EnglishArabicIndonesian
Categories
Akhlaq Alumni Essay Treasure

Memoar Seorang Remaja

Awal Mula

Segalanya bermula pada 2016 … yang lalu. Enam tahun aku lalui. Mengisi kekosongan diri dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang menjadi pengisi kekosongan pemahaman, otak dan akhlakku. Siapa sangka, enam tahun nyatanya terasa singkat. Waktu pengisian diriku di tempat ini akan segera berakhir. Aminul Ummah. Ia yang telah membangun karakter pada diriku. Ia yang telah mempersenjatai diriku untuk menghadapi kehidupan yang lebih pahit dan ganas. Dan ia yang telah memberiku perisai untuk membela diri dari hal-hal yang sangat memabukkan dan menggiurkan.

Berawal dari visi, Mencetak Insan Qurani yang Cerdas Spiritual, Emosional, Intelektual, Sosial, dan Naturalis. Dengan moto, Tumbuh Kembang dalam Kesadaran Diri, Teguh dalam Proses, dan Bernilai dalam Bakti pada Diri. Hal itu berhasil menumbuhkan kepercayaan diriku untuk menjadi anak, menjadi siswa, dan menjadi santri; yang sadar akan kesalahan sendiri, yang menghargai apa adanya diri, dan yang kuat dalam segala hal. Meski persoalan selalu meningkat lebih sulit dan rumit di setiap waktunya, aku bangga pada diriku karena berhasil menghadapi semua itu.

Bukan waktu yang mudah. Ketika aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di atas tanah bernama pesantren yang dikenal karena agamis dan sopan santunnya. Dua hal itu yang banyak membuat orang kagum sekaligus menghormati dan menghargai pesantren. Atas keinginanku sendiri, aku lantas menenggelamkan diri ke dalam sang pesantren. Tak pernah aku jauh dari kata ingin pulang dan tak betah. Tak jarang bising tangis mengiringiku. Namun aku tetap kuat. Terima kasih kepada kakak dan para pembina yang selalu merangkulku untuk tetap bertahan sampai garis akhir.

Bukan hal menyenangkan untuk masuk pesantren. Usiaku kala itu baru tiga belas tahun.

Bukan hal menyenangkan untuk masuk pesantren. Usiaku kala itu baru tiga belas tahun. Aku harus hidup sendiri, jauh dari rumah dan keluarga terutama orang tua. Begitu sulit dibayangkan. Saat teman-teman sebayaku bisa bebas bersenang-senang di sekolah luarnya, aku harus ‘terjebak’ dalam dunia pesantren yang ketat dan penuh aturan. Walau begitu, aku tetap bangga dan bersyukur. Karena aku berada di zona yang kuinginkan, dan bisa menjadi insan yang bermanfaat untuk banyak orang. Dengan menjadi murid baru yang baik–meski aku sadar pernah melakukan kesalahan karena melanggar aturan pesantren¬–aku tak pernah mundur untuk maju menjadi anak yang lebih baik. Menunjukkan kepada semua orang bahwa aku bisa berubah dan menjadi lebih baik.

Dalam setahun aku belajar banyak hal. Aku bisa mengontrol diri untuk tidak menggunakan barang milik orang lain tanpa izin (ghasab). Aku jadi tahu tata cara makan sesuai hukumnya. Aku jadi tahu bagaimana seharusnya beribadah. Aku jadi tahu bagaimana merawat kebersihan dengan patut. Dan aku juga belajar memahami untuk bijak dalam urusan waktu.

Setahun berlalu dan aku berhasil melalui masa-masa sulit itu. Apa aku telah berhasil menjadi anak yang baik untuk orang tua dan lingkunganku? Sungguh, aku tak bisa menilainya. Aku hanya tahu bahwa aku menjadi diriku. Menjadi anak empat belas tahun dengan ilmu barunya. Baik tidaknya, aku harap semua orang mengerti. Bahwa aku hanya bocah empat belas tahun yang sedang melakukan percobaan untuk meninggalkan diri yang lama menjadi diri yang lebih baik. Aku masih belajar, dan masih belum memiliki pemahaman luas. Bahkan, masih jauh dari kata banyak.

Dulu aku merasa sangat lelah dengan kegiatan yang sangat jauh berbeda dari keseharianku biasanya. Jadwal begitu padatnya. Waktu istirahat, bila lengah sedikit saja, maka aku akan kehilangannya. Aku dituntut oleh jadwal. Mulai dari bangun hingga tidur aku dituntut oleh jadwal. Sampai terpikir olehku, “Bagaimana jika aku mengkhianati jadwal? Bagaimana jika aku tidak bangun jam tiga pagi? Apa aku akan dihukum?”

Dari sanalah muncul sisi lain dari diriku. Aku yang terkadang jadi tidak terlalu memerhatikan jadwal, dan aku pikir tidak terlalu buruk. Justru dengan begitu, aku bisa mendapatkan waktu lebih banyak untuk ibadah, belajar, dan istirahat. “Aku lebih ahli dalam mengatur hidupku sendiri,” aku mengejek si jadwal.

Gejolak

Tahun ketiga, tepatnya di akhir tahun, adalah awal aku melihat dunia yang lebih luas. Aku berniat untuk mencoba mengisi kekosongan pengetahuanku dengan suasana dan pesantren yang baru. Hal yang paling sulit di tahun ini adalah saat aku harus berpisah dengan teman seperjuangan. Mereka yang telah menemaniku selama tiga tahun ini. Tawa, marah, ocehan, hinaan, kekompakan, penggerak, horor, sendiri, dan kubu, drama, cinta, teman, lagu, laptop, nonton, dan makan. Itu yang kuingat di tahun ketigaku. Berkesan dan sangat berwarna.

Aku masih mengingatnya dengan baik. Angkatanku dikenal sangat brutal karena kenakalannya. Aku akui, di tahun itulah aku mulai berani berontak. Entah kenapa, aku pun tak tahu. Tapi aku merasa membutuhkan hal itu untuk menjadi manusia yang lengkap. Menjadi manusia sebagaimana kodratnya. Bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia. Pernah aku begitu muaknya dengan aturan. Semakin kuat aturan, semakin kuat pula aku berontak. Entah dari mana aku memiliki pemikiran dan pemahaman seperti itu. Mungkin itu adalah gejolak dari alam bawah sadarku. Gejolak dari seorang remaja yang sedang berusaha menemukan dirinya. Tak ada yang harus disalahkan kecuali diriku sendiri. Jujur aku memang sangat penasaran bagaimana rasanya berontak dan mendapat hukuman.

Hal pahit dan manis, selalu terikat ke dalam kesatuan lengkap yang menjadi elemen penting kehidupan. Aku merasakan bagaimana hidup sendiri tanpa teman yang menemani. Dijauhi, dibedakan, tak ada sanak saudara dan keluarga yang dapat diajak bicara dan mendengarkanku. Aku merasakan itu selama enam tahun berturut-turut. Namun hal manisnya, aku cukup merasa bahagia ketika temanku menganggap bahwa aku ada. Itu sangat cukup. Meski aku bukan sumber tawa, sumber bantuan, atau sumber sandaran. Bahkan mungkin jauh dari kata penting, istimewa, dan berguna, tapi itu sangat cukup. Setiap orang tahu, kehidupan pesantren tak pernah jauh dari hidup bersosial dan berkoloni. Dan selalu ada orang yang tidak diterima dalam sebuah koloni.

Yang paling kuingat adalah ketika aku dan kedua puluh temanku menerbangkan pesawat mimpi yang berisikan cita-cita dan harapan yang ingin kami capai.

Banyak kesan terpatri di dalam hatiku. Yang paling kuingat adalah ketika aku dan kedua puluh temanku menerbangkan pesawat mimpi yang berisikan cita-cita dan harapan yang ingin kami capai. Aku yang ingin memusatkan diri menghafal Al-quran, yang bersyukur karena telah menemukan tempat yang bisa membantu mencapai tujuanku itu. Dan teman-temanku dengan cita-cita dan harapannya masing-masing. Sulit rasanya berpisah dengan mereka yang telah hidup bersamaku selama tiga tahun.

Di tanah ini, aku sangat dihargai karena kemampuan bahasa, mengaji, dan hafalanku. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas hal itu. Sangat bersyukur karena bisa mengarungi jadwal yang begitu padat. Sangat berterima kasih pada setiap guru yang selalu siap sedia mengisi kepadatan itu, dan kepada teman-teman yang bersedia untuk saling mengingatkan pada hal yang tepat dan tidak. Aku tidak bisa melepaskan diriku dari kecanduan atas tanah yang dulu. Tanah Aminul Ummah yang telah menempa diriku menjadi orang yang keren dan hebat.

AUSC

Aku mengemban tanggung jawab yang berat di tahun 2019 dengan menjadi anggota AUSC, Aminul Ummah Student Council. Kalau di sekolah luar biasanya disebut OSIS. Pengalaman itu, jujur saja, membuatku agak trauma. Tapi untung, dalam keadaan dan situasi berbeda, aku masih bisa untuk mencobanya. Menjadi anggota AUSC sungguh suatu hal yang berat. Dengan diri yang belum tertib atas diri sendiri. Belum bertanggung jawab atas diri sendiri, dan belum percaya atas diri sendiri. Dalam keadaan diri yang masih begitu, aku dipercaya untuk menjadi pengurus para santri. Sangat berat. Malah terlalu berat bahkan.

Keegoisan, rasa ingin menang dan benar sendiri, rasa tidak ingin lelah, rasa diri paling memiliki tanggung jawab paling besar, itu merupakan hambatan berorganisasi yang kurasakan. Walau aku merasa gagal dalam berorganisasi, tapi aku tidak pernah merasa menyesal. Aku menganggap hal itu adalah sebuah pelatihan.

Organisasiku merupakan kumpulan orang-orang kreatif, yang mencintai kehematan walau serakah soal perut

Ketika pandemi covid-19 menghantam, aku menyebutnya sebagai penyelamat. Aku pikir, dengan adanya pandemi, aku bisa sedikit melonggarkan tanggung jawabku sebagai anggota AUSC. Aneh juga mengapa aku bisa berpikir begitu. Mungkin karena pada masa itu, aku memang belum benar-benar siap mengemban tanggung jawab sebesar itu. Tapi ternyata aku salah. Pandemi covid-19 bukanlah penyelamat. Ia merupakan waktu persiapan untukku menjadi orang yang lebih siap dan lebih matang dalam menanggung tanggung jawab yang menunggu tahun depan. Apa boleh buat. Ini keputusanku untuk kembali ke sini. Ini pun takdirku untuk menjadi pengurus agar aku bisa menempa diri menjadi orang yang lebih baik.

Sebagai penanggung jawab dari Divisi Kesehatan, aku melakukan apa yang kubisa. Saat itu banyak gejala yang terjadi. Karena ketahanan tubuh para santri terus menurun, akhirnya banyak santri terjangkit virus. Aku pun termasuk yang terjangkit. Hal itu tentu saja sangat membatasi gerakku dalam organisasi. Tahun kemarin merupakan kegagalan, dan aku tak ingin mengulanginya. Maka aku usahakan kerja sebisanya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Menjaga interaksi dengan orang-orang, dan mengisolasi diri di ruang yang telah disiapkan oleh pembina asrama. Aku bersyukur atas hasilnya. Walau hanya seadanya, tapi kegiatan itu berjalan lancar. Aku bangga dengan organisasiku. Organisasiku merupakan kumpulan orang-orang kreatif, yang mencintai kehematan walau serakah soal perut. Ha-ha-ha.

Setelah selesai menjadi pengurus AUSC, aku mulai menatap langkah selanjutnya. Sebentar lagi aku akan menempuh hidup yang lebih pahit. Itu karena aku harus menjalaninya sendiri, tanpa arahan dan cegahan siapa pun. Aku khawatir dan takut pada diri sendiri. Khawatir dan takut tidak bisa mengatur diri atas beratnya, kuatnya, ganasnya, panasnya, dan menggodanya dunia luar.

Pergulatan

Aku akhirnya menempuh posisi paling berat di tahun ajaran 2021/2022. Tahun ini adalah tahap terakhir hidupku di pesantren. Sebagai orang yang telah nyantri selama lima tahun, aku tentu akan dipandang sebagai senior yang harus jadi panduan dan teladan bagi adik-adiknya.

Aku siapa? Aku memang telah nyantri selama lima tahun. Di pesantren ini, aku memang telah ditempa selama itu. Namun itu tidak otomatis menjadikanku orang baik dan teladan yang harus diikuti. Setiap orang memiliki kekokohan iman berbeda. Setiap orang memiliki adaptabillity yang berbeda. Aku adalah aku. Seorang yang selalu mengikuti zaman untuk dapat mengalahkan zaman.

Aku tidak bilang bahwa adat itu usang. Ajaran itu usang, dalil itu usang, atau semua yang ada di masa lalu itu usang.

Aku tidak bilang bahwa adat itu usang. Ajaran itu usang, dalil itu usang, atau semua yang ada di masa lalu itu usang. Aku hanya ingin memanfaatkan apa yang Tuhan limpahkan kepada manusia. Kemajuan adalah kemajuan. Hal niscaya yang tak bisa dihindari sekeras apa pun mencoba. Maka aku harus mengikuti kemajuan. Sebab Tuhan sendiri yang berkehendak mengadakannya. Di zaman ini, banyak hal jadi lebih efektif dan mudah. Saat aku mengikuti kemajuan zaman, itu bukan berarti sebuah pemberontakan atau penyelewengan. Justru, itu adalah adaptasi yang harus dilakukan sapiens untuk bertahan hidup. Untuk meningkatkan keingintahuan dan rasa penasaran supaya punya kualitas hidup yang lebih baik.

Biarkan santri-santri berjalan di atas hal yang mereka ingin tekuni. Jangan biarkan mereka berakhir seperti diriku yang bukan sepenuhnya milikku. Enam tahun! Enam tahun aku melepas diri dan membuang waktuku untuk hal yang tak ingin aku tekuni. Enam tahun aku hanya menjalani kemauan Sang Jadwal. Enam tahun aku hanya bisa mengangguk setuju, mengikuti alur padahal itu bukan alur yang ingin kutempuh di masa yang akan datang. Aku ini manusia. Aku ini hanya manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Aku mengalami krisis kepercayaan diri dan menderita tekanan mental karena terlalu dipadati oleh jadwal. Aku tak ingin diperlakukan khusus atau spesial. Aku hanya ingin diperlakukan secara manusiawi. Aku hanya ingin, seperti halnya kata pepatah, pesantren memanusiakan manusia.

Aku butuh waktu luang untuk bernafas, melamun, dan mengatur sendiri jadwalku. Percayalah bahwa aku bisa mandiri untuk mengatur jadwal hidup sendiri. Jika keadaan tak berubah, dan jadwal masih padat serta berubah semena-mena seperti biasanya, maka jangan aneh dengan pemberontakan. Pemberontakan ada karena dinginnya hubungan dan keringnya pemahaman. Ini hanya tentang komunikasi. Bukan soal menceramahi atau memberi saran dan opsi. Komunikasi harus berjalan dengan saling terbuka. Saling mendengar dan saling memahami. Tidak ada kata perbandingan. Santri tidak dibanding-bandingkan. Tidak ada kata, “Dia lebih baik dari segala sisi daripada kamu!”

Setiap orang memiliki kebaikan dan keburukannya masing-masing. Memiliki kelebihan dan bakatnya sendiri-sendiri, yang kemungkinan tidak bisa dilihat kecuali dengan mencoba berkomunikasi dengan terbuka. Jangan pernah menganggap semua orang sama. Jangan pernah menyamakan semua orang. Kita harus siap menerima apa yang tidak kita tahu dari seseorang. Taruhlah prasangka terhadap orang jauh-jauh. Kalau bisa buanglah segala prasangka. Biar bisa menilai seseorang secara utuh dan objektif. Belajarlah mendengar. Belajarlah mendengar isi hati seseorang. Belajarlah untuk mengerti dan memahami. Belajarlah untuk percaya.

Belajar untuk mendengar dan memahami seseorang itu sangat penting. Karena seseorang sungguh tidak bisa merasakan saat kita terpuruk dan benar-benar jatuh. Paling jauh, mungkin seseorang hanya ditakdirkan untuk bertugas menjadi sandaran atas keluhan dan beban yang dipikul kita. Itu pun tidak menjadikan seseorang otomatis tahu soal betapa beratnya beban dan sulitnya situasi yang dihadapi oleh kita.

Seandainya pesantren hanya menginginkan anak-anak yang baik, saleh, dan taat, lalu apa fungsinya kalau begitu? Bukankah pesantren seharusnya hadir sebagai alternatif dari pendidikan sekolah umum yang ‘tidak bagus’? Orang masuk rumah makan itu ya karena ia lapar. Kalau ada santri yang berontak, atau kelakuannya tak karuan, wajar saja. Namanya juga anak-anak. Di sinilah peran pesantren sesungguhnya. Pesantren harus bisa membuat para santri paham akan hal yang dilakukannya. Berilah pemahaman dengan tulus. Ya, TU-LUS! Bukan hanya ketulusan yang diucapkan oleh mulut saja, tapi ketulusan untuk menerima dirinya yang memang beda dan jauh dari anak yang diharapkan, ataupun jauh beda dengan seorang anak teladan–kalaupun memang ada.

Kalau ada santri berontak dan berbuat salah, tangani dengan hati-hati. Sebab akan fatal akibatnya jika ditangani dengan sembrono. Jika seorang santri ketahuan berbuat salah, nasihatilah dengan sabar dan lemah lembut sesuai anjuran ulama-ulama terdahulu. Perlakukanlah santri secara manusiawi. Cobalah gali sisi lain dari mereka. Tak akan ada asap kalau tak ada api. Seseorang berbuat sesuatu pasti ada alasannya. Jangan terlalu tertuju dan terpaku pada penyimpangan dan pemberontakannya saja. Apalagi sampai mempermalukannya di muka umum, atau bahkan repot-repot menghukumnya. Manusia tak bisa menentukan orang ini baik, saleh, dan taat dengan saklek. Itu bukan urusan kita, melainkan urusan Tuhan.

Sebagai diriku sendiri, sebagai Reni Saputri, aku tidak pernah mengeluh atas hal yang banyak dikeluhkan teman-temanku. Yang paling kutakuti dan kusegani hanyalah soal komunikasi. Aku paham akan keterbatasan fasilitas di sini. Aku paham tekanan dan beban moral yang harus ditanggung oleh para pembina. Aku pun paham dan bisa membayangkan betapa rumitnya masalah hidup yang harus dihadapi para pembina. Perkara kesejahteraan dan kelayakan soal materi dan yang lainnya. Aku tak ingin banyak menuntut. Selama hampir enam tahun di pesantren, aku hanya butuh keterbukaan dan ketulusan seperti yang baru bisa kurasakan akhir-akhir ini.

Aku baru menemukan beberapa pembina yang membuatku tertegun akan keterbukaan dan ketulusannya dalam membimbingku dalam bidang yang ingin kutekuni. Bahkan bisa kukatakan, aku lebih memihak para pembina jenis ini daripada pembina terdahulu. Itu karena aku merasakan keterbukaan yang lebih bebas dan dekat. Sehingga aku menyimpan kepercayaan yang sangat tinggi, dan merasakan ketulusannya untuk menjadikanku sebagai anak yang harus menjalani hidup yang lebih baik. Taat karena takut, bukan itu yang tepat. Tapi taat karena rasa hormat dan rasa sadarlah yang tepat.

Sangat sulit saat aku mencoba membayangkan kehidupan para pembina. Di satu sisi harus mengurus keluarga yang jadi tanggung jawab utama, dan di sisi lain harus bertanggung jawab dalam ruang lingkup pesantren. Sulit dibayangkan ketika para pembina di sini harus tetap bertahan dengan segalanya yang sangat terbatas dan tidak terpenuhi; entah soal gaji, makan, tempat tidur, fasilitas belajar, kebebasan dalam eksistensinya, perbedaan pendapat dan pandangan atas suatu sistem, dan lain-lain. Hal itu pasti sangat sulit. Maka apa pun kekurangan yang ada pada para pembina, itu patut dan wajib dimaklumi.

Semuanya kembali kepada diri masing-masing. Berusaha untuk jujur atas diri sendiri adalah yang lebih baik. Jika diri dipaksa untuk tulus kepada santri, itu hanya akan menjadi bualan belaka. Justru bukan menghasilkan perubahan, melainkan pemberontakan yang lebih rapi dan elite dari sebelumnya. Fasilitator adalah kata yang paling aku hormati. Karena ia selalu menyiapkan apa pun yang ingin aku ketahui dan apa pun yang ingin aku temukan dengan pengetahuan yang masih mengganjal tanpa sebuah praktikum.

“Sudah baca berapa buku sampai kau berhak untuk ditaati dan dihormati?” kata seorang fasilitator.

Sudah sangat jelas. Semua ini hanya butuh pemahaman dan saling mengerti. Begitu pun ketika aku menginjak akhir masa pesantren. Dengan perubahan sistem yang lebih efisien.

Motekar

Satu hal baru yang membuatku tertegun, yaitu program literasi dan Creative Club (CC). Terima kasih telah membuatku membuka pikiran dan pengetahuan dengan cara yang lebih luas dan bebas. Aku bukan tipe anak kutu buku. Bahkan sangat jauh dari kata kutu buku. Namun dengan diadakannya program literasi, aku menjadi paham dan yakin bahwa membaca adalah hal yang sangat penting agar aku memiliki fondasi kuat dan pemikiran kritis untuk mengkaji diri serta sekitar dan bahkan dunia. Begitu pula dengan adanya Creative Club. Berkat CC aku baru tahu bahwa aku ternyata memiliki kekreatifan dalam dunia kesenian. Aku menjadi anak yang kreatif dalam hal seni. Entah dalam menulis, gambar, produk, musik, dan lain-lain.

Aku merasa rugi dan bersyukur. Rugi aku tidak pernah memandang bahwa buku adalah kunci untuk menjadi orang yang aku harapkan–itu karena dulu membaca novel adalah perbuatan terlarang yang melanggar hukum¬–dan bersyukur karena aku tidak terlampau telat. Meskipun aku hanya memiliki secuil harapan dan kesempatan, tapi itu sangat membuatku merasa beruntung dan bersyukur.

Berawal dari novel Okei yang aku baca hanya dalam waktu tiga hari. Kemudian aku melanjutkannya dengan membaca buku wajib, buku-buku fantasi, esai, cerita pendek, kumpulan puisi, novel remaja dan motivasi. Aku mendapatkan banyak hal dari membaca. Aku begitu bersemangat saat ditantang untuk membaca dua buku karya para filsuf berpengaruh dunia seperti Erich Fromm oleh fasilitatorku. Fasilitatorku yang paling kuhormati dan kusyukuri. Aku bersyukur bisa bertemu dengan orang sepertinya. Orang yang bisa menuntunku ke jalan yang paling rasional di antara semua jalan, agar aku bisa menghadapi bengisnya kenyataan.

Kemudian, saat aku baru menyadari bahwa aku memiliki potensi dalam seni gambar, aku merasa seperti, “Kenapa baru sekarang?”

Kemudian, saat aku baru menyadari bahwa aku memiliki potensi dalam seni gambar, aku merasa seperti, “Kenapa baru sekarang?” Sungguh sayang aku tak tahu potensiku sejak lima tahun yang lalu. Untungnya sistem ini membuatku tersadar dan kembali untuk menjadi diriku sepenuhnya. Menjadi diri yang selalu ingin bermain dengan fantasi, warna, salin-ulang momen, bahkan menggambar hal sesuai dengan keinginan dan kebebasan alur pikirku.

Tahun terakhirku di pesantren dengan corak baru ini, aku sangat menikmatinya. Aku sangat nyaman dengan sistem baru ini. I’m in love with this program. Sistem modern dan sangat mengikuti kemajuan zaman. Membuat santri kenal akan perkembangan zaman dan teknologi serta kemajuan-kemajuan yang patut untuk digunakan. Sistem ini benar-benar sangat membuka banyak potensi santri. Bukan hanya potensi, tapi juga pengetahuan dan jendela wawasan yang semakin luas ‘hanya’ dengan alur membaca yang menekankan untuk bercerita dan beropini. Aku putuskan, aku menyukai sistem ini. Sistem yang sangat menyiapkan santri untuk menjadi siap, berwawasan, dan pastinya keren untuk tampil ke dunia luar.

Hambatan yang timbul pada masa ini hanyalah soal pemahaman. Jika saja tidak ada pertikaian, miss komunikasi, perbedaan pendapat, dan penganut dua sistem yang berbeda, aku yakin tahun ini merupakan progres menuju suatu kemajuan. Sayang sekali. Banyak kegaduhan dari atas kepala. Tepatnya kabel penghubung ke semua santri ternyata sangat berbelit-belit, kusut, dan bahkan banyak yang rusak. Hanya karena kerusakan kabel-kabel penghubung tersebut, menghasilkan banyak korban bahkan sampah tidak berguna. Perlu diketahui bahwa kerusakan kabel-kabel penghubung tersebut sangat fatal. Jika hal itu terus dibiarkan tidak diperbaiki, seluruh elemen pesantren hanya akan berantakan dan tak akan pernah nyambung.

Dunia selalu bergerak maju, dan seperti yang kita tahu, sistem akan selalu diperbaharui. Dengan perubahan kita mendapatkan kemajuan, dan tanpa perubahan, kita hanya akan berada di titik pasif dan tidak ke mana-mana. Sistem baru memang akan membuat kita kehilangan hal di masa lalu. Tapi dengan sistem baru, kita akan mendapatkan hal baru dan lebih baik yang pastinya selaras dengan kemajuan zaman.

Apa yang harus aku katakan? Semuanya sangat rumit. Serumit keadaan saat ini. Itu saja. Tak bisa kusalahkan dan tak bisa kubenarkan. Apa pun yang terjadi, apa pun sistemnya, aku hanya akan terus hidup di dalam sistem. Karena aku bagian dari sistem. Mungkin ini memang suatu progres, apa pun yang akan atau telah terjadi, itu adalah takdir atas pilihan kita sendiri. Ikatan tak terjalin dengan cepat, dan semoga ikatan di antara kabel-kabel ini segera saling menyambung dan bekerja sama. Karena jika satu rusak, kerusakannya akan merembet ke kabel-kabel lainnya, dan sistem tidak akan berjalan.

Terakhir

Kusematkan ucapan terima kasihku kepada Sabiq Gidafian Hafidz, S.Fil. Ia adalah fasilitator yang telah membuka wawasanku, dan telah menuntunku kepada jalan yang paling rasional, yang paling logis, dan paling masuk akal di antara semua jalan. Karena dorongan, saran, dan bimbingan ke jalan yang akan aku tekuni atas potensiku. Terima kasih telah menjadi bagian dari pembangunan jiwa yang akan keren (mungkin). Akan kuusahakan hal itu terjadi. Karena kesuksesan yang akan kuraih nanti adalah sebuah bayaran dan hasil atas kepercayaanmu.

Kusematkan kembali rasa terima kasihku kepada Harik Giarian Hafidz, S.Fil. Atas dukungan paling terdepan akan potensi yang ingin aku kembangkan. Terima kasih telah memberiku banyak warna dan kesempatan untuk memainkannya. Entah harus bagaimana aku membalas semua kemurahan dan kedermawanannya. Aku tak bisa menjanjikan masa depanku, tapi yang pasti, aku akan mengingat banyak hal yang telah diberikannya. Terima kasih telah membuatku percaya pada potensi dan kreativitas yang aku punya. Terima kasih selalu menghargai karya seni ataupun hal-hal yang menurutku tidak terlalu berguna dan berharga. Terima kasih karena selalu mengerti pikiran dan konsep yang kadang sangat berbelit di otakku. Terima kasih atas semuanya.

Aku tak bisa menjanjikan masa depanku, tapi yang pasti, aku akan mengingat banyak hal yang telah diberikan

Dan pastinya, kusematkan terima kasih pula kepada semua pembina, guru, santri, dan warga Aminul Ummah yang bersedia menerima kehadiran seorang Reni Saputri. Ia yang jauh dari kata baik dan sempurna. Terima kasih telah mengurusku sejak awal; saat aku hanya dapat berpikir bahwa apa yang dibilang orang salah adalah salah, dan apa yang dibilang orang benar adalah benar. Sampai aku dapat berpikir bahwa apa yang orang pikir salah adalah aku pikir benar, dan apa yang dipikir orang benar adalah aku pikir salah. Maaf aku ucapkan karena tidak dapat membalas, menghargai, dan menghormati dengan layak.

Apa pun yang terjadi selama enam tahun ini, adalah suatu keputusan dan tindakanku sendiri. Semua kesalahan dan kekurangan hanya datang dariku. Karena semua kebenaran dan kelebihan hanya milik Allah SWT. Terima kasih telah mengembangkan dan membimbing diriku. Aku adalah sebuah kegagalan bagi diriku, tapi bukan kegagalan bagi orang-orang yang bertaut dalam tali kehidupanku.

Penulis Reni Saputri | Alumni Angkatan III | Penyunting Ridwan Malik

By Reni Saputri

D'amour Mou Castivaz

Leave a Reply