EnglishArabicIndonesian

Madrasah

Madrasah

A. Pendahuluan
Perubahan paradigma pendidikan nasional yang ditandai dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam khususnya madrasah ke dalam era baru yang lebih tercerahkan. Sehingga, berbagai peluang peningkatan dari berbagai sisinya dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan berkesinambungan. Sebagai lembaga pendidikan Islam, madrasah, pada dasarnya memiliki andil besar dalam dunia pendidikan nasional. Hal ini bisa dilihat dari sumbangsih madrasah khususnya dalam perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Lain dari itu, madrasah juga dianggap sebagai lembaga pendidikan yang paling adaptif terhadap berbagai perubahan jaman. Hal tersebut dikarenakan modal sosial madrasah jauh lebih kuat dibandingkan jenis lembaga pendidikan lainnya.
Berbeda dengan madrasah yang berkembang di Timur Tengah yang hadir akibat dari proses urbanisasi, madrasah di Indonesia justru berkembang di pedesaan dan jauh lebih merakyat. Lain dari itu, madrasah berkembang atas inisiatif dari masyarakat dan juga dibiayai oleh masyarakat secara swadaya dan tidak mahal. (Karel A. Steenbrink, 163). hal tersebut bisa dilihat dari data bahwa Sekitar 91,2% dari jumlah seluruh madrasah pada semua jenjang kependidikan berstatus swasta, di mana masyarakat masih memainkan peran yang penting dalam pengelolaan dan pembiayaan madrasah. Sedangkan 8,8% berstatus negeri dari sekitar 39.000 madrasah yang ada. Karena itulah tantangan yang dihadapi madrasah jauh lebih besar daripada pendidikan umum lainnya terlebih dengan diberlakukannya berbagai standar; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian.
Hal tersebut berkaitan dengan pilar-pilar pendidikan nasional untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing. Kebijakan tersebut diaplikasikan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Peningkatan mutu difokuskan pada penganekaragamaan inovasi proses pembelajaran pada semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan, sehingga terwujud proses pembelajaran yang efektif, efisien, menyenangkan dan mencerdaskan berdasarkan tahap-tahap perkembangan usia dan kematangan mental peserta didik. Untuk memenuhi pilar pendidikan tersebut harus diakui bahwa madrasah secara umum belum dapat dikatakan telah memberikan pelayanan pendidikan yang optimal dari aspek mutu dan daya saing pendidikan, walaupun dewasa ini sudah banyak bermunculan madrasah-madrasah dengan kualitas pelayanan pendidikan yang baik, bahkan berstandar internasional. Kenyataan memperlihatkan bahwa sampai sekarang sebagian besar madrasah masih dibelenggu sejumlah persoalan klasik seperti kualifikasi dan kompetensi pendidik yang secara rata-rata masih minim dan sarana dan prasarana yang belum memadai.
Lain dari itu, persoalan finansial juga menyebabkan madrasah belum mampu mengoptimalkan layanan pendidikan secara berkesinambungan. Dan hal ini juga berdampak pada sulitnya madrasah meningkatkan mutu dan daya saingnya. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kontribusi pemerintah yang masih minim dalam pembiayaan. Pemerintah hanya memberikan sekitar 60% pembiayaan madrasah dan sekitar 40% pembiayaan madrasah masih ditanggung oleh orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar madrasah, yang mayoritas merupakan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Berbagai persoalan yang dihadapi tersebut tentunya merupakan tantang tersendiri bagai pengembangan madrasah di masa yang akan datang. Pertanyaannya kemudian, bagaimana meningkatkan daya saing madrasah? Dan, faktor-faktor apa saja yang dapat meningkatkan daya saing madrasah? Berkaitan dengan hal tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan mutu madrasah itu sendiri. Dengan kata lain, kemampuan madrasah untuk meningkatkan mutu pendidikan dari berbagai sisinya akan lebih meningkatkan daya saing madrasah. Lain dari itu, menciptakan suasana pembelajaran yang baik memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam peningkatan daya saing tersebut dalam tulisan ini dikembangkan dengan konsep learning society.

B. Peningkatan Mutu Madrasah
Menurut Fatah Syukur (tt), setidaknya ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama, berkaitan dengan strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Asumsinya, bahwa bila semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah/madrasah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah/madrasah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah/madrasah). Atau dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. (p.2-3)
Menurut Syukur, bahwa manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrasah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah/madrasah. Berdasarkan pada konsep effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (1) lingkungan sekolah/madrasah yang aman dan tertib; (2) sekolah/madrasah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (3) sekolah/madrasah memiliki kepemimpinan yang kuat; (4) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah/madrasah (kepala sekolah/madrasah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi; (5) adanya pengembangan staf sekolah/madrasah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK; (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu; dan (7) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. (p.5)
Lebih lanjut menurut Syukur, dalam pelaksanaannya, madrasah mesti mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel madrasah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, madrasah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang madrasah. Kepala madrasah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah/madrasah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah/madrasah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam madrasah itu sendiri maupun madrasah lain.
Berdasarkan konsep Total Quality Management (TQM), untuk meningkatkan kinerja secara terus menerus (countinously permance inprovement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi mesti memaksimalkan menggunakan sumber daya manusia dan modal yang tersedia. (Gaspersz, 2006). Dalam siklus organisasi, TQM adalah sebuah proses pengorganisasian yang terstruktur dengan melibatkan personal organisasi dalam perencanaan dan pelaksanaan secara terus-menerus untuk meningkatkan kualitas sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (costumer).
TQM dengan berbagai konsekwensi yang dihasilkannya, diharapkan akan memudahkan dalam membuat langkah dan kebijakan manajenen organisasi yang lebih berdasarkan fakta-fakta atau disebut dengan ‘manajemen berdasarkan fakta’. sehingga, dalam seluruh proses manajerial organisasi mampu memastikan tidak hanya mengerjakan segala sesuatu dengan benar tetapi juga mengerjakan segala sesuatu yang benar.
Dalam pelaksanaannya, setidaknya ada beberapa komponen dasar yang mesti dijadikan sandaran dalam menempuh proses TQM (McLaughlin & Kaluzny, 1994): (1) Pengetahuan dan Pemahaman/knowledge and Understanding terhadap konsep pengembangan madrasah secara umum, mulai dari atas (top management) dan seluruh pihak yang terlibat—murid, orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat dll.; (2) Komitmen/commitment. Yaitu, bagaimana seluruh pihak yang terlibat memiliki komitmen yang kuat dalam pelaksanaan konsep yang telh disepakati; (3) Perencanaan/Planning. Semua orang mesti terlibat dalam proses perencanaan. Dalam hal ini, partisipasi adalah kata kuncinya. Semua orang dalam proses perencanaan mesti memahami konsep pengembangan madrasah. Sebab, ketidakjelasan pemahaman terhadap konsep akan mempengaruhi hasil/implementasi yang hendak dicapai ; (4) tim kerja/teamwork. Ruang komunikasi mesti dibuka lebar-lebar untuk memudahkan koordinasi ; (5) Komunikasi/Communication. Madrasah harus mampu meningkatkan kemampuan komunikasi, khususnya komunikasi internal. Sebab Hal inilah yang sering menyebabkan kebingungan, ketidakharmonisan dan rendahnya moral kerja ; (6) Pendidikan/education. Dalam hal ini pendidikan bisa dimaknai dengan proses pembelajaan yang utuh. Artinya, tidak hanya mengetahui bagaimana melaksanakan tugas dengan baik, tetapi juga memahami alat dasar yang digunakan, teknik, dan konsepnya; dan (7) Kesabaran/patience. Kesabaran adalah aspek penting dalam implementasi TQM. Sebab, membutuhkan waktu yang lama untuk menjadikan semua pihak yang terlibat dalam organisasi benar-benar memahami TQM; konsep dan alat yang digunakan, terlibat dalam proses inisiasi TQM, dan kemampuan perencanaan dan pelaksanaan TQM. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dan visi yang kuat dalam menjalankan semua tahapan yang mesti dilalui.

C. Madrasah sebagai Learning Society
Kesadaran akan pentingnya proses sebagaimana yang dikembangkan dalam proses peningkatan mutu secara terus-menerus (total quality improvement) pada dasarnya, mesti juga dibarengi dengan kesadaran bahwa madrasah adalah bagian dari fenomena global. Hal ini, setidaknya akan menimbulkan kesadaran madrasah, bahwa madrasah merupakan bagian dari masyarakat dunia yang mesti merespon sejumlah persoalan yang sedang dihadapi. Sehingga, madrasah tidak hanya merespon persoalan dalam skala mikro. Lebih dari itu, mesti tertantang untuk merespon persoalan global secara lebih positif. Dalam hal ini, penting juga memahamai madrasah sebagai masyarakat belajar—learning society.
Peter Jarvis (2003) menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hal penting yang mesti dikenali dalam upaya memahami konsep masyarakat belajar: (1) berkaitan dengan proses globalisasi; (2) analisis sejumlah perbedaan penafsiran atau dimensi dari masyarakat belajar; dan (3) pendidikan komparatif yang dapat menguji konteks dari masyarakat belajar. Pada yang pertama, masyarakat belajar dimaknai sebagai jawaban dari proses transformasi masyarakat di era industialisasi menuju globalisasi. Proses industrialisasi merupakan jantung transformasi masyarakat yang memiliki dampak yang sangat luas; menghasilkan pemusatan dalam struktur sosial di berbagai negara di dunia, lebih terbuka dan masyarakat global (Jarvis, p.73).
Transformasi tersebut, pada gilirannya berimbas pada dunia pendidikan madrasah. Kecermatan untuk memahami dan merespon arus globalisasi tersebut setidaknya akan menuntut madrasah terus melakukan pembaharuan-pembaharuan di berbagai bidang termasuk manajemen, administrasi, kualitas pengajaran dan sarana-prasarana. Menurut Kerr at all, dunia pendidikan mesti mampu memenuhi kebutuhan proses transformasi tersebut. Sebab, proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan meningkatkan jenjang pendidikan bagi seluruh warga karena relevan dengan permintaan pasar. Bahkan menurutnya, seluruh jenjang pendidikan yang dikonseptualisasikan sebagai pendidikan sepanjang masa dan masyarakat belajar itu sendiri akan dapat tercapai.
Namun demikian, hubungan antara pendidikan dan pemenuhan kebutuhan industrialisasi atau lebih pada ekonomi, mengundang perdebatan hangat. Terlebih dengan percepatan tekonologi yang menghendaki adanya pendidikan vokasional. Tenaga terlatih lebih dibutuhkan sehingga spesialisai menjadi hal utama dalam pendidikan ketimbang pendidikan secara umum (general education). Pada sisi ini, pendidikan menjadi ruang pertarungan kepentingan, yang dalam istilah Durkheim dan Parsons didefinisikan sebagai dua masalah, sosialisasi dan seleksi. Padahal persoalan akses dan seleksi dalam pendidikan secara langsung berkaitan dengan keadialan sosial dan posisi kompetisi. Dalam konteks sosialisasi, berdasarkan prinsip meritokrasi, kompetisi menjadi basis terjadinya kesenjangan dengan adanya doktrin pemberian kesempatan yang sama bagi setiap orang. Pada saat yang sama, pemilihan pendidikan menjadi kompetisi di antara mahasiswa untuk mendapatkan akses ke ke dalam pasar untuk mendapatkan pendapatan, status dan pekerjaan. (Brown at all, 1997:13).
Sedangkan pada yang kedua, masyarakat belajar dipahamai dalam empat hal: (1) masyarakat belajar sebagai masyarakat masa depan—futuristic society; (2) masyarakat belajar sebagai masyarakat yang terencana—planned society; (3) masyarakat belajar sebagai masyarakat refleksif—reflexive society; dan (4) masyarakat belajar sebagai fenomena pasar—a phenomenon of the market. (Jarvis, 2003: 74-80)
Masyarakat belajar sebagai masyarakat masa depan, menurut Ranson (1994 dalam Jarvis, 2003:75) mesti dijadikan sebagai syarat konstitutif dari moral dan kesetabilan politik. Karena, ketika belajar menjadi sentral nilai dan proses bagi kebijakan politik hal tersebut akan menciptakan kondisi dimana setiap orang dapat meningkatkan kapasitas mereka begitu pula instiutsi bisa merespon secara terbuka atas berbagai perubahan dari waktu ke waktu. Sedangkan, masyarakat belajar sebagai masyarakat terencana dapat dipahami dari berbagai kebijakan pemerintah di berbagai belahan dunia. Berdasarkan sejumlah laporan, paper atau legislasi yang dihasilkan mengenai hal ini, berkaitan dan merujuk pada apa yang disebut sebagai pendidikan sepanjang masa. Intinya, bagaimana setiap orang bisa belajar sehingga mereka apat tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi dalam proses demokratisasi dalam masyarakat. (Jarvis, 2003:76)
Adapun, masyarakat belajar sebagai masyarakat refleksif menggambarkan bahwa refleksifitas merupakan sisi fundamental dan nature dari modernitas. Dalam hal ini, Gidden (1990) berpendapat bahwa refleksivitas dalam masyarakat modern merupakan fakta bahwa praktik sosial secara konstan dieksiminasi dan direformasi karena adanya sejumlah informasi baru yang lebih praktis dan dapat merubah karakter masyarakat (p. 38-39). Sedangkan masyarakat belajar sebagai fenomena pasar dapat dipahami dalam terminologi Bourdieu (1984) sebagai simbol kapital. Pengetahuan menjadi sesuatu yang penting dalam sejumlah aktivitas konsumsi manusia. Sehingga, belajar itu sendiri, dipahami sebagai cara untuk mempertahankan konsumsi dan gaya hidup. Dan, produksi pengetahuan bahkan menjadi sebuah industri yang mengkultivasi keinginan manusia untuk belajar sehingga mereka dianggap sebagai modern. (Jarvis, 2003:81)
Sedangkan pada yang ketiga, jika penafsiran terhadap masyarakat belajar tersebut memiliki validitas, maka penting untuk memahami adanya arah baru dalam memahmai pendidikan dan belajar. Pada sisi ini, fenomena globalisasi memiliki agenda tersendiri. Yaitu, perubahan infra-struktur global yang menciptakan ketidakseragaman dunia dan pembagian kerja dalam berbagai sektor menghendaki adanya perbedaan permintaan dalam pendidikan dan belajar. Namun demikian, di sisi lainnya, reproduksi sosial dan kultural dalam pengertian fungsi pendidikan dalam konteks kurikulum perlu untuk mempertahankan warisan kultural bangsa daripada merefleksikan infra-struktur global. (Jarvis, 2003:81) Sehingga, penting untuk kembali menafsirkan ulang makna dari pendidikan yang diinstitusionalisasi dan proses pembelajaran itu sendiri.
Kesadaran bahwa madrasah adalah bagian dari dinamika dan fenomena global dalam dunia pendidikan setidaknya akan mendorong pada kreativitas aktor-aktor pendidikan madrasah agar lebih inovatif dalam menciptakan lingkungan belajar yang baik dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang akhir-akhir ini terus berkembang. Lain dari itu, setiap orang akan tertantang kreativitasnya karena persoalan yang hadir tentunya terus berubah sesuai dengan perubahan jaman.

D. Kesimpulan
Dalam tulisan ini, setidaknya ada dua hal yang menjadi fakto utama penentu daya saing madrasah. Pertama, kemampuan untuk melakukan peningkatan kualitas secara terus menerus. Dan, kedua, kemampuan madrasah untuk merespon berbagai transformasi pada skala global. Pada yang pertama, penting untuk melakukan reformasi struktural. Dalam pengertian ini, sudah saatnya seluruh stakeholder (kepala madrasah, guru, murid, orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat dll) pendidikan madrasah terlibat secara partisipatif merumuskan berbagai konsep dan gagasan juga implementasi konsep dan gagasan tersebut. Kesenjangan pengetahuan tentang konsep dan gagasan antar stakeholder di madrasah menyebabkan terputusnya ruang komunikasi dan kebersamaan berkaitan dengan tujuan pendidikan itu sendiri secara lebih luas. Lain dari itu, hal tersebut pun akan melemahkan kinerja guru dan aparatus madrasah karena terus terjebak dalam rutinitas yang dapat menumpulkan kekuatan inovasi dan kreativitas madrasah dalam menciptakan proses belajar yang berlaku bagi seluruh orang sepanjang masa.
Sedangkan pada yang kedua, madrasah mesti sekuat tenaga membuka ruang komunikasi antar madrasah. Sehingga, menciptakan forum-forum guru atau madrasah menjadi salah satu bagian penting dalam upaya membagi pengetahuan—sharing knowledge. Sharing knowledge akan efektif jika setiap stakeholder sekolah memahami persoalan apa yang sebenarnya sedang dihadapi dalam berbagai levelnya. Dalam hal ini, forum-forum guru atau madrasah mesti dijadikan ruang dimana pengetahuan tentang ke-madrasah-an—termasuk di dalamnya akses terhadap buku terbaru tentang inovasi pendidikan atau pengetahuan tentang perkembangan teknologi juga bahasa—dibicarakan baik formal maupun informal. Sehingga, pembicaraan forum guru atau madrasah tidak berputar-putar pada kerja teknis seperti bantuan untuk madrasah atau persoalan kesejahteraan, lebih dari itu untuk pencerahan pengetahuan agar jauh lebih baik.

Wallahu ’alam bish-shawwab

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn

Leave a Reply