Seni tulis itu seperti sedang membicarakan pena runcing yang digerakkan otak melalui tangan untuk mendaratkan dan menggesekkan mata pena pada hamparan kertas kosong. Hasilnya adalah kata-kata indah yang bisa dibaca orang-orang. Selain butuh keterampilan yang harus terus diasah biar tajam, untuk menulis, diperlukan juga imajinasi dan penghayatan yang mendalam.
Ada banyak macam hasil dari seni tulis. Di antaranya ada yang berbentuk novel, cerpen, atau puisi. Tentu ketiga bentuk tulisan tersebut berbeda-beda. Misalnya novel dan cerpen. Novel adalah bentuk tulisan yang rasanya tidak bisa dibaca dengan sekali duduk. Bisa dilihat oleh kita semua, kebanyakan novel itu tebal-tebal halamannya. Dari ratusan dan bahkan bisa sampai ribuan halaman. Mengapa bisa begitu? Karena novel itu seperti menyuruh kita untuk menonton sebuah film yang bukan hanya dilihat oleh mata saja, tapi dibarengi dengan otak yang berimajinasi. Sehingga bisa membuat suatu gambaran utuh dari seluruh cerita yang diceritakan. Buktinya, banyak novel-novel yang diadaptasi menjadi film. Seperti novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, atau Of Mice and Men karangan John Steinbeck.
Kalau novel tidak bisa dibaca dengan sekali duduk, sebaliknya, sebuah cerpen sangat bisa dibaca hanya dengan sekali duduk. Karena biasanya, cerpen itu alur ceritanya tidak terlalu bertele-tele. Halamannya biasanya hanya satuan atau belasan angka saja. Lain cerpen lain lagi puisi. Puisi merupakan bentuk tulisan yang sangat butuh penghayatan mendalam. Penulisannya sering menggunakan majas dan banyak meggunakan kata-kata kiasan. Fungsi dari kata-kata itu adalah untuk menggambarkan perasan atau keadaan seseorang.
Aku pernah membaca buku KAMU; Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya, karangan Sabda Armandio. Di dalam bukunya itu ia sekilas menceritakan seorang petani yang ingin menjadi penyair. Si petani sering menulis sajak epik, tapi anehnya ia tak kunjung terkenal. Ada satu hal mengapa ia dikatakan gagal untuk jadi seorang penyair. Itu karena ia tidak pernah menjelajah untuk menelisik lebih jauh tentang bagaimana keadaan dan berbagai hiruk-pikuk dunia. Ia hanya menulis seputar keadaan dan kebiasaan di lingkungan sekitarnya saja. Padahal, untuk jadi seorang penulis dan apalagi penyair, menjelajahi dunia itu sangat penting. Biar pengetahuan dan pengalaman kita jadi semakin melimpah.
Para Penulis
Tentu banyak penulis novel bagus dan terkenal di Indonesia. Bahkan, di antara beberapa penulis Indonesia ada yang sampai terkenal di level internasional dan mendapat banyak penghargaan. Karya-karyanya pun banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa yang ada di dunia. Contohnya Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan. Malah untuk Pramoedya Ananta Toer, sampai saat ini, beliau masih menjadi satu-satunya penulis dari Indonesia yang pernah masuk ke dalam nominasi Nobel Kesusastraan. Keren, kan?
Selain Mbah Pram dan Kang Eka, inilah beberapa penulis novel terkenal di Indonesia. Di antaranya ada Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, Dee Lestari, Tere Liye, Nh. Dini, Andrea Hirata, Ahmad Tohari, dan Leila S. Chudori. Sementara di antara para penulis cerpen terkenal di Indonesia, ada Hamsad Rangkuti, A.S. Laksana, Feby Indirani, Danarto, A.A. Navis, Ifa Avianty, dan Putu Wijaya. Sedangkan untuk para penulis puisi atau penyair, tentu ada nama legendaris seperti Chairil Anwar dan Asrul Sani. Ada juga Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi Wiji Muthari, Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.
Kenapa kira-kira para penulis tersebut bisa terkenal? Pertama, kunci utamanya adalah dengan banyak membaca. Aku yakin para penulis yang kusebutkan tadi punya banyak bacaan di rumahnya. Tentunya buku yang dibaca pun harus bagus dan berkualitas. Kedua, yaitu dengan menjelajahi dunia. Menjelajahi dunia luar itu bukan hanya melalui traveling saja, lho. Tapi kita juga bisa mencari informasi-informasi penting di buku-buku. Atau melalui internet juga bisa. Dengan keadaan zaman yang sudah canggih teknologinya, kita sudah tidak perlu repot-repot. Cukup dengan sentuhan jari saja, kita akan bisa mendapat apa pun informasi yang dibutuhkan.
Eh, tapi jangan senang dulu. Nyatanya menjadi terkenal itu tidak mudah. Di antara banyaknya hal yang tidak enak, hal paling penting yang harus para penulis waspadai adalah perkara plagiasi. Jika itu terjadi, gawat! Bisa-bisa si penulis jadi miskin karena karyanya banyak dibajak orang. Para penulis yang karyanya pernah dibajak pasti merasa marah dan kecewa. Mereka pasti tidak terima jika orang lain membajak karyanya begitu saja tanpa memikirkan orang yang telah membuatnya. Janganlah sekali-kali berani membajak karya orang, karena bisa-bisa kenda denda dan masuk penjara. Hargailah para penulis dengan hanya membeli buku aslinya.
Maksud
Setiap dari masing-masing penulis pasti punya maksud atau tujuan tertentu mengapa ia menulis. Ada seorang penulis yang menulis karena ingin mencurahkan pikirannya. Atau ada juga mungkin yang menulis untuk hanya sekadar bersenang-senang saja. Dan tak perlu berdebat tentang alasan seseorang menulis. Mau apa pun alasannya, menulis itu bebas-bebas saja.
Ada yang pernah membaca novel Sabda Armandio yang berjudul KAMU; Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya? Jika belum, akan aku bocorkan sedikit. Di dalam novelnya itu, Sabda Armandio menceritakan satu tokoh bernama Kamu. Suatu waktu, Kamu ingin menjadi pengarang. Alasannya sederhana saja. Supaya ia bisa memetakan perasaannya ke dalam tulisan.
Aku sependapat dengannya. Memang benar, bahwa setiap apa yang ditulis adalah gambaran dari pikiran atau perasaan kita. Bahkan cara menulis pun ternyata sangat berhubungan dengan sifat kita. Kata kakak kelasku, tulisan tangan bisa menunjukkan sifat atau perasaan seseorang. Lalu kakak kelasku menunjuk tulisan tangan temanku yang ada di papan tulis. Ia menyebut temanku sedang marah dan kesal karena temanku menulis kalimat dengan huruf besar-besar. Ternyata setelah direnungkan oleh temanku, apa yang dikatakan kakak kelasku itu memang benar.
Selain itu, kakak kelasku juga membahas mengenai seseorang yang menulis huruf ‘i’ tanpa disertai titik di atasnya. Orang seperti itu adalah seorang pelupa, katanya. Setelah mendengar hal itu, aku putar otakku kembali. Mungkin maksud dari pelupa itu adalah bahwa orang itu lupa meletakkan titik ‘.’ di atas huruf ‘i’. Entah itu hanya cocokologi atau tidak, tapi kupikir masuk akal juga.
Tulisan ternyata juga bisa menentukan masa depan. Apakah nantinya kita akan diterima kerja atau tidak, misalnya. Guruku pernah berkata, ada seseorang yang sedang melamar pekerjaan. Atasannya lalu menilai si pelamar melalui tulisannya. Dengan begitu, si atasan ingin tahu apakah si pelamar mempunyai sifat jujur dan rendah hati atau tidak.
Terakhir, jika kita ingin menjadi seorang penulis, maka rajin-rajinlah menabung ilmu pengetahuan. Tentunya ilmu pengetahuan adalah hal yang paling penting dalam menulis. Kalau tak punya pengetahuan sedikit pun, apa yang akan kita tulis? Paling kalaupun bisa, akhirnya hanya akan buntu di tengah jalan. Ilmu pengetahuan itulah jembatan yang akan menjadi pengantar bagi pikiran kita agar menjadi suatu tulisan. Tapi, setiap pengetahuan itu perlu dicerna dan jangan ditelan mentah-mentah. Itu supaya kita bisa aman dari segala pemikiran-pemikiran yang mungkin bisa membuat kita melenceng.
Presensi Saniya Kautsar | Tingkat III | Penyunting Ajid Fuad Muzaki