Allan tinggal di sebuah rumah kecil, di Yxhult. Senja hari, 3 Juni 1929, ia meledakkan rumahnya sendiri. Hal itu sudah direncanakan secara matang oleh dirinya. Dan alasan ia meledakkan rumahnya sendiri adalah karena dirinya merasa bosan.
Bagiku, alasan meledakkan rumah karena rasa bosan rasanya lucu. Tapi, ada yang lebih lucu daripada itu. Yakni, saat polisi kemudian menangkap Allan karena telah meledakkan rumahnya sendiri. Padahal, itu kan rumahnya sendiri? Apa salahnya?
Ah, polisi. Orangnya memang lucu-lucu.
#
Allan hidup di lingkungan industrial. Ia tidak mengeluh, bagaimanapun. Justru, ia sering menjadikan tempat-tempat industri sebagai destinasi wisatanya. Agak aneh dan sulit dibayangkan juga sebenarnya. Bagaimana bisa, misalnya, sebuah pabrik dijadikan tempat untuk bersantai berlibur? Namun kalau tidak aneh, namanya bukan Allan. Baginya, semua tempat bisa dijadikan tempat untuk berlibur. Termasuk jika itu sebuah pabrik sekalipun.
Jika kita bisa melihat segala sesuatu dari sisi positifnya, maka hal positif pula yang akan didapat. Begitulah cara Allan memandang lingkungannya. Ia tak merasa risih dan terganggu. Kebalikannya, ia selalu berusaha untuk menemukan sisi positifnya. Dan akhirnya, ia pun kerja di sebuah pabrik yang menjadikannya memahami untuk kemudian mahir dalam perkara peledak.
Dari segala hal, selalulah ambil sisi positifnya.
#
Hanya karena mahir dalam perkara peledak, Allan bisa selalu hidup dalam kemudahan. Punya banyak kawan dan kenalan yang selalu bisa diandalkan pada saat-saat genting.
Aku pikir, begitulah seharusnya pendidikan; fokus. Ya, pendidikan itu idealnya harus fokus. Kalau ada seorang anak sukanya main gitar, misalnya, fokuskan saja ia untuk belajar gitar sampai ke akar-akarnya. Begitu juga jika ada anak sukanya fisika, main bola, catur atau apalah, fokuskan saja ia untuk mendalami apa yang disukainya saja. Supaya jadinya tidak bingung dan nanggung.
Beda halnya dengan Indonesia. Di negara ini, anak-anak diwajibkan untuk mengetahui dan bisa segalanya. Hal itu, jadinya malah membuat anak malas dan bingung harus fokus ke mana. Mungkin niatnya bagus, tapi hasilnya ternyata jelek. Sialnya, sudah tahu jelek tapi tak kunjung diperbaiki dan dirubah. Makanya, banyak anak di Indonesia yang kemampuannya serba nanggung, dan akhirnya tak jadi apa-apa karena tidak mahir dalam hal apa pun.
Bandingkan dengan apa yang aku baca di novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi. Di dalam novel itu, anak-anak diajarkan untuk fokus belajar pada bidang yang disukainya masing-masing. Kalau suka fisika ya belajar fisika. Kalau suka masak ya belajar masak. Kalau suka bikin kerajinan dari kayu ya terus belajar bikin kerajinan dari kayu. Intinya, fokus. Dengan begitu, kelak, saat anak sudah dewasa, setidaknya ia akan memliki kemampuan mumpuni dan mahir dalam satu bidang tertentu.
Karakter tidak dapat dikembangkan dengan mudah dan tenang. Hanya melalui pengalaman ujian dan penderitaan jiwa dapat diperkuat, ambisi menginspirasi, dan keberhasilan yang dicapai.
Helen Keller
Judul The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared | Penulis Jonas Jonasson | Penerbit Bentang Pustaka | Tebal 508 hal | Peresensi Alfi Putra Muhammad Fatah | Penyunting Ridwan Malik