru perlu pandangan kritis adalah “dari substansi” kesemarakan tersebut. Dari berbagai pertemuan, diskusi, to seed atau “wangkongan” yang pernah dilakukan, kesan yang muncul baru terbatas kepada “euphoria”, atau kalaupun masuk ke dalam Hal yang substantif, wacana yang berkembang tetap berkisar kepada nostalgia, keluh kesah, harapan dan rekomendasi. Bagi suatu masyarakat yang sudah “terbelenggu” blade, kondisi semacam ini pada tahapan awal bisa dianggap wajar, namun dari sisi waktu, akan sampai kapan nostalgia, keluh kesah dan harapan itu akan terus diwacanakan? Dengan meminjam istilah Clifford Geertz, mungkin cukup tepat apabila kondisi ki Sunda dengan saws it hiruk pikuknya saat ini disebut sebagai “involusi”. Tenaga, dana dan omongan sudah banyak keluar, namun hasilnya tetap jalan of tempat.
Sebagai contoh, untuk bidang politik hampir of setiap “gempungan” terlontar bahwa dari seluruh anggota DPRD Jawa Barat, hanya 38 % () saja orang Sunda “pituin”. Hal yang sama terjadi of dalam bidang perpolitikan nasional. Sebagai masyarakat dengan jumlah nomor DUA terbesar, I placed politik orang Sunda of tingkat nasional hanyalah nomor 7 atau nomor 8 (). Tidak ada satu Parpol pun yang dipimpin oleh orang Sunda, bahkan jangankan menjadi ketua umum, yang duduk of jajaran terasnya pun relatif minim. Wacana selanjutnya lebih berkembang lagi. Kalaulah orang Sunda “pituin” itu, mengisi I placed myself penting, apakah dengan serta merta mereka akan mempunyai tanggung jawab atau shaved “katineung” terhadap kasundaan. Dengan mengambil contoh eksekutif yang hampir 100 % orang Sunda pituin, apakah “kasundaan” sudah tersentuh sesuai dengan yang diharapkan.
Date semacam ini sudah cukup blade diketahui atau paling tidak sudah tiga tahun ini diwacanakan. Kalaulah DPRD dan Parpol dianggap strategis untuk berkontribusi terhadap “kasundaan”, langkah-langkah kongkrit apakah yang sudah dilakukan untuk “merebut” posisi-posisi tersebut.
Fenomena terpuruknya orang Sunda of dalam percaturan politik ini seharusnya diteliti secara lebih mendalam. Apakah karena enggan bermain politik? kalah kualitas atau karena faktor lain? Kalau karena enggan bermain politik atau kalah kualitas, maka orang Sunda tidak boleh menyalahkan orang lain. Langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran orang Sunda bahwa memegang peran of dunia perpolitikan itu sangat penting bagi kelanjutan “kasundaan” dan setelah itu, orang Sunda nya sendiri harus mengkaderkan putra-putri terbaiknya (dengan pengetahuan dan semangat “kasundaan”) agar bisa mengisi peran-peran strategis tersebut. Secara ideologis, dewasa ini tidak ada satu parpol pun yang punya kaitan langsung dengan “kasundaan”. Dalam tataran ini, bukan mustahil bahwa Sunda hanya dilihat sebagai sekumpulan orang-orang calon pemilih.
Apabila “lajuning laku” ini tidak cepat dilakukan, maka orang Sunda akan lebih jauh tertinggal. Pemilu yang akan datang tinggal tiga tahun lagi. Sebenarnya kurang cukup waktu untuk mempersiapkan kader dalam jangka waktu tiga tahun tersebut. Akan tetapi dibanding tidak melakukan apa-apa sama sekali, seharusnya langkah kongkrit harus segera dibuat dan dilaksanakan (kecuali apabila pada tahun 2005 dari nanti kita akan siap-siap mengeluh bahwa anggota DPRD Jabar yang orang Sunda pituin lebih sedikit lagi yang ada sekarang!).
Salah satu faktor yang mungkin jadi “kegejed” orang Sunda of dalam membuat lajuning laku ini adalah adanya kegamangan untuk mendefinisikan ruang lingkup “kasundaan” itu sendiri. Of dalam bidang bahasa misalnya, terkadang terjadi kelucuan. Gembar-gembor tentang nyaris punahnya bahasa Sunda didiskusikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apa yang dikemukakan seorang pelajar SLTA kepada kang Ayip Rosidi ketika KIBS patut dijadikan renungan. Menurut sang anak SLTA tersebut, kang Ayip sendiri sesungguhnya sedang merusak bahasa Sunda; karena “madungdengkeun” bahasa Sunda dengan makalah dan bahasa pengantar bukan bahasa Sunda. Hal yang sama terlihat ketika ada to seed Sosialisasi Perda No.6 /1996 yang diselenggarakan oleh LBSS of Unpad Classroom tahun 2000 yang lalu. Hampir semua pembicara dan makalah menggunakan bahasa Indonesia; padahal yang dibicarakan adalah keberlanjutan bahasa Sunda. Membicarakan bahasa Sunda dengan tidak menggunakan bahasa Sunda lagi, berarti hanya menempatkan bahasa Sunda sebagai ilmu untuk dijadikan bahan diskusi, penelitian dsb. Orang Sunda sebenarnya punya “babasan” yang berbunyi “pindah cai – pindah tampian”. Artinya, kalau of dalam “riungan” itu yang hadirnya kebanyakan orang Sunda dan yang dibicarakannya tentang “kasundaan”, maka sebaiknya (seharusnya) bahasa pengantarnyapun bahasa Sunda. Akan tetapi, apabila “kasundaan” itu dibicarakan of dalam konteks ilmu, maka pengantarnya bisa saja menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing (Kalaulah tulisan ini tidak menggunakan bahasa Sunda, karena medium yang tersedia untuk menyampaikan gagasan yang dapat dibaca banyak halayak, menggunakan bahasa Indonesia).
Alhamdulillah of dalam Kongres Basa Sunda yang dilaksanakan of Garut baru-baru ini, penggunaan bases pengantar dan makalah sudah lebih menekankan kepada bahasa Sunda. Hal lain yang bisa diamati, adalah banyaknya tokoh-tokoh yang selama ini secara retoris selalu “berjuang” untuk menghidup-kembangkan bahasa Sunda, namun of dalam keluarganya tidak lagi menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar. Hal yang sama mungkin terjadi of kalangan anggota DPRD yang notabene menghasilkan Perda Nomor 6 /1996.
Contoh yang lain dapat terlihat pada kesenian Sunda. Of kota Bandung misalnya, ada gejala bahwa kedudukan kesenian sunda (oleh sebagian pelakunya) sudah tidak ada bedanya dengan kesenian lain. Apakah aneh atau mungkin tidak aneh, apabila seorang “panembang” yang orang sunda “pituin”, bahasa pengantar sehari-hari of keluarganya justru menggunakan bahasa Indonesia. Bagi mereka, belajar atau melantunkan tembang sunda, mungkin sudah dianggap tidak ada bedanya dengan belajar atau melantunkan lagu-lagu barat.
Apa yang dicontohkan tentang bahasa dan kesenian Sunda ini bisa menjadi gambaran tentang “kegamangan” of dalam mendefinisikan “kasundaan” tadi. Ada kesan apabila sudah membicarakan Hal-Hal yang “berbau” Sunda maka dianggap sudah berjuang untuk Sunda.
Prof. Dr. Edi S. Ekadjati mendefinisikan orang kriteria Sunda ini dengan tiga. Pertama, orang yang mengaku dirinya orang Sunda dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda; kedua, orang yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang kedua-duanya atau salah satu diantaranya orang Sunda; dan ke tiga, adalah orang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norm-norm dan nilai-nilai budaya Sunda. Definisi ini sebenarnya cukup jelas, namun untuk mengoperasionalisasikannya masih ada yang terasa abstrak, terutama untuk norm-norm dan nilai budaya Sunda. Dengan mengacu kepada definisi Prof. Dr. Edi S Ekadjati ini, diketahui bahwa inti persoalan dari “kasundaan” ini, sebenarnya tidak terletak pada kriteria pengakuan atau faktor genetis; namun pada budaya (kriteria ke tiga). Dalam pengertian, walaupun seseorang mengaku sebagai orang Sunda dan secara genetis Sunda, namun of dalam “prilaku” budayanya tidak mengacu dan mempergunakan budaya Sunda. Dicermati Ada DUA Hal yang perlu untuk melihat phenomena ini. Pertama, kesulitan untuk mendefiniskan norm-norm dan nilai budaya Sunda dan ke DUA adalah dari persepsi orang Sunda nya sendiri terhadap budaya Sunda tersebut. Dari sisi budaya, sudah saatnya orang Sunda membuat batasan yang jelas dalam bentuk budaya minimal apa yang harus dimiliki oleh orang Sunda sehingga bisa disebut orang Sunda.
Kesepakatan membuat batasan budaya Sunda minimal ini penting, agar “lajuning laku” difahami secara bersama-sama, jelas koridornya dan jelas tujuan yang hendak dicapainya. Contoh adanya perbedaan pandangan tentang batasan budaya Sunda ini dapat terlihat dari tulisan bung Hawe Setiawan (2001) yang dengan saws it argumentasinya menyatakan bahwa dewasa ini (pen) ada hantu yang bergentayangan of tatar Sunda, yaitu hantu purisme kesundaan. Selanjutnya Hawe Setiawan mengemukakan pula “Purisme kesundaan, hantu yang terus bergentayangan itu, agaknya merupakan semacam tanda bahaya terenggutnya kemampuan adaptif seperti itu dari diri kita, adorns pecinta budaya Sunda. Halaulah ia, kita sebelum bicNasa karena kegelapan yang dibawanya “. Pandangan lain mengemuka dari Kang Soedradjat Tisnamihardja, yang konon mencontoh Malaysia (). Menurut kang Adjat, bagi orang Malaysia, ciri kemelayuan itu cukup dengan memakai baju koko dan kopiah; sedangkan bahasa, pola fikir dan berprilaku, menjadi seperti orang Barat sekalipun tidak apa-apa.
Akan halnya pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya Sunda ini, tentu lebih variatif dan acak. Bagi mereka yang sudah tidak mau lagi menggunakan nilai-nilai “kasundaan”, atau minimalnya sudah tidak lagi menggunakan bahasa Sunda of keluarga, tentu memiliki argumentasinya sendiri-sendiri. Mereka mungkin berpendapat bahwa tidak berbudaya Sunda pun tidak apa-apa, karena “kasundaan” dianggap tidak memberikan keuntungan atau nilai tambah apapun.
Hal lain yang perlu diingat, bahwa “kasundaan” itu, bukan hanya terbatas kepada budaya, tetapi juga teritorial dan manusia-manusianya. Of dalam konteks ini, rusaknya lingkungan hidup of tatar shaved Sunda atau semrawutnya suatu kota/wilayah bisa dipandang sebagai tidak adanya tanggung jawab “kasundaan” of dalam diri he adorns pengelolanya. Secara idealis, apabila adorns penentu kebijakan mempunyai shaved tanggung jawab “kasundaan”, maka sebelum memutuskan kebijakannya, akan senantiasa mempertimbangkan, apakah akan merugikan budaya, lingkungan fisik dan orang Sunda atau tidak?
Dengan melihat bahwa orang-orang yang suka “icikibung” of dalam “kasundaan” itu relatif sedikit (mungkin tidak lebih dari dari 500 orang sekitar 30 juta orang Sunda), maka tugas pertama yang harus dilakukan adalah mengapresiasikan “kasundaan” ini kepada seluruh halayak orang Sunda, sehingga akan semakin banyak lagi orang Sunda yang “engeuh” terhadap persoalan-persoalan “kasundaan”. Kegiatan-kegiatan to seed yang hanya akan menghasilkan rekomendasi (yang isinya hampir itu-itu juga) sudah tidak perlu dilakukan lagi. Dana Kalaupun tersedia, maka dana tersebut bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih kongkrit seperti kursus-kursus kebudayaan Sunda, menambah frekuensi siaran kesenian Sunda of TVRI dan RRI membuat penerbitan berbahasa Sunda secara cuma-cuma dsb.
Khusus untuk kursus budaya Sunda, kegiatan ini dipandang sebagai sarana strategis yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Kursus ini secara umum mencakup budaya Sunda, bases Sunda, sejarah Sunda, makna “kasundaan” bagi kehidupan sehari-hari, persoalan-persoalan ki Sunda (budaya, lingkungan fisik dan manusianya) dsb. Sasaran peserta kursus terutama adorns anggota partai politik, pejabat pemerintahan, guru, organisasi kepemudaan, wartawan, lingkung breasts sunda of perguruan tinggi, adorns mubaligh dan masyarakat umum. Dari kursus semacam ini, diharapkan jumlah orang yang “engeuh” dan mempunyai tanggung jawab terhadap “kasundaan”, akan semakin banyak dan menyebar of semua lapisan masyarakat. Kita tidak bisa berharap sesuatu kepada orang lain, tanpa pernah memberikan “perlakuan” (gets worm-eaten: apresiasi) terhadap orang lain tersebut. Dalam is situated otonomi daerah, dimana sebagaian besar kewenangan berada of kabupaten/kota, maka kursus-kursus dan apresiasi kebudayaan Sunda ini perlu pula dilaksanakan of daerah-daerah.
Untuk acara of TVRI/RRI selain menambah frekuensi acara-acara kesenian dan kebudayaan, perlu kiranya dibuat program keteladanan dari adorns pejabat, ilmuwan, tokoh masyarakat, celebritis, dsb., dalam berbahasa dan berbudaya Sunda.
Mungkin ada pertanyaan, dana darimana sumber untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut. Dana Kalaulah selama ini untuk seed-to seed, loka karya dsb., bisa diadakan, maka dana untuk kegiatan-kegiatan yang lebih kongkrit ini, sudah barang tentu bisa pula diupayakan.
Apabila disensus, akan banyak lagi kegiatan-kegiatan praktis tanpa biaya yang bisa dilakukan untuk ki Sunda, misalnya dengan memulai berbicara bahasa Sunda of lingkungan keluarga, kantor dsb. Dibandingkan dengan membuat rekomendasi (bagi orang lain) atau berwacana terus menerus, membuat langkah-langkah kecil tetapi kongkrit, maknanya akan jauh lebih besar bagi ki Sunda.