Napak Tilas Agama Ki Sunda

Wawan Hernawan

Staf Pengajar Fakultas Ushukluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

A. Pendahuluan: Terma Sunda

Terma Sunda atau Tatar Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian pu;au Jawa disebut pula Jawa Barat. Dewasa ini, ia telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia meliputi; pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi pemerintahan dan sosial.[1] Juga telah menjadi objek kajian dunia ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang membahas tentang kebudayaan Sunda dan daerah Jawa Barat.[2]  

Terdapat informasi, nama Sunda telah dikenal sejak abad ke-11 M., atau mungkin sebelumnya. Pendapat ini berdasar kepada prasasti yang ditemukan di daerah Cibadak, Kabupaten Daerah Tingkat II  Sukabumi. Dalam prasasti itu –meskipun tidak dijelaskan secara rinci tentang kapan mulai berdirinya kerajaan di wilayah tersebut– dicatat bahwa ia dibuat pada tahun 925 Saka (sekitar 1030 M.), atas nama Sri Jaya Bhupati Raja Sunda.[3]Menurut Pleyte, petunjuk tentang waktu berdirinya Kerajaan Sunda terdapat pada sumber sekunder berupa sebuah naskah  berbahasa Sunda kuno.[4].[5] Dalam naskah itu diuraikan, bahwa kerajaan Sunda didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (atau ada yang menyebutnya, Tarusbaja) yang memerintah antara tahun 591-645 Saka atau 669/670-723/724 M. Kuat dugaan, ia adalah penerus raja-raja Tarumanagara(terletak di sekita Kabupaten Daerah Tingkat II Karawang sekarang). [6]

Jika temuan Pleyte itu dianggap mewakili sejarah sebagaimana adanya, dapat dikatakan, kerajaan Sunda berdiri pada akhir tahun ke-7 M., atau awal abad ke-8 M. Maka istilah Sunda pun telah mulai digunakan sebagai nama kerajaan sejak waktu itu.

Dalam perkembangan lain, terma Sunda digunakan pada konotasi orang atau kelompok orang dengan sebutan “urang Sunda” (orang Sunda). Menurut Suwarsih Warnaen.[7] orang Sunda adalah orang yang mengaku dirinya dan dan diakui orang lain sebagai orang Sunda. Bahkan, terma Sunda dipertalikan pula secara erat dengan pengertian kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda, serta berdomisili di tanah Sunda.

Selain istilah Sunda –dengan berbagai konotasinya– ada sementara orang yang lebih suka menyebut Jawa Barat. Penamaan Jawa Barat, tampaknya, baru muncul pada abad ke 19 M. Seiring dikuasainya Pulau Jawa secara penuh oleh pemerintahan kolonial Hindia Belaanda. Ada kemungkinan pembagian wilayah itu berkaitan dengan kepentingan militer dan administrasi pemerintahan. Dari sudut kepentingan militer, misalnya, seiring kasus perang Diponegoro (1825-1830 M.), penguasa Hindia Belanda mulai membagi Pulau Jawa atas tiga daerah militer. Berturut-turut West Java, Midden Java, dan Oost Java.[8] Sedangkan untuk adimistrasinya pemerintahan, penggunaan istilah West Java (Jawa Barat), tampaknya baru digunakan secara resmi pada tahun 1025 M. Ketika dibentuk otonomi daerah provinsi Jawa Barat. (Provincie West Java).[9]

Tampaknya hingga kini, penamaan Jawa Barat hanya mengandung pengertian wilayah    dalam    kaitan    pembagian    wilayah   administrasi  pemerintahan,   tidak mengandung pengertian kebudayaan atau manusia.[10]Dengan demikian, berbeda dengan penamaan Sunda sebelumnya yang menunjuk berbagai pengertian. Akan tetapi ketika ditarik hubungan antara keduanya, sekalipun secara historis antara terma Sunda dan Jawa Barat memiliki perkembangan yang berbeda, paling tidak, kedua istilah itu menunjukan maksud yang sama. Sehingga ketika dikatakan West Java atau Jawa Barat yang dimaksud bisa berarti Sunda, Tanah Sunda, Tatar Sunda, Pasundan, tanah Pasundan, bahkan Bumi Parahyangan atau Pariangan.

B. Letak Geografis Tatar Sunda

Berdasar pembagian wilayah aministrtif, tatar Sunda atau Jawa Barat berbatasan dengan Daerah Tingkat I Jawa Tengah di sebelah Timur; Laut Jawa dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta di sebelah Utara; Selat Sunda di sebelah Barat, dan Samudera Hindia di sebelah Selatan. Sedangkan sungai Cilosari dan sungai Citanduy merupakan batas alami antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dapat dipastikan –berdasar letak geografisnya– wilayah Jawa Barat berbatasan langsung dengan laut, kecuali di wilayah Timur dan sebagian Utara. Selain itu, di Jawa Barat terdapat gunung-gunung yang jumlahnya lebih dari 30 buah.[11] dan sedikitnya 51 daerah aliran sungai (DAS),.[12] juga beberapa danau baik alami maupun buatan.

 Adapun sebagai puseur dayeuh Pasundan[13] — baik sebagai sentral pemerintahan maupun pusat  kebudayaan  Sunda– dipilihnya kota Bandung. Pemilihan kota Bandung, diduga, karena letaknya yang hampir di tengah-tengah wilayah Jawa Barat. Kota tersebut juga dianggap cukup strategis dengan jarak kurang lebih 187 km.  dari Jakarta, 227 km.   dari  Serang (Banten), 129 km.  dari  Bogor, 130 km. dari Cirebon, 106 km. dari Tasikmalaya, dan 250 km. dari Ujung Timur Ciamis.

C. Karakter Masyarakat dan Agama Awal Orang Sunda

Dilihat dari bentangan sejarahnya, etnik Sunda dicatat sebagai suku yang terlalu lama dan sering dijajah. Sebagai diungkap sejarawan, yang pernah menjajah Sunda adalah Portugis, Inggris, Belanda, Jepang, bahkan kerajaan Mataram. Motif penjajahan terhadap etnik Sunda, diduga, erat kaitannya dengan modal asal-usul Sunda yang subur, luas, panorama alam yang sempurna serta iklim tropika yang cukup mendukung.

Pengaruh dari seringnya menjadi daerah jajahan tampak pada karakter  sementara elitnya –yang dapat dikatakan– kurang  memiliki  etos  kerja  dan  etos  perlawanan. Hal demikian kemudian membentuk watak orang Sunda menjadi lebih bersifat sineger  tengah (moderat), non-militan, non-ekstrim, dan non-revolusioner,[14]juga cenderung puitik, romantik, melodius, dan kadangkala mistik.[15]

Agaknya,  kecenderungan puitik, romantik, melodius, dan mistik dapat dikaitkan dengan corak pemahaman keagamaan orang Sunda yang termasuk kedalam  spiritualisme Timur yang diperkuat oleh kedekatannya pada alam. Karena sangat dekatnya dengan alam pada tahapan-tahapan tertentu orang-orang Sunda –bahkan hingga kini — masih sering terjebak ke dalam praktek-praktek animisme dan dinamisme.[16] Namun demikian satu hal yang perlu dikemukakan –sekalipun serba alam seperti halnya corak agama-agama Timur lainnya– dalam tradisi Sunda sejak awal telah mengenal keyakinan yang monotheis. Kiranya, “agama” Sunda Wiwitan dapat dijadikan sebagai contoh model dalam hal ini. Untuk diketahui, dalam keyakinan Sunda Wiwitan  diyakini ada satu kekuatan di balik realitas yang kasat mata, yaitu satu kekuatan adikodrati yang menciptakan segala “yang ada” di buana alit (bumi). Ia adalah Sanghyang Tunggal Purba Wisesa, Pangeran nu Murbeng Alam (Tuhan  Yang  satu,  Mahaesa,  Pencipta  alam semesta),  Yang ngusik malikeun naon rupa kahirupan anu aya di alam pawenangan (yang memberi kehidupan bagi setiap mahluk yang ada di dunua.[17]

Sejauh ini, memang belum ditemukan data atau artefax yang cukup mewakili untuk menyebut waktu munculnya agama Sunda Wiwitan. Sekalipun ada hanya berdasarkan atas cerita turun-temurun (tradisi tutur), yang paling tidak, kurang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Misalnya dilihat dari kecenderungannya yang monotheis, Djajadiningrat megatakan,[18] dari konsep ketuhanan, Sunda Wiwitan mengadopsi unsur-unsur ketuhanan dalam Islam. Jika pendapat ini dianggap benar, bukti-bukti yang mendukung ke arah itu sulit diidentifikasi. Juga masih disekitar konsep ketuhanan, mengenai penamaan simbolik Realitas Mutlak (Realitas ketuhanan) yang cenderung Hiduistik dan dijustifikasi oleh sementara orang sebagai sinkretis dengan unsur Hinduisme,[19] agaknya masih memerlukan penelitian yang lebih seksama.

Dalam kaitan ini, diduga, berdasarkan studi lapangan[20] yang dikuatkan oleh literatur yang berkembang, justru Sunda Wiwitan  merupakan  agama asli orang Sunda yang diyakini sebagai agama Sunda Wiwitan, sebagai jati Sunda dan darah daging Sunda yang sudah menjadi keyakinan sejak masa lampau. Begitu melekatnya Sunda Wiwitan dalam batin orang Sunda telah membentuk pattern of behavior dan pattern of culture (pola tingkah laku dan pola kebudayaan) orang Sunda yang bisa dikatakan lebih adaptif, toleran, non-reotaksis, dan non-anti blasteran.[21]

Disamping Sunda Wiwitan  sebagai  keyakinan  awal   masyarakat  Sunda, dicatat pula, di negeri Sunda telah tumbuh keyakinan keagamaan lain yang cukup subur. Agama Hindu (India) malah disebut telah masuk ke tanah Sunda sejak abad pertama Masehi.[22] Selama berabad-abad Hinduisme menanamkan pengaruh di tanah Sunda dan baru mendapatkan akselerasinya pada abad ke-5 M. Dengan terbentuknya masyarakat   Hindu-Sunda.  Hal  itu  diperkuat  oleh  temuan  para  arkeolog   berupa

sejumlah prasasti yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 M. Pada masa berdirinya kerajaan Hindu pertama, Tarumanegara.[23]

D. Islam Masuk Ke Tatar Sunda

Adapun proses masuknya Islam ke batin Sunda –seperti halnya pembicaraan mengenai masuknya Islam ke Nusantara-hingga hari ini masih dalam perdebatan kalangan akademik. Sebab ternyata dari beberapa literatur yang ada yang sering disebutkan bukan masuknya Islam ke tanah Sunda, tetapi lebih cenderung tentang meluasnya Islam di sana. Hal ini tentunya akan semakin mengaburkan fakta sejarah sebagaimana adanya.

Memang harus  diakui, sejarah “kita” selama ini mencatat bahwa Islam tersebar di tanah Sunda melalui gerbang Timur, Cirebon.  Proses itu menjadi mungkin, karena panggung kekuasaan politik yang kuat waktu itu adalah Jawa Tengah. Tetapi, jika disepakati bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Sumatera baru kemudian ke Jawa dan daerah lain (proses Islamisasi Nusantara melalui gerbang Barat)[24], maka menjadi mungkin pula Islam masuk ke tanah Sunda melalui gerbang Barat. Dalam kaitan ini, melibatkan pelabuhan Banten atau Sunda Kelapa, dua pelabuhan yang cukup ramai waktu itu.

Asumsi tersebut berdasar analisis A. Mansur Suryanegara[25] yang mengembangkan temuan Van Leur dan Hamka. Van Leur, menurut Mansur, menyatakan, bahwa Islam telah masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-7 M. Berdasar adanya perkampungan Arab Islam yang diberitahukan oleh media Cina. Perkampungan itu terletak di Sumatera Barat. Demikian pula Hamka yang mendasarkan  pada  sumbernya  yang  sama  (berita  Cina,)  bahwa tahun 674 M atau abad ke-7 M. telah terdapat pedagang Arab-Islam di Kalingga, pada masa Ratu Sima.

Dengan mengaitkan dua tempa, yaitu Sumatera Barat dan Jawa, tampaknya suatu hal yang kurang logis jika dua pelabuhan penting di tanah Sunda; Banten dan Sunda Kelapa, belum disinggah oleh pedagang Arab Islam. Sebab rute perjalanan laut, waktu itu, apabila dari arah Sumatera hendak ke tanah Jawa yang dijadikan tempat persinggahan adalah pelabuhan Banten.[26] Dengan demikian, para pedagang Arab Islam Sumatera Barat apabila hendak berlayar ke tanah Jawa harus mengambil rute Palembang-Selat Sunda-Pelabuhan Banten atau Sunda Kelapa, sebelumnya akhirnya melanjutkan ke wilayak yang lebih Timur.[27]

Dugaan senada, seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa peranan tanah Sunda telah dirintis sejak adanya kekuasaan politik Hindu-Sunda, Tarumanegara.[28] Bisa jadi penguasa Sunda waktu itu ikut memegang peranan dalam hal perniagaan. Maka suatu hal yang mustabil jika pada  abad ke-7 M. ia tidak terlibat (melibatkan diri) dalam perniagaan di Nusantara. Dari statemen ini, menjadi mungkin pula para pedagang Arab Islam singgah di Pelabuhan Banten atau Sunda Kelapa, serta menyebarkan dakwah Islam di sana.

Pertimbangan lain, misalnya informasi dari Tom Pires, yang menjelaskan kondisi Jawa Barat pada abad ke-16 M. Ia menyebutkan bahwa pada tahun 1513 M. penduduk Cirebon dan Indramayu (Cimanuk) sudah memeluk Islam. Yang lebih mengejutkan, ia juga menjelaskan situasi pelabuhan lain di Jawa Barat, seperti pelabuhan Banten, Cikande, Tangerang, dan Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan yang cukup padat dan banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang Islam. Ia menyebutkan,

di antara pedagang-pedagang itu berasal dari Malaka, Palembang, Fansur, Tanjungpura, Lawe, Jawa, dan lain-lain.[29]

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan faktual tersebut, tampaknya, pada abad ke-16 M. Islam bukan baru mulai masuk ke tanah Sunda, tetapi telah meluas di sana. Proses Islamisasi sendiri sangat menjadi mungkin telah dimulai sejak abad  ke- 7 M. Adapun menelusuri gerbang masuknya Islam ke tanah Sunda, tidak saja melalui gerbang Timur (Cirebon), tetapi dimungkinkan melalui gerbang Barat (pelabuhan Banten, Tangerang, dan Sunda kelapa).

Mencermati mazhab Islam yang dibawa ke tanah Sunda, sejauh ini penulis hanya menemukan informasi dari gerbang Timur, Cirebon. Sumber Cerbon menyebutkan, Islam yang dibawa ke Cirebon dalam dua aliran: Sunnah dan Syi’ah.[30] Lagi-lagi sumber ini pun tidak menguraikan lebih lanjut mazhab terakhir (Syi’ah). Dalam Cerbon disebutkan, penyebar-penyebar Islam mazhab pertama (Sunnah)  terdiri dari para guru, pedagang, ahli kriya, dan  seniman  dari  berbagai bidang.  Para  ahli kriya dan seniman banyak kemungkinan termasuk tarikat-tarikat tertentu. Kelompok sufi dan keterlibatan mereka dengan tarikat menyebar ke seluruh Cirebon dan Cimanuk (Indramayu).

Sungguhpun terdapat informasi sejarah yang menunjukan bahwa Islam telah menembus tanah Sunda sejak abad ke-7 M., tetapi proses Islamisasi secara massal tampaknya baru pada abad ke-16 M. dengan hadirnya Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang kemudian dikenal Sunan Gunung Djati, Cirebon.[31] Ia dianggap sebagai penganjur Islam yang cukup berhasil dalam proses Islamisasi tanah Sunda. Ia juga dikenal kharismatik dan memiliki ilmu kanuragan tinggi. Bukti-bukti itu dapat ditelusuri hingga sekarang, betapa ia begitu hidup dalam berbagai mitos dan mistik masyarakat Cirebon dan sekitarnya.

E. Penutup.

Jika statemen Islam menemukan akselerasinya di tanah Sunda pada abad ke-16 M. dan Islam yang berkembang di sekitar Cirbon bercorak Suni dan Tarekat, maka tepatlah apa yang ditegaskan Harun Nasution, bahwa Islam yang datang dan berkembang di Indonesia bukanlah Islam zaman keemasan dengan pemikiran rasional dan kebudayaannya yang tinggi, melainkan Islam yang sudah berada pada titik kemunduran dengan  pemikiran  tradisional  dan corak tarekat dan fikihnya.[32] Kenyataan sejarah yang demikian, kemudian sangat mempengaruhi corak pemikiran Islam yang berkembang di tanah Sunda.

Menyangkut implikasinya terhadap corak pemikiran, karena dunia Islam didominasi oleh pemikiran tradisional, mak pemikiran yang berkembang di tanah Sunda adalah pemikiran tradisional yang dalam bidang kalam  merujuk pada Asy’ariyah dan pada aspek-aspek tertentu dipadukannya dengan Maturidiyah.[33] Itulah agaknya yang diduga kuat melatarbelakangi begitu dominannya paham Ahl Sunnah wa al Jama’ah di tanah Sunda Hingga sekarang.

Wallahu a’alam.

Daftar Pustaka

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara: Sejarah Perkem-bangannya Hingga Abad ke-19. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990), hlm. 106.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung; Mizan, 1995).

Edi S. Ekadjati, kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, (jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm

Paramita R. Abdurrahman, et.al., Cerbon, (Jakarta: Kerjasama Yayasan Mitra Budaya Indonesia dan Penerbit Sinar Harapan, 1982)

Sartono Kartodirjdo, The Peasants Revolt of Banten in 1888, terj. Hasan Basri, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 96.

Tietie  H.     Padmadinata. 1997. “Panggung  Karakter  Elite   Sunda”,  dalam  Harian  Umum  Pikiran  RakyatBandung, Sabtu, 5 April 1997.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply