Pengantar
Ketika keledai tidak mau tersandung dua kali pada batu yang sama, maka manusia sering mau tersandung berulangkali pada batu yang sama, ada apa dengan pernyataan ini ?, Apakah dengan demikian hal ini berarti manusia lebih bodoh dari keledai ?, tidak, justeru sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa manusia lebih pandai dari keledai. Manusia hidup tidak sebatas insting atau nalurinya saja, ia (manusia) mempunyai akal, perasaan, kemauan dan kemampuan-kemampuan yang lainnya. Jika kemudian (manusia) mau berulangkali tersandung pada batu yang sama, manusia ingin mengetahui dan meneliti mengapa sampai tersandung dan kemudian serta merta menyusun perbaikan-perbaikan dan mengembangkan kehidupan. Inilah perubahan, sebuah proses kegiatan belajar mengajar dan bahkan ini adalah sejarah (manusia lampau, kini dan manusia yang akan datang).
Ketika masa manusia yang akan datang (sering juga diumpamakan sebagai keadaan negeri anatah berantah, karena sulit terjamah) termimpikan sebagai masyarakat madani : yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera yang didukung oleh manusianya yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum/lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin dan segudang nilai-nilai impian lainnya, sering sekali nilai-nilai itu begitu jauh, seolah-olah benar hanya ada di negeri dongeng/mimpi (utopis), namun seringkali pula muncul kesadaran-kesadaran untuk meraihnya.
Empirisme-Tabularasa (Jhon Locke 1632-1704), berkembang di Eropa Timur dan hanya menghasilkan masyarakat berlibido tinggi dengan klimaknya beranggapan atau memberi kesan “Tuhan telah mati”. Nativisme (Arthur Schopenhauer 1768-1860), berkembang di Eropa Barat dan benua Anerika sekedar menampilkan keterhenyakan “Renesan” (sunda) yang notabene merupakan cikal bakal tercabik-cabiknya nilai-nilai kemanusiaan. Konvergensi (William Stern 1871-1939), seolah hanya mempertegas anggapan atau kesan bahwa “manusiapun telah mati”. Sejarah panjang pencarian peradaban manusia hanya mampu melahirkan komunitas adidaya nan sombong dengan ilmu pengetahuan dan teknologi canggihnya yang tidak lebih dari homo homini lupus neo milenium.
Makna perubahan
Bahwa manusia yang sering tersandung pada batu yang sama sebagai ikhtiar untuk meneliti dan menemukan kiat-kiat perbaikan kehidupannya telah mengalami kesalahan fatal, manusia malah terpuruk dan masuk pada pepapatah orang Perancis “semakin pintar manusia, semakin jelas kebinatangannya”. Inilah kelemahan yang sangat nampak, jika kiat-kiat pencarian peradaban hanya bergantung kepada kekuatan “antroposentris” (hasil pemikiran manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawian), Ia (manusia) tidak lebih dari keledai yang tidak mau tersandung dua kali pada batu yang sama, sebab, ia (keledai) mampu dengan sempurna (instinktif) menyesuaikan diri dengan alamnya. Ia (antroposentris) adalah keledai yang tidak punya masa lampau dan tidak punya masa yang akan datang. Keduniawian bagi manusia hanyalah kekinian bagi keledai.
Kenyataan bahwa manusia memiliki masa lampau (pra dunia) dan masa yang akan datang (pasca dunia) adalah merupakan dua wilayah yang jelas sangat diluar jangkaun manusia antroposentris, artinya bahwa keberadaan dua wilayah ini haruslah datang dari dari suatu kekuatan diluar manusia antroposentris, inilah makna kehidupan manusia seutuhnya, manusia theosentris. Maka dengan otomatis kiat-kiat perubahan, perbaikan dan perkembangannyapun haruslah seurut ruang dan waktu (pra dunia, dunia dan pasca dunia) yang datang dan bergerak menuju kepada keberdayaan yang mutlaq penggenggam manusia.
Inti potensi manusia yang lintas dimensi hanyalah “akhlaq”, sebagaimana yang telah diikrarkan oleh seorang manusia (atas ke-Agungan-Nya) telah di-isro dan di-mirajkan, yaitu Nabi Muhammad SAW (manusia lintas dimensi) : ” Sesungguhnya aku diutus kedunia ini untuk menyempurnakan akhlaq”. Subhanalloh !, sungguh menakjubkan, dalam pernyataan ini menunjukkan masa lampau (pra dunia) sebagai posisi awal manusia telah memiliki nilai-nilai dasar kemanusiaan (moral/akhlaq) ” Sungguh telah kami jadikan manusia dalam kerangka penciptaan yang baik – At-Tin. Ia (manusia) adalah masterpiece-Nya Dzat Maha Mutlaq (Allah SWT), Ia (manusia) adalah makhluq yang ber (akhlaq), ia (manusia) yang hidup, memiliki ilmu, memiliki kekuasaan, memiliki irodat, yang bisa berkomunikasi, bisa mendengar, bisa melihat, bisa mengatur/mengurus dan yang memiliki kebijaksanaan dimana semua sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat kesempurnaan Dzat Maha Mutlaq.
Maka ketiak manusia lahir ke dunia “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (berakhlaq), maka bapak/ibunyalah (antroposentris) yang menjadikan nasrani, yahudi atau majusi” harus diasuh, dididik dan diajarkan untuk selalu memiliki kecenderungan-kecenderungan bertindak di suatu wilayah yang menempatkan dirinya diantara ketakberdayaan (makhluq) dan keharusan tunduk, taat tanpa syarat (abid) kepada keberdayaan Sang Mutlaq (Kholq) untuk diikutinya (taqwa), inilah inti perubahan dasar manusia.
Selanjutnya, At-Tin pun menempatkan manusia kepada :“terus Kami kembalikan ia (manusia) kepada derajat yang paling hina”. Subhanalloh !, Tsumma na’udzubillahi min dzalika. Sempurnalah kesombongan manusia yang mau selalu tersandung berulangkali pada batu yang sama, agar ia (manusia) bisa meneliti dan memperbaiki kehidupannya, jika manusia itu sendiri tidak memiliki potensi yang dihasilkan dari kedudukan manusia atas alam raya beserta penomenanya (sunatulloh-fitroh) dan bahkan kedudukan manusia atas Penciptanya.
Kekinian (dunia) bukanlah terminal akhir dari suatu aktifitas, kekinian (dunia) adalah sinyal untuk memerdekakan akal, perasaan, kemauan dan kemampuan-kemampuan lain manusia untuk menangkap penomena alam (iqro) dan dibawa kepada kekuatan nilai dasar kemanusiaan (fi ahsani taqwim-fitrah-akhlaq) sehingga masuk sebagai pernyataan :” Ya Tuhan Kami, tidaklah sia-sia apa-apa yang Engkau ciptakan, Maha Suci Engkau dan jauhkanlah kami dari api neraka”.
Penomena ini, jelas merupakan laboratorium kesadaran diri sebagai makhluq (tak berdaya) sekaligus mendapat peran untuk menjadi mandataris Sang Maha Berdaya (Kholiq) didimensi kekinian (dunia)
Maka, ketika posisi mandataris diproklamasikan, manusia dituntut memiliki kecenderungan-kecenderungan bertindak yang mampu mengisi ruang dan waktu (Demi waktu, sungguh manusia ada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan yang saling menasihati dalam haq dan shobar”). Inilah indikator dari perubahan sebagai produk dari keseringan tersandung pada batu yang sama.
Penutup
1. Manusia adalah makhluq yang memiliki masa lampau, kini dan masa yang akan datang, manusia adalah pembuat sekaligus hidup untuk dan dalam sejarah (“Robbana atina fiddunya hasanah wa filakhiroti hasanah wakina ‘adzabannar”)
2. Dalam perjalanannya sebagai upaya perubahan, manusia membutuhkan kekuatan dzikir : ridho pada qodo dan qodar sebagai alat untuk mengantisipasi keterbatasan ruang dan waktu (ketergesaan), Sabar sebagai alat untuk membaca utuh bahwa setiap peristiwa masih membutuhkan peristiwa pelengkap lainnya, Tawakal sebagai alat untuk mau mendobrak nilai-nilai kelembaman diri, Tadorru’ sebagai alat untuk mencari hikmah dibalik peristiwa yang menimpa, Iftiqor sebagai alat untuk memompa harapan, Dzulli sebagai alat untuk selalu bertobat, dan Khudlu’ sebagai alat untuk tetap mendudukkan manusia sebagai manusia. Yang pada prosesnya kekuatan-kekuatan ini diimbangi dengan kekuatan fikir sebagai alat untuk menumbuh kembangkan institusi ke-khalifah-an di muka bumi serta disempurnakan dengan kecenderungan-kecenderungan bertindak dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai keseimbangan semesta raya melalui pengisian ruang dan waktu dalam wujud cipta, karya dan karsa
3. Perubahan berkonsentrasi kepada perubahan suatu komunitas/kaum lemah menjadi kuat, sehingga indikator haq perubahan adalah pemihakan kepada kaum tertindas :”Dan hendaklah kalian takut meninggalkan generasi yang lemah, maka hendaklah takut/taqwa kepada Allah SWT dan hendaklah berkomunikasi dengan mereka (kaum yang lemah) dengan perkataan yang sesuai dengan ketentuan Allah atas hak mereka ” (An-Nisa :9)