EnglishArabicIndonesian
Categories
Book Reviews Reading novels Treasure

Kultur Bunuh Diri

Di Jepang, bunuh diri bukan suatu hal yang najis. Sebaliknya, bunuh diri sudah menjadi budaya luhur yang harus dilestarikan.

Kultur bunuh diri atau suicide culture sangat populer di kalangan berbagai kalangan masyarakat Jepang. Bahkan saking populernya, di Jepang, terdapat klub untuk orang yang ingin bunuh diri. Mungkin hal itu tabu dan tidak wajar dalam pandangan kita, karena, siapa juga yang ingin mati dengan sadar?

Kita, mayoritas menganggap hidup atau jantung yang berdetak ini benar-benar sangat berharga dan penting. Sebab jantung adalah alat yang akan menjaga kelangsungan hidup. Oleh karenanya, pastinya kita hanya memiliki satu nyawa dan tentu satu kesempatan hidup. Inilah yang membuatku heran, bisa-bisanya banyak dari masyarakat Jepang menganggap kematian dan kehidupan adalah hal kecil. Sekecil apakah kita akan beranjak dari kasur atau tetap rebahan.

Mengapa masyarakat Jepang banyak yang berpikiran demikian? Maksudku, beranggapan bahwa bunuh diri itu adalah suatu hal yang sangat wajar. Mungkin jawabannya karena bunuh diri telah menjadi adat kebiasaan. Dahulu, nenek moyangnya beranggapan bahwa bunuh diri adalah jalan yang bisa menjaga kehormatan. Misalnya, ada budaya bunuh diri yang disebut seppuku atau harakiri, jigai, dan kamikaze.

Menurutku, adat kebiasaan itu bersifat adaptif. Maksudnya, apabila zaman dan lingkungan berubah, kupikir adat kebiasaan pun akan berubah. Tapi ternyata hal tersebut benar-benar tidak berlaku untuk orang-orang Jepang. Bunuh diri sepertinya sudah sangat mendarah daging di dalam diri mereka, dan hal itu diamini semua kalangan. Bahkan seorang bayi yang baru lahir pun mungkin akan menunggu waktunya untuk ikut bunuh diri. Siapa tahu?

Aku pernah nonton film Jepang, judulnya Jisatsu Circle atau Suicide Club. Film itu keluar tahun 2009, dan bercerita tentang klub bunuh diri anak-anak muda. Berawal dari 54 siswi dari 18 sekolah berbeda, bersama-sama melemparkan diri ke kereta yang sedang melaju sangat kencang. Tentu mereka langsung hancur; darah dan potongan-potongan tubuh berceceran di mana-mana.

Di film itu, aku melihat bahwa bunuh diri bukan hanya karena alasan ekonomi, kuliah, perundungan, masalah keluarga, khawatir masa depan, atau tak memiliki tujuan untuk hidup lagi. Aku melihat, mereka melakukan bunuh diri karena mengikuti tren. Mereka ingin terlihat keren, tak mau kalah dengan orang-orang yang sudah terlebih dahulu bunuh diri. Jika yang lain-lain melakukan bunuh diri dengan loncat dari gedung atau overdosis obat-obatan, mereka ingin bunuh diri dengan keren, dengan melemparkan dirinya ke kereta yang melaju sangat cepat.

Kemudian di novel Norwegian Wood yang baru selesai kubaca. Aku kagum pada sosok Reiko-san. Ia yang bisa bertahan, berusaha untuk bangkit dan tetap hidup walau hidupnya sangat kacau dan memalukan. Ia mampu bangkit dari keterpurukannya, dan tak hanya itu, ia bahkan bisa membantu menyembuhkan orang-orang yang terjebak dalam situasi seperti yang pernah dialaminya. Ia bangkit karena dirinya tahu, akan adanya hari ini dan kemungkinan hari esok.

Selain Reiko-san, ada karakter bernama Midori. Seorang perempuan yang menikmati hidup, mau itu jalan lurus, tikungan berliku, atau jalan butut yang tak layak untuk dilintasi. Baginya, hidup cukup dijalani saja. Ia benar-benar menyayangi hidupnya, dan melakukan apa pun selagi bisa.

Mungkin akan terdengar gila. Dari Midori aku belajar bahwa hidup tak hanya hitam dan putih. Hidup memiliki banyak warna, merah, kuning, biru, hijau dan dengan segala kolaborasinya.

Hidup itu singkat, dan jangan dipersingkat!

Judul Norwegian Wood | Penulis Haruki Murakami | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia | Tebal 423 hal | Peresensi Reni Saputri| Penyunting Ridwan Malik

By Reni Saputri

D'amour Mou Castivaz

Leave a Reply