Marhaen

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams, ditemukan bahwa, suatu hari Bung Karno bertemu dengan seorang petani di kampung Bojongsoang Bandung. Percakapan atau pengakuan petani tersebut kepada Bung Karno tentang sawah yang miliknya walaupun cuma sepetak, alat-alat tani seperti cangkul dan  bajak termasuk kerbau sarakit adalah miliknya, hasil tani yang cukup untuk menghidupi keluarganya,  menjadi simbol pergerakan bangsa Indonesia saat itu. Dalam beberapa penjelasan Ir. Soekarno selalu menegaskan untuk memahami Marhaenisme membutuhkan dua postulat, 1. Pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia dan yang ke 2. Pengetahuan tentang Marxisme.

Pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia yang dimaksud rasanya lebih tepat diartikan pengetahuan tentang idealisme dan nilai-nilai luhur bangsa, agama dan kepercayaan bangsa, sejarah dan peradaban bangsa, kultur geografis dan kultur antroposentris bangsa, perekonomian dan perdagangan bangsa serta pertahanan dan keamanan bangsa yang mengkristal dalam  Nasionalisme bangsa Indonesia sebagai titik acuan pergerakan bangsa (baca : Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Kemudian sejarah membuktikan proses pengukuran  dari kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala seluruh aspek bangsa dalam kerangka menuju Indonesia merdeka/setara, adil dan sejahtera. Sehingga pada posisi tersebut muncul benang merah dinamisasi gerakan dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka (baca : Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945), berkembang kemudian terkatagorikan bangsa yang maju.

Adapun pengetahuan tentang Marxisme, lebih kepada termotivasinya sebuah perubahan yang revolusioner dari kaum proletar eropah terhadap kebijakan tirani gereja dan tirani monarchi.

Kedua postulat itu bisa dijelaskan, sebagai berikut :

1. Marhaen bukan Proletar dan bukan Sudra

a. Marhaen bukan manusia kelas dua (baca : yang menerima perintah untuk mengerjakan sesuatu dan menerima upah)  seperti halnya proletar.

b. Marhaen punya tanah, punya cangkul, punya bajak, punya rumah dan bekerja atas kemauannya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain.

c. Marhaen memiliki kepercayaan (baca : bukan kasta Sudra yang dibinatangkan kepercayaan), Marhaen memiliki Agama (baca : Aqidah yang mampu menentramkan jiwa pada saat berkelebihan dan berkekurangan). Sementara proletar menafikan/mencandukan agama yang disebabkan prilaku pemimpin agama.

d. Marhaen tidak bisa diseru untuk bersatu untuk kepentingan orang per orang atau golongan, sebab Marhaen adalah pilihan hidup yang bertanggungjawab. Marhaen bisa diajak bersatu untuk memamurkan kemanusiaan atas nama agama.

e. Sudra terbinatangkan dan tergantung kepada dan  oleh kepercayaan, Proletar termarjinkan dan tergantung kepada dan  oleh majikan, Marhaen bebas dan bertanggungjawab terhadap kemanusiaan yang berketuhanan yang maha esa.

2. Marhaen bukan Mustad’afin (Fakir miskin) laten.

Bisa jadi pada saat Marhaen bertemu Soekarno dan mereka bercakap, kemudian Soekarno pada saat itu adalah seorang peduli dengan bangsanya, maka Marhaen adalah sosok yang terbinatangkan, termarjinkan, terdu’afakan, terfakirkan dan termiskinkan oleh sistem penjajahan. Marhaen mempunyai modal sebagai individu yang merdeka berpeluang  untuk terdewakan, termajikankan, tersejahterakan, tercerahkan, terpelajarkan. Bahkan tidak mustahil, Soekarno mendapat pencerahan dari Marhaen bahwa untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera itu yang paling utama harus dimerdekakan dahulu.

Pada tingkat dinamisasi yang begitu bergolak (Revolusi), tidak mustahil terjadi penyimpangan makna perjuangan kebangsaan, Yang jelas Marhaen sekarang banyak yang terdewakan, termajikankan, tersejahterakan, tercerahkan, dan terpelajarkan. Indikasinya pada pemilihan hidup yang bertanggungjawab kepada dirinya, lingkungan (alam)nya dan Tuhannya.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply