Multi Talent

Multi, berarti banyak. Talent berarti talenta / kemampuan. Bisa diartikan sebagai orang yang memiliki banyak kemampuan dalam melakukan segala sesuatu. Semua orang seusiaku, termasuk aku yang dulu, pernah ingin menjadi orang yang multi talent. Karena katanya orang multi talent itu adalah orang yang dianggap ‘wow’ karena segala bisa. Tapi apakah dianggap ‘wow’ itu membahagiakan? Atau malah merepotkan? Segelintir orang mengatakan “ya”, membahagiakan. Lalu bagaimana orang yang kehilangan talentanya sebelum dianggap ‘wow’? menyakitkan, bukan?

Multi talent itu bisa membahagiakan, dan bisa juga merepotkan. Bisa membahagiakan karena, ya, kita bisa disanjung-sanjung oleh orang lain ( siapa coba yang gak mau disanjung ), kita juga bisa menganggap rendah orang lain “Gue bisa banyak hal, lo nggak”. Tapi multi talent bisa merepotkan juga, yaitu ketika dalam proses mencari jati diri, “Sebenarnya apa, sih, fokusku?” dan akan sering memunculkan pertanyaan “Apakah keahlianku yang banyak dapat menjadikanku seorang professor?” belum tentu, kan?

Membicarakan fokus, enak, ya menjadi orang fokus? Orang yang fokus cenderung bisa mencapai tujuan hidupnya, dan bisa memaknai setiap apa-apa yang ia lakuakan. Orang yang fokus tidak akan culang-cileung ke mana-mana. Ia akan menatap terus lurus ke depan. Orang fokus itu tidak multi talent. Namun ketika ia memiliki cita-cita menjadi seorang ahli kedokteran, maka ia akan menjadi ahli kedokteran. Orang yang multi talent belum tentu bisa mencapai apa-apa yang dicita-citakannya. Belum lagi memilih cita-cita apa yang cocok untuk dirinya, karena ia segala bisa. Beda, ya, antara orang yang segala bisa dengan orang yang ahli. Kalau segala bisa, ya, cuman sebatas bisa saja meskipun segala. Tapi kalau ahli berarti ia sangatlah mendalami sesuatu itu, dan orang yang ahli bisa menjadikan dirinya seorang bla-bla-bla. Orang multi talent belum tentu bisa seperti itu.

Mungkin sebenarnya hidup itu tidak menuntut kita untuk mengetahui segalanya. Seperti yang disebutkan di dalam buku Dunia Maya, Jostein Gaarder. Di dalamnya ada dua percakapan antara manusia dan seekor tokek. Begini katanya “Tentu saja. Tetapi, aku tidak perlu mengetahui segalanya tentang bagaimana rumah itu berfungsi. Aku tidak perlu tahu letak semua sendok sup dan panci, tempat gunting rumput dan seprai anak  di sekolah atau apa yang disajikan oleh ayah dan ibu kepada tamu mereka pada ulang tahun pernikahan perak mereka tahun lalu. Memang menyenangkan jika sang tuan rumah menunjukkan keadaan rumahnya sedikit. Aku tidak menyepelekan ramah tamah seperti itu, tetapi sudah keterlaluan jika sang tuan rumah menjelaskan segala sesuatu tentang rumah itu, dari bawah tanah hingga loteng, padahal engkau hanya datang untuk minum kopi” ( hal. 161-162 ). Hal ini sama halnya dengan cara kebanyakan guru multi talent mengajar. Guru multi talent berperan sebagai tuan rumahnya, sedangkan para murid berperan sebagai tamunya. Begitulah ibaratnya jika dikaitkan dengan novel Dunia Maya, Jostein Gaarder. Sama halnya juga ketika kita dating ke Bumi, di waktu yang singkat ini. Apakah kita dituntut harus mengetahui segala hal di alam semesta ini. Misalnya kita harus tahu segala hal mualai dari bawah tanah hingga ke luar angkasa? Ataukah kita harus melaksanakan tujuan sebenarnya kita datang ke dunia? Pada akhirnya kita semua akan memaknai tujuan secara masing-masing.

Aku pernah diwawancarai oleh ahli berita. Pokoknya nama bapaknya Prabowo bla-bla-bla, aku lupa lagi. Di tengh-tengah obrolan, ia bertanya padaku “Ooh.. kalau gitu, kamu mau, gak jadi multi talent?”. Dan kujawab “Enggak”, secara spontan. “Kenapa?” tanyanya “Capek, ah..” jawabku. Sebenarnya sedari kelas 1 SMA, aku sedah capek dengan yang namanya multi talent. Namun, ibuku seolah-olah menuntutku untuk menjadi seorang multi talent. Ia bilang padaku bahwa aku harus mempertahankan rankingku di sekolah. Dan sewaktu kelas 3 SMP aku pernah tidak mendapat ranking sama sekali (karena hanya ada juara umum di setiap kelasnya ). Dan sebelumnya aku ranking 2. Ibuku merasa kecewa dengan keadaanku. Padahal, kan manusia itu sifatnya dinamis, bisa berubah-ubah. Seiring berjalannya waktu, aku berpikir : sebenarnya untuk apa, sih, ranking itu? Aku merasa bahwa ranking itu diperalat untuk mengelompokkan mana orang yang pintar dan mana orang yang bodoh. Jika di antara orang-orang itu sudah terkelompokkan, maka akan muncul rasa enggan bagi si bodoh untuk berbaur dengan si pintar.

Soal kerjasama antara si bodoh dan si pintar. Hal itu akan sangat berpengaruh besar ketika kita berada dalam dunia pekerjaan / dunia bisnis. Survei membuktikan bahwa rata-rata orang yang meraih ranking 1, 2, dan 3 itu akan menjadi karyawan di masa depan. Sedangkan orang yang ranking 4 ke bawah akan menjadi bossnya. Kok bisa begitu, ya? Nah, maka ketika golongan orang yang ranking 1, 2, 3 ingin menawarkan bantuannya untuk mengembangkan bisnis orang yang ranking 4 ke bawah, maka si boss itu akan merasa minderdan tidak mau untuk diajak kerjasama dengannya. Karena merasa dirinya kurang dari si pintar. Padahal jika golongan 1 ( karyawan ) tadi dan golongan 2 ( boss ) berkolaborasi dalam suatu bisnis maka mungkin bisa jadi pangkat golongan 2 akan meningkat dengan pesat berkat bantuan golongan 1 yang pandai dalam menganalisis masalah. Pada akhirnya, semua ini terjadi karena pengaruh dari doktrin yang melekat pada kurikulum pendidikan sebelumnya yang bukanlah kurikulum merdeka.

Berbicara tentang kurikulum. Kurikulum itu gak ada ada yang buruk namun hanya perlu di update agar menjadi lebih baik. Dulu, dan mungkin bahkan sampai sekarang kurikulum pendiidkan mengadakan sistem ranking kelas. Secara tidak sadar, dan banyak sekali yang tidak menyadari bahwa sistem ranking itu menuntut kita untuk menjadi seorang multi talent. Kurikulum ini bertolak belakang dengan kurikulum merdeka. Menurutku, kurikulum merdeka itu ingin merangkul semua murid agar “Ayo kita belajar bareng-bareng”. Jadi kita semua bisa fokus pada keahlian yang kita minati masing-masing. Di dunia ini ada banyak manusia, maka dari itu mereka bisa saling melengkapi satu sama lain. Beda halnya dengan seorang multi talent. Multi talent itu, kan segala bisa, maka ia sering merasa tidak membutuhkan siapapun lagi di dunia ini.

Sewaktu aku SD dan SMP dulu, aku sering dianggap sebagai multi talent oleh teman-temanku. Banyak yang iri padaku karena aku multi talent. Dan dengan bodohnya mereka tidak menyadari bahwa aku juga sering merasa iri pada teman laki-lakiku yang cenderung tidak memperlihatkan kepintarannya dan memilih bersikap seolah-olah ia terlihat bodoh.

Mengapa orang-orang menganggapku multi talent? Apakah karena aku sering dapat ranking kelas? Padahal aku sama sekali tidak menganggap bahwa diriku multi talent. Karena ketika di sekolah, aku tidak belajar Matematika dengan sungguh-sungguh, mempelajari IPA tidak serius, pelajaran IPS apalagi, pelajaran PPKN bikin puyeng, dan pelajaran Sejarah membuatku bosan. Tapi mengapa guru memilihku menjadi ranking kelas? Dan hal itu memberatkan diriku. Karena orang-orang jadinya menganggap bahwa diriku itu multi talenta. Malah aku sering berpikir bahwa mengapa orang-orang menganggapku multi talent? Padahal aku tidak sepintar yang mereka kira. Aku takut ketika suatu saat aku sedang berada dalam kodisi sedang tidak mampu, dan orang-orang yang menganggapku multi talent akan berkata seperti ini “Katanya pintar!!! Kok, begitu aja gak bias, sih?”

Jadi solusi agar populasi multi talent berkurang adalah dengan menerapkan kurikulum Merdeka. Jadi kita bias mengulang dari awal lagi, memperbaiki dari awal lagi setelah banyak kerusakan yang terjadi. Ya, meskipun kebanyakan para guru sulit untuk diajak bernegosiasi dan tidak terima sepenuhnya  atas kurikulum Merdeka. Karena mungkin, mereka takut jika mereka tidak akan dihormati lagi oleh muridnya setelah diterapkannya kurikulum Merdeka. Nilai plus dari kurikulum Merdeka adalah dapat membuat murid berpotensi menjadi murid yang mandiri. Yaitu mandiri dalam mencari materi sendiri, mencari jawaban dari berbagai pertanyaannya sendiri, dan jadinya mereka tidak harus disuapi terus-menerus. Karena dalam peran kurikulum Merdeka, status Guru sudah tidak terlalu importan untuk menjadi tumpuan utama bagi kebutuhan ilmu pengetahuan murid.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply