EnglishArabicIndonesian

Memahami Islam Sebagai Realitas Sosial

Pendahuluan

Selain pendekatan normatif-teologis, Islam dapat dilihat melalui pendekatan historis-empiris. Amin Abdullah dalam pengantar bukunya (Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?) memberikan sambutan positif terhadap wacana pluralisme agama. Karena selama ini hubungan antar agama selalu dibarengi dengan sikap ketegangan.
Pendekatan normatif-teologis tidak selamanya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di aras bawah. Selain itu, pendekatan demikian ini justru lebih menitik beratkan pada kajian tekstualis, literalis dan lebih cenderung dipengaruhi oleh pandangan subyektif. Maka pendekatan semacam ini akan cenderung melakukan reduksionis besar-besaran terhadap ajaran agama.

Sementara pendekatan historis-empiris lebih menekakan pada suatu sikap kesadaran sejarah. Dalam bahasa agama, pendekatan tersebut ingin melihat sisi “Asbab al-Nuzul” dari sebuah peristiwa yang bersifat kultural, psikologis maupun sosiologis (Abdullah, 1998: vi)
Dalam memberikan suatu pengantar buku yang diterjemahkan dari (Approaches to Islam in Religious Studies) karya Richard C. Martin, Amin Abdullah juga menjelaskan bahwa Islamic studies selalu masih dianggap sebagai bagian dari orintalisme. Hubungan antara Barat dan Timur masih selalu diwarnai dengan sikap saling curiga yang berlebihan. Padahal, dalam batas-batas tertentu hubungan antar keduanya merupakan bagian yang saling menguatkan, baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya.

Untuk ukuran zaman sekarang ini, hanya kesadaran sejarahlah agama akan dapat dimaknai sebagai bagian tujuan kehidupan manusia. Sepanjang Agama itu dipahami secara mendalam, maka elemen makna keagamaan itu akan sarat dengan muatan historis-empiris. Sebab, agama selalu menjadi bagian dari setting historis dan sosial dari komunitasnya, namun pada saat yang sama secara fenomenologis ia mempunyai pola umum yang dapat dipahami secara intuitif dan intelaktual sekaligus oleh umat manusia di manapun mereka berada.

Islam Sebagai Realitas Sosial

Sebagian besar para pemikir Muslim menyetujui pendapat H.A.R. Gibb yang menyatakan bahwa Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap (Gibb, 1959: 59-61). Menariknya, dari statemen Gibb tersebut adalah hampir semua kelompok umat Islam sepakat dan mendukung sebuah perpaduan (integritas) antara agama dan urusan dunia merupakan satu entitas yang utuh. Sehingga antara yang profan dan yang sakral tidak ada perbedaan yang mencolok.

Meskipun dalam hal-hal tertentu umat Islam menolak pembatasan agama dalam arti sempit, namun –masih menurut Gibb– suatu pembatasan dalam bidang agama, akan memberikan dampak yang positif, asalkan berangkat dari satu anggapan bahwa unsur agama dalam masyarakat sangat berhubungan erat dengan unsur-unsur lainnya. Ekplorasi analisa Gibb di atas, mendorong kepada kita bahwa dalam realitas sosial akan dijumpai sebuah gagasan Islam dengan pendekatan yang bersifat kultural.

Seperti halnya M. Natsir dan Sidi Gazalba, bahwa Islam meliputi semua aspek masyarakat dan kebudayaan, serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti sempit, maka sesungguhnya mereka lebih banyak berbicara tentang impian, daripada bertitik tolak dari kenyataan yang terjadi disebagian besar bumi Indonesia (M. Natsir; 1961).

Pandangan yang hampir senada juga dilontarkan oleh Ernest Gellner (1981), bahwa dalam tradisi Islam terdapat jalinan kuat antara spirit dan hukum keagamaan dengan wilayah sosial. Berbeda dengan agama Kristen, Islam tidak pernah padam dari suatu ideologi. Bahkan Islam akan tidak pernah terpisah dari persoalan-persoalan sosial-budaya. Karena itu, tidak perlu heran kalau Islam pernah mengukir sejarah dunia. Islam telah mengalami kejayaan gemilang dan dirasakan sebagai warisan dan blueprint sosial yang masih sangat mungkin dapat dihidupkan kembali pada zaman yang berbeda.

Bertolak dari ketiga pandangan di atas, studi Islam (Islamic studies) saat ini yang harus dihadapi adalah perumuskan metodologis guna melihat makna keagamaannya secara koheren. Sebab jika tidak dilakukan, maka studi Islam akan mengalami penurunan yang cenderung mengabaikan makna keagamaannya itu sendiri. Amin Abdullah (1998: 23) menyatakan bahwa fenomena beragama bukanlah fenomena sederhana seperti yang biasa dibayangkan orang lain. Karena sikap beragama membutuhkan kesadaran dan kemauan untuk menerima suatu keberbebedaan.

Di sinilah letak sesungguhnya pendekatan studi Islam itu sangat diperlukan. Sebab, jika kita mau membuka sikap beragamaan, setidaknya seperti dalam tulisan Komaruddin Hidayat di Majalah Ummat (1996) menggambarkan bahwa ada lima tipologi sikap keberagamaan. Pertama, ekslusivisme berpandangan bahwa sikap keberagamaan akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang palin benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat, maka wajib dikikis atau pemeluknya dikonversikan karena baik agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan.

Kedua, sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurnya agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman.

Ketiga, pluralisme, lebih moderat lagi, berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan.

Keempat, eklektivisme, yaitu suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersifat eklektik.
Kelima, universalisme, beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya saja karena faktor historis-antropologis maka agama lalu tampil dalam format formal.

Islam dalam Kajian Sosial-Budaya

Salah satu studi penelitian sosial-budaya yang paling menumental mengenai aspek keberagamaan adalah Geertz yang sampai sekarang ini seringakali menjadi rujukan utama. Meskipun penelitian itu pada akhirnya juga akan terjadi sebuah pergeseran dan keotentikan hasil, karena dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang jauh berbeda.
Dalam The Religion of Java, Geertz (1983:8) membedakan kebudayaan Jawa dalam tiga tipe; abangan, santri dan priyayi.

Abangan, mewakili suatu kelompok yang lebih menitik beratkan pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Santri, mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang dan juga elemen tertentu di kalangan petani. Priyayi, mewakili suatu kelompok yang lebih menekankan aspek-aspek Hindu dihubungkan dengan elemen birokratik.

Ketika Geertz membukukan hasil penelitiannya di Mojokuto (nama samaran sebuah kota kecil, Pare di Jawa Timur) pada awal tahun 1950-an, ia mungkin belum membayangkan bahwa akan terjadi perubahan kultural di kalangan abangan, santri dan priyayi. Terlepas dari kritik yang banyak ditujukan oleh ilmuwan sosial atas kategorisasi itu, sampai saat ini dalam analisis ilmu-ilmu sosial trikotomi tersebut masih kerap digunakan, meskipun dengan sikap yang berhati-hati.

Seperti disinyalir oleh banyak pengamat bahwa di Indonesia sekarang terjadi peningkatan antusiasme dalam berislam yang ditandai dengan semakin meningkatnya gairah dalam menjalankan Islam baik secara pribadi, yaitu dengan semakin banyaknya orang yang mengunjungi tempat-tempat ibadah dan juga penampakan identitas keislaman yang lebih jelas. Gejala-gejala yang bersifat umum, misalnya banyaknya lembaga-lembaga keagamaan, munculnya banyak penerbitan Islam dan meningkatnya intelektualitas umat (Esposito, 1994). Situasi ini oleh Esposito disebut sebagai “kebangkitan Islam” atau “aktivisme Islam” dan oleh Azyumardi disebut sebagai intensitas santrinisasi. Secara umum hal ini dapat diartikan sebagai tampilnya Islam sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan oleh kawan maupun lawan dalam segala aspek kehidupan.

Ada dua kemungkinan dalam hal ini, mereka yang mengalami peningkatan antusiasme keagamaan adalah mereka yang semula masih dalam kategori abangan kemudian berubah menjadi santri. Kemungkinan lain, mereka sebelumnya sudah menjadi santri kemudian secara kualitatif mengalami peningkatan kembali kualitas kesantriannya. Sejalan dengan kemungkinan yang pertama, dalam suatu kesempatan wawancara dengan Islamika (1994:58), Hefner mengatakan bahwa “peta kaum abangan sekarang ini mulai berkurang, meskipun mulai dari Batu sampai Pare, boleh dikatakan masih tetap ada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Kejawen”. Semakin menyusutnya jumlah abangan ini dijelaskan Hefner banyak penyebabnya, tetapi mereka yang sedang mengalami proses transformasi kultural ini selain yang terbesar menjadi santri, ada juga yang masuk aliran kebatinan atau berbagai aliran kepercayaan.

Kategori abangan dan santri juga dapat diletakkan dalam dua pendekatan, yakni dari segi kualitas keagamaan dan stratifikasi sosial, atau sebagai golongan sosio-religius dan sebagai kekuatan sosio-politik (Muchtarom, 1988: xvii; Muzani, 1993:122). Kategori ini juga tidak bersifat statis, misalnya antara priyayi dan wong cilik karena adanya mobilitas sosial maka mengalami pergeseran. Begitu juga dengan perbedaan antara abangan dan santri tidak selalu bersifat antagonis, tetapi merupakan sekala budaya dan pemahaman agama (Kuntowijoya, 1998). Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi transformasi dan pergeseran baik wong cilik menjadi priyayi maupun abangan menjadi santri. Seperti dikatakan Hefner (1994:59), ada priyayi yang abangan dan yang santri, juga ada abangan yang agak priyayi, santri agak priyayi dan sebaliknya.

Permasalahannya, mengapa terjadi transformasi kultural ? Atau mengapa abangan berubah menjadi santri ? Jawaban tentatif tentu dapat bermacam-macam, misalnya karena modernisasi, politik, pendidikan dan tidak menutup kemungkinan adalah peran para elit Islam yang dengan semangat kuat membimbing dan mengajak mereka untuk lebih taat dalam beragama. Dalam kajian pustaka ini beberapa hal yang diasumsikan sebagai penyebab berubahnya kaum abangan menjadi santri akan dipaparkan. Sesuai hasil penelusuran pustaka maka ditemukan beberapa alasan yang menyebabkan abangan berubah menjadi santri.

Nurchalish Madjid maupun Daliar Noer di atas dapat dirujuk pula dari kesimpulan beberapa pengamat Islam kontemporer, misalnya Robert N. Bellah dan Ernest Gellner. Menurut Bellah yang dikutip Madjid dari Beyond Belief, bahwa Islam menurut zaman dan tempatnya, adalah sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga gagal. Dan kegagalan itu disebabkan karena tidak adanya prasarana sosial di Timur Tengah saat itu guna mendasari penerimaan sepenuhnya ide modernitas Islam dan pelaksanaannya yang tepat (Madjid, 1992: lxxiv). Selanjutnya Madjid menjelaskan, jika Islam sebuah modernitas seperti dikatakan Bellah, maka zaman modern akan memberi kesempatan kepada orang-orang Islam untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya secara baik, dan menjadi modern dapat dipandang sebagai penyiapan lebih jauh infrastruktur sosial guna melaksanakan ajaran Islam secara sepenuhnya. Berarti pula, bahwa di zaman modern ini orang-orang Islam akan dapat memahami ajaran agamanya dan menangkap makna ajaran agama itu sedemikian rupa sehingga “api” Islam, atau spirit dan ruh atau subtansi ajaran Islam dapat bersinar dan memebri kontribusi yang berarti dalam kehidupan Muslim secara pribadi maupun dalam masyarakat secara luas.

Sedangkan Gellner (1994:16-17), mengatakan bahwa para sosiolog yang telah lama akrab dan sering membenarkan teori sekularisasi mengatakan bahwa dalam masyarakat ilmiah-industri, iman dan amalan agama akan menurun. Banyak argumen yang dapat dikedepankan untuk memberi topangan intelektual atas pandangan tersebut, dapat pula dalam hal ini dikedepankan bukti-bukti empiris. Tetapi, harus ada pengecualian yang dramatis dan mecolok, yaitu Islam. Menganggap sekularisasi telah melanda Islam tidaklah berlebihan. Namun anggapan itu salah, sebab saat ini Islam tetap kuat seperti seabad yang lampau, bahkan mungkin lebih kuat.
Kajian ini tidak akan memperdebatkan mengapa agama tertentu tahan terhadap gelombang sekularisasi, sementara yang lain tidak. Tetapi untuk menunjukkan bahwa meskipun arus deras modernisasi melanda bumi Indonesia hal itu tidak serta-merta menyebabkan memudarnya nilai-nilai Islam, tetapi Islam justru semakin menguat baik sebagai kekuatan kultural, sosial maupun politik. Munculnya Islam sebagai kekuatan baru ini sudah barang tentu diikuti oleh semakin menguatnya pengamalan nilai-nilai Islam. Hal Ini memang tidak dapat digeneralisir sebagai suatu gejala makro di seluruh dunia Islam. Paling tidak gejala tersebut relevan untuk konteks Indonesia. Sebab, sebagai umat mereka yang paling banyak bersentuhan dengan modernisasi berarti mereka pula yang akan banyak tersekularkan. Kenyataannya, umat Islam Indonesia mengalami kebangkitan baik secara intelektual maupun keagamaannya secara utuh. Seperti dinyatakan Federspiel “tak mustakhil, 20 tahun ke depan Muslim di wilayah lain berpaling ke Jakarta karena adanya kekuatan dari sarjana Muslim baru Indonesia.”

Sebagai agama, Islam dapat dilihat sebagai gejala sosial-budaya. Atha Mudzhar menjelaskan bahwa agama dapat diteliti kalau telah menjadi gejala budaya. Dalam perspektif ilmu sosial kajian budaya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebab, kajian budaya selalu unik yang hampir tidak pernah selesai dibahas dan diteliti oleh manusia.

Paling tidak, gejala agama dapat dilihat dari lima sudut. Pertama, berkenaan dengan teks-teks atau sumber ajaran agama. Kedua, dilihat dari sikap dan prilaku para pemimpin dan penganutnya. Ketiga, dilihat dari ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadatnya. Keempat, alat-alat atau media peribadatan, dan kelima, organisasi keagamaan sebagai sarana mereka berperan dan bertindak (Mudzhar, 1998: 14).

Kuntowijoyo (1998) menjelaskan bahwa perubahan kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang terjadi secara natural, disebut sebagai “transformasi”; dan yang terjadi secara artifisial, atau dibuat disebut sebagai “rekayasa”. Transformasi bisa berkenaan dengan nilai, bisa juga berkenaan dengan struktur. Transformasi dalam studi ini berkenaan dengan nilai, yaitu agama yang dihayati oleh pemeluk-pemeluknya. Dalam hal ini golongan abangan menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas dalam hal keagamaannya dari sekadar Muslim secara formal menjadi Muslim secara subtansial, atau spiritual.

Sampai dengan awal tahun 70-an, organisasi keislaman yang bersifat formal yang melakukan tugas-tugas penyiaran Islam di wilayah ini belum ada. Kalau itu ada berarti telah terjadi suatu rekayasa baik secara samar-samar apalagi terang-terangan yang berarti telah terjadi pemaksaan dalam proses pengislaman penduduk.
Perkembangan beberapa tahun terakhir ini memang agak lain. Sebab, berbagai organisasi keagamaan telah bermunculan. Bersamaan dengan itu kegiatan keagamaan mulai marak. Lembaga-lembaga keagamaan juga banyak bermunculan, masjid, langgar, organisasi dakwah. Pada berbagai kegiatan ini ada usaha-usaha yang lebih intens untuk semakin mendekatkan Islam kepada penduduk. Sehingga berbeda dengan masa sebelumnya yang murni karena interaksi antara penduduk pendatang dengan penduduk asli. Maka, yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan adanya gejala rekayasa untuk semakin mendekatkan Islam kepada masyarakat.

Perpekstif Ilmu-ilmu Sosial

Agama dalam perspektif ilmu-ilmu sosial dapat kaji melalui berbagai pendekatan, umumnya yang lebih dekat dengan ilmu sosial adalah pendekatan Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Psikologis, Historis dan Kebudayaan. Sebagai sebuah contoh berikut ini, penulis kemukakan tentang agama dalam pandangan sosiologis.

Thomas F. O’dea (1992:1) dalam Sosiology of Religion mengawali tulisannya dengan kalimat menarik, menurutnya bahwa “penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya.” Agama yang selalu berkaitan dengan kepercayaan serta berbagai praktek ritualnya terefleksikan dalam bentuk tingkah laku secara empiris oleh pemeluknya dalam pandangan O’dea adalah benar-benar sebagai masalah sosial. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka bagaimana ilmuwan sosial atau sosiolog khususnya mendefinisikan agama? Persoalan apakah dalam masalah agama ini yang telah menjadi perhatian mereka? Lalu, secara sosiologis bagaimana mendekati masalah ini?

Kata Malinowski agama adalah “wishful thinking”, yaitu suatu harapan yang muncul karena manusia melihat bahwa kehidupannya akhirnya akan berakhir dengan kematian. Ia tampaknya masih memandang agama sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif. Karena agama dapat menolong untuk mengatasi frustasi dan membantu mewujudkan persatuan sosial.

Sedangkan E.B. Tyalor dalam Primitive Cultur mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual”. Durkheim mendefinisikannya sebagai “sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan dengan benda-benda sakral, katakan dengan benda-benda terpisah dan terlarang kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja”. Kedua definisi ini tak luput dari kritik yang diajukan oleh sesama ilmuwan sosial. Definisi pertama dikritik karena dianggap terlalu bercorak intelektualis dan kurang memperhatikan emosi-emosi khidmad dan hormat sebagai karakteristik perilaku beragama dengan kepercayaan-kepercayaannya. Sementara yang kedua dikritik karena dianggap terlalu kabur dan cenderung menampilkan unsur pemuasan dalam mendefinisikan agama.

Sementara itu Simmel menekankan dua aspek penting dari agama: Pertama, agama adalah menyangkut masalah hubungan. Kedua, dalam membentuk hubungan keagamaan, manusia cenderung membuat model hubungannya dengan Tuhan, dengan dewa-dewa, dengan kekuatan adikodrati atau dengan konsepsi-konsepsi lain tentang hal yang berada di luar jangkauan manusia, dan tentang hubungan sosial dalam masyarakat. Dalam pandangan Simmel semua bentuk hubungan ini dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Dalam hal ini sikap hormat terhadap yang suci menurutnya merupakan peningkatan jenis penghormatan yang terdapat dalam hubungan sosial (O’dea, 1992:55-56).

Definisi apapun tampaknya belum ada yang secara empiris dapat menggambarkan apa itu sebenarnya agama. Seperti dikatakan O’dea (1992:2), masalah inti agama adalah menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba yang realitas empirisnya sama sekali belum jelas. Agama menyangkut dunia luar (the beyond), hubungan manusia dengan dan sikap terhadap dunia luar itu, dan dengan apa yang dianggap manusia implikasi praktis tersebut terhadap kehidupannya. Namun demikian, agama paling tidak dapat diidentifikasi dalam tiga hal penting, yaitu sebagai sistem kepercayaan, sistem peribadatan dan sistem norma atau nilai (Muhaimin, 1986:14).

Sementara itu, sosiologi agama telah memperhatikan antara lain beberapa masalah, yaitu kepercayaan (belief), peribadatan (ritual), masyarakat (community), lembaga atau kelembagaan (institution) dan masalah pengalaman keagamaan (religious experience).
Dalam hal pengalaman keagamaan Durkheim membuat contoh yang menggolongkan semua pengalaman manusia ke dalam dua kategori yang mutlak bertentangan, yakni pengalaman yang suci dan yang profan. Pengalaman yang profan adalah dunia pengalaman rutin yang merupakan bagian dari perilaku penyesuaian. Sementara yang suci lebih tinggi martabatnya dibanding dengan “yang profan” dan mengandung sifat serius yang lebih tinggi. Setiap orang yang beragama pasti mengagumi sesuatu yang dianggapnya suci yang diwujudkan dalam simbol-simbol untuk mewakili yang suci.

Berangkat dari kekaguman itulah seperti dinyatakan Van der Leeuw akan “berkembang menjadi ibadat”. O’dea dalam hal ini menegaskan bahwa lewat pengalaman dengan yang suci itulah lahir suatu sikap dan seperangkat praktek peribadatan. Dan sebagaimana juga dikatakan William James, agama adalah suatu perasaan, perbuatan dan pengalaman, dari sini lahir “teologi, filsafat dan organisasi gereja” (O’dea, 1992:36).

Selain Durkheim yang membahas masalah yang suci ini adalah Rudofl Otto. Dalam pandangan Otto, yang suci itu adalah “suatu kekuatan hidup yang tertinggi”. Apa yang terlihat di dalamnya adalah suatu “yang tak terselami dan mengatasi segala makhluk”, suatu “yang tersembunyi dan eksoterik”, tapi dapat dihayati dengan perasaan”. Sesuatu yang kudus itu merupakan getaran dan pesona mysterium tremindumet fascinocum. Akhirnya dalam pandangan Otto bahwa pengalaman dengan yang suci itu menimbulkan perasaan ketidak berdayaan dalam diri penganutnya dan bagi Durkheim melahirkan “implikasi kewajiban” (O’dea, 1992:38-39).

Atas dasar hubungan dengan yang suci ini orang beragama terdorong untuk melakukan pengabdian, penghambaan dan bahkan pengurbanan. Ini semua tentu tidak dapat dipahami dari luar, tetapi dengan berusaha memahami dari dalam, yaitu menyelami perasaan orang beragama itu sendiri.

Selanjutnya adalah bagaimana sosiologi mendekati masalah ini. Dapat dikemukakan dua model pendekatan, yaitu pendekatan fungsional dan pendekatan subtantif. Pendekatan pertama dimulai dengan mengajukan pertanyaan apakah fungsi sosial dan psikologis agama, atau what religion does, baik bagi individu maupun kelompok sosial atau masyarakat. Sedangkan pendekatan kedua dimulai dengan mengajukan pertanyaan apakah agama itu, atau apakah makna agama bagi para pemeluknya, atau what religion is. Pendekatan pertama diajukan oleh Durkheim, sedangkan yang kedua diajukan oleh Weber (O’dea, 1992:20-34) .

Definisi subtantif mencakup makna dan kompleks makna yang dikaitkan dengan wujud-wujud transenden dalam arti konvensional, seperti ritus atau bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, atau kekuatan adikodrati. Sementara pada pendekatan yang kedua akan melihat agama sebagaimana yang terpantul dalam struktur, sistem, pengaturan sosial dan tingkah laku pemeluknya (O’dea, 1992:20-25).
Kaum abangan lebih menekankan aspek-aspek penting animistik. Perwujudan citra agama mereka adalah dalam bentuk pesta-pesta ritual yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menghilangkan berbagai makhluk halus jahat yang dianggap sebagai penyebab ketidakteraturan dan kesengsaraan dalam masyarakat agar equilibrium dapat dicapai kembali. Santri lebih menekankan aspek-aspek Islam. Penekanan pada tindakan-tindakan keagamaan dan upacara-upacara sebagaimana digariskan dalam Islam, Al-Qur’an dan Sunnah. Mengerjakan perintah-perintah agama, shalat, pergi ke masjid dan mengerjakan puasa. Sementara priyayi perwujudannya tampak dalam berbagai sistem simbol yang berkaitan dengan etiket, tari-tarian dan berbagai bentuk kesenian, bahasa dan pakaian.

Muchtarom (1988:5) dalam studinya Santri and Abangan in Java, meskipun dalam beberapa bagian tulisannya juga memberikan kritik atas studi Geertz, namun ia telah berhasil dengan baik mengelaborasi konsep santri dan abangan di atas. Pada bagian awal bukunya abangan dan santri sebagai golongan sosio-keagamaan ia menjelaskan, abangan secara harfiah berarti ‘yang merah’ yang diturunkan dari pangkal kata abang (merah). Istilah ini mengenai orang Muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agama. Sedangkan santri adalah Muslim saleh yang sungguh-sungguh dan teliti dalam menjalankan perintah-perintah agama Islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik.

Muchtarom menyebutkan perihal ibadah orang abangan yang menurutnya meliputi upacara penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tatacara pengobatan yang semuanya berdasarkan roh baik dan roh jahat. Upacara pokok kaum abangan ialah selametan yang merupakan acara agama yang paling umum dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam upacara itu. Kaum abangan lebih menekankan perincian upacara, ritual, memegang berbagai kepercayaan agama, bahkan mereka juga berpendapat bahwa ada banyak jalan menuju
Kebenaran, meskipun Kebenaran itu hanya ada satu. Sedangkan santri lebih memperhatikan ajaran Islam daripada upacaranya.

Muchtarom membedakan antara santri kolot dan santri modern. Santri kolot agak luwes mengenai upacara-upacara para abangan daripada santri modernis. Meskipun keluwesan tersebut tidak menunjukkan toleransi yang besar karena mereka juga menyerang perbuatan orang bukan-Islam yang “kafir”. Di antara para santri kolot selametan berjalan terus tetapi sedikit disederhanakan untuk penghematan sambil mempertegas unsur-unsur Islamnya dan mendesak unsur-unsur yang bukan Islam. Sedangkan pada golongan santri modern selamatan sering hampir sama sekali hilang. Karena itu studi ini menggunakan konsep santri seperti pengertian Geertz yang dielaborasi Muchtarom.

Perlu dicatat pula di sini seperti dikatakan Dawam Raharjo, dalam hal abangan dan santri secara empiris kategori tersebut hanya berlaku untuk masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan tidak keseluruhan Jawa. Sebab untuk Jawa Barat jelas tidak tepat, karena kesundaan identik dengan kemusliman. Demikian pula untuk masyarakat non-Jawa, misalnya Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, meskipun kurang kadar kemuslimannya, mereka akan tersinggung bila dikategorikan sebagai kaum abangan karena konotasinya dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistik atau “kejawen”.

The Religion of Java bagi sebagian kalangan hingga saat ini masih dianggap sebagai karya monumental. Tiga varian abangan, santri dan priyayi masih kerap kali digunakan sebagai alat analisis terhadap perkembangan kontemporer Islam di Tanah Air. Bahkan, Geertz menegaskan kalau seandainya diminta menulis sebuah buku tentang Indonesia tiga tipologi tersebut masih akan digunakan meskipun dengan pengungkapan yang agak berbeda atau lain sama sekali. Ini pun harus diakui bahwa tidak sedikit ilmuwan yang merasa keberatan dengan tipologi yang disodorkannya.

Dalam studi itu, Geertz mengambarkan bahwa masyarakat Jawa dapat dikelompokkan ke dalam tiga sub-kebudayaan yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (berpusat di pedesaan), Santri (berpusat di tempat perdagangan dan pasar), dan Priyayi (berpusat di kantor pemerintahan, di kota). Ketiga sub-kebudayaan tersebut itupun masing-masing dalam kehidupan sehari-hari menampilkan citra budaya dan keagamaan yang berbeda-beda; Abangan (lebih menekankan pentingnya aspek-aspek animistik), Santri (menekankan aspek-aspek Islam), dan Priyayi (menekankan aspek-aspek Hindu).

Seperti dikatakan Parsudi bahwa Abangan, Santri dan Priyayi walaupun masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan, tetapi masing-masing saling melengkapi satu sama lainnya dalam mewujudkan sistem sosial Jawa. Lebih dari itu tesis penting yang diungkap Geertz dalam hasil penelitiannya itu, bahwa ternyata agama bukan hanya memainkan peranan bagi terwujudnya integrasi, tetapi juga memainkan peranan pemecah belah dalam masyarakat dan yang terakhir inilah yang lebih menjadi perhatian Geertz, yaitu masalah perpecahan dalam sistem sosial orang Jawa sementara yang lain diabaikan.

Selain Geertz seorang sarjana Indonesia Muchtarom juga melakukan penelitian yang hampir serupa, Santri and Abangan in Java. Muchtarom berusaha mengelaborasi secara lebih mendalam pengertian Santri dan Abangan sebagaimana dalam karya Geertz di atas. Menelusuri secara historis asal-usul kedua varian tersebut. Hal terpenting dalam penelitian Muchtarom adalah usahanya dalam memperjelas pengertian abangan-santri dilihat dari dua segi, yaitu sebagai golongan sosio-religius, dan kedua sebagai kekuatan sosial politik. Sebagai golongan sosio-religius kedua varian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan mendasar dalam hal budaya dan ketaatan dalam beragama. Sementara sebagai kekuatan sosio-politik kedua varian tersebut berafiliasi dan menyalurkan aspirasi politiknya pada partai politik yang berbeda sesuai ketaatannya dalam beragama.
Selain kedua sarjana di atas Hefner seorang antropolog juga menaruh perhatian terhadap persoalan santri dan abangan. Dalam sebuah wawancaranya dalam Islamika (No.3/1994:58) yang diberi judul “Kemenangan Kultural Politik Santri”, Hefner mengakui bahwa budaya abangan semakin tersisih dari kehidupan masyarakat, misalnya bersih desa, dan bentuk-bentuk upacara budaya banyak yang telah hilang dari kehidupan masyarakat di pedesaan. Seperti di atas, bahwa Hefner memang kurang sependapat dengan sebutan terhadap orang-orang yang kualitas keagamaannya dianggap rendah ini dengan abangan, tetapi ia lebih suka menyebutnya dengan Javanism. Hefner tidak mengelaborasi tipologi di atas seperti yang dilakukan Muchtarom, tetapi lebih jauh telah melihat proses-proses perubahannya. Hanya apa yang dilakukan Hefner masih lebih bersifat hipotetis sehingga masih perlu diuji kebenarannya melalui studi empiris.

Dari studi-studi di atas ada satu hal yang menurut hemat penulis belum mendapatkan perhatian serius dari peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian Geertz misalnya, seperti dikatakan Bachtiar meletakkan kategori Abangan, Santri dan Priyayi sebagai kategori absolut. Geertz tidak melihat ke depan bahwa suatu saat akan terjadinya transformasi sosial pada masyarakat yang dikaji. Sebab, kategori itu adalah sebuah kategori dinamis. Sehingga studi ini akan memperhatikan gejala-gejalan sosial yang bersifat umum untuk kemudian memperhatikan proses berlangsungnya perubahan-perubahan itu. Masalah makna keagamaan bagi mereka yang dianggap telah mengalami transformasi juga akan menjadi hal yang tidak bisa dihindari dari kemungkinan implikasi studi ini, tapi hal ini bukan merupakan perhatian yang utama.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, 1998, Studi Islam, Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Esposito, John. L.. 1994. The Islamic Threat: Myth or Reality. [terj], Awaliayah Adurrahman. Bandung: Mizan.
Geertz, Clifford. 1983. The Religion of Java. [terj]. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Gellener, Ernest, 1981, Muslim Society, Combridge University Press.
Gibb, H.A.R., 1954, Aliran-aliran Modern Dalam Islam, (terj.) L.E. Hakim, dari Judul asli Modern Trend in Islam, Jakarta: Tintamas.
Hefner, Robert W. 1994. ICMI dan perjuangan Kelas Menengah Muslim Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo, 1998, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Majalah Islamika, No.3 Tahun 1994.
Majalah Ummat, No. 14 Thn. I, 8 Januari 1996/17 Sya’ban 1416 H.
Martin, Richard C., Approaches to Islam in Religious Studies, diterjemah oleh Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan kajian Islam dalam Studi agama, Surakarta:UMS Press.
Mudzhar, Atha, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek, Yogayakarta: Pustaka Pelajar
Nata, Abuddin, 1999, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
O’dea. Thomas F. 1992. Sosiology of Religion. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Woodward, Mark R. (ed.), 1998, Jalan Baru Islam; Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Memahami Islam Fundamentalis di Indonesia
Ridwan al-Makassary – suaraPembaca

Jakarta – Ide Islamisasi, sejatinya, telah menguat sejak revolusi Iran sukses menumbangkan rezim Shah di Iran. Sejak 1979, kharisma revolusi Iran menyebar ke seantero penjuru dunia. Termasuk Indonesia yang mengidealkan terejawantahkannya tatanan negara Islam.

Secara khusus, kebangkitan kaum Islamisme pasca rezim Suharto yang mengusung implementasi syariat Islam telah membangkitkan ketegangan antara Islam dan non Islam. Serta ketakutan akan terjadinya pemberangusan hak-hak sipil serta hak kaum minoritas (perempuan dan non-Muslim). Karenanya, opini singkat ini akan mendiskusikan rekonstruksi identitas keIslaman dari kaum fundamentalis di tanah air.

Apa misi atau tujuan utama kaum fundamentalis Islam merupakan issue yang teramat penting. Perumusan cita-cita ini biasanya menjadi pintu masuk bagi para pemimpin fundamentalisme dalam mengkonstruksi ideologi, doktrin, organisasi, gerakan serta pendekatan yang akan ditempuh.

Secara umum para pemimpin gerakan ini bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai agama kedalam kehidupan sosial-politik (din wa daulah). Tujuan utamanya adalah “negara Islam’. Namun, tujuan antaranya adalah “mengislamkan masyarakat”.

Hal ini jelas tergambar dari visi para ideolog dan penganjur fundamentalisme Islam yang membentuk pemikiran Islamisme abad ini. Seperti Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb di Mesir, Ali al-Nadawi dan Sayyid Abul A’la al-Mawdudi di India, bahwa sejarah Islam adalah suatu rekonstruksi untuk menunjukkan suatu bentuk kepatuhan perennial negara terhadap agama.

Karena itu, bagi seorang Muslim, kepatuhan itu semestinya bukan kepada negara. Tetapi, kepada komunitas Islam. Untuk menjamin hal tersebut yang dituntut adalah pemberlakuan Syariat Islam dalam pembentukan negara Islam.

Karenanya, perjuangan menegakkan Syariat Islam ini merupakan salah satu tren terpenting dalam gerakan fundamentalisme Islam. Selain dimotivasi oleh keinginan mengislamkan masyarakat atau bahkan mendirikan negara Islam, dalam wacana fundamentalisme penegakkan Syariat Islam sesungguhnya merupakan usaha merekonstruksi identitas.

Manual Castells, dalam The Power of Identity, mendefinisikan “fundamentalisme” agama sebagai “the constrution of collective identity under the identification of individual behaviour and society’s institutions to the norms derived from God’s law, interpreted by a definite authority that intermediates between God and humanity”.

Dari definisi ini tergambar bahwa ideologi utama gerakan fundamentalisme agama adalah mempertahankah eksistensi dari ancaman identitas-identitas asing yang tidak asli. Guna kembali kepada apa yang disebut Castells sebagai “the ego of authenticity”.

Rekonstruksi identitas, dengan tekanan pada otentisitas, yang diusung kaum fundamentalisme Islam, menurut Castell, nampaknya mulai tumbuh pesat pada tahun 1990-an di dalam pelbagai konteks-konteks sosial dan institusional, yang selalu merefleksikan dinamika-dinamika eksklusi sosial dan krisis negara-bangsa.

Dengan demikian, segregasi sosial, diskriminasi, dan pengangguran hebat yang melanda dunia Muslim (temasuk Indonesia tahun 1997-an), memicu kebangkitan pembentukan identitas Islam yang baru di kalangan ‘kaum muda’ yang kecewa dan frustasi, dengan satu penampakan gerakan-gerakan Islam radikal yang dramatik di dunia Muslim yang termarjinalkan dibandingkan dunia Barat yang maju.

Sementara itu, masih menurut Castell, kehancuran negara Uni Soviet memicu kebangkitan gerakan-gerakan Islam di Kaukasus dan Asia Tengah, dan juga pembentukan satu Partai Revival Islam di Rusia, yang berubah menjadi ancaman yang menakutkan bila dimaksudkan untuk mendorong terjadinya revolusi Islam di pelbagai negara pecahan-pecahan Soviet dahulu –seperti revolusi Islam di Afghanistan dan Iran.

Jika suatu komunitas masyarakat, menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, mendefinisikan dirinya sendiri sebagai berbeda dari yang lain, maka, ia akan membutatulikan mata dan pendengaran dari pandangan dan pemikiran pihak luar yang berupaya mendefenisikan atau menggugat doktrin. Perintah normatif dan perilaku keagamaan mereka sendiri.

Tentu saja ini merupakan problem yang konstan di dalam komunitas agama sepanjang sejarah yang mereka pandang sebagai suara-suara kritis yang mengandung risiko mendelegitimasi dengan menyerang apa yang mereka (komunitas ekslusif) yakini sebagai mandat-mandat (kepercayaan) keagamaan yang abadi.

Lebih jauh, An-Na’im mencontohkan bahwa kaum Muslim tak mungkin punya keseriusan dalam membela reformasi Islam yang digerakkan oleh seorang non-Muslim atau seorang Muslim. Bahkan, mereka yang melakukan penggugatan dengan maksud reformasi Islam sering dipersepsikan menjadi seorang ahli bid’ah (heretic) dan ingkar agama (apostate) karena terlalu jauh kritiknya dan berbeda dengan pemahaman-pemahaman Islam yang umum.

Yang sering dikedepankan kaum konservatisme adalah pertanyaan pertanyaan yang mucul berkenaan dengan kesalehan, otentitisitas, dan loyalitas perseorangan dalam rangka mendiskreditkan pandangan-pandangannya. Dilema yang dihadapi para reformer agama adalah bagaimana mempertahankan kredibilitas sebagai agen-agen perubahan internal, yang kritis terhadap kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan dalam komunitas mereka.

Dalam konteks ini fundamentalisme Islam secara eksklusif merupakan suatu gerakan sosial yang mendesak pembentukan identitas Islam baru untuk melawan identitas, yang menurut kelompok fundamentalis, telah terkontaminasi dengan nilai-nilai Westernisme dan sekulerisme yang mengancam identitas Islam yang otentik.

Pembentukan identitas tersebut mengarahkan pada rekonstruksi dan pemapanan suatu komunitas ekslusif yang mencoba menghidupkan kembali identitas Islam yang otentik.

Secara sosiologis rekonstruksi identitas oleh Islamis di Indonesia merupakan model pembentukan identitas yang terpenting dalam masyarakat. Fundamentalisme Islam, karenanya, mengkonstruksi bentuk-bentuk perlawanan secara kolektif melawan segala bentuk opresi dan supresi yang mereka rasakan.

Biasanya, basis-basis identitas dibangun melalui pencitraan satu model ideal, dalam konteks ini, “masyarakat Madinah pada masa Nabi”, yang akhirnya memudahkan mereka untuk mengesensialkan batasan-batasan antara “kita” (Muslim) dan “mereka” (kafir).

Gerakan fundamentalisme Islam, secara normatif, sebagai manifestasi identitas komunal sering kali difungsikan untuk menentukan batas-batas antara perintah dan larangan, antara moral dan a-moral, antara baik dan buruk, dan seterusnya.

Adakalanya gerakan fundamentalisme (baca: identitas komunal) dipergunakan untuk membuat garis demarkasi antara pemerintah “yang despotik” dengan masyarakat sipil. Sebagaimana, misalnya, yang diyakini Dale Eickelman dan James Piscatori. Bentuk-bentuk ekspresi dari kebangkitan komunalisme semacam ini adalah lahirnya partai-partai serta organisasi-organisasi massa baru yang menggunakan simbol-simbol primordial, semisal agama, etnik dan kelompok, sebagai identitas bersama.

Simbol-simbol tersebut biasanya diaktifkan dan dimanipulasiu untuk memperoleh solidaritas kelompok. Dalam perumusan ideologi organisasi dan gerakan, bahasa simbolik ini terbukti efektif dalam membangun semangat kelompok, doktrin dan cita-cita bersama. Dalam situasi di mana orang merasa terancam akibat ketidakmenentuan, dan ketidakpercayaan pada diskursus hegemonik, komunalisme cenderung dijadikan alternatif dan memperoleh pengukuhan bersama sebagai tempat berlindung.

Ridwan al-Makassary
Jl Tanjung Lengkong RT 009/07
Kelurahan Bidara Cina Jakarta Timur
almakassary@yahoo.com
0817853612

Penulis adalah Koordinator Program Islam dan Hak Asasi Manusia di Center for the Study of Religion and Culture UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn

Leave a Reply