Ingin aku kembali mendengar uraimu yang tanpa tex tentang rentang dinamika berbangsa dan bernegara.
Namun nisan mu pun aku tak tahu letak dan baring mu terlalu lelap di keistirahatan abadi yang entah dimana.
Dahulu, kau sanggup urai perlawanan raja-raja nusantara atas kolonial menjadi kesadaran setara raja tak bermahkota dalam kiprah HOS Cokroaminoto,
Orang pribumi sekiyai Tan Malaka dalam kesendirian antara langit dan bumi.
Namun, lagi-lagi romantika makhluq dalam adukan amarah, lawwamah dan muthma’innah pun masih tak sanggup keluar dari kokohnya ruang dan waktu.
Entah bagaimana, tiba-tiba saja kau bersumpah :
1. Bertanah air satu, tanah air Indonesia
2. Berbangsa satu, bangsa Indonesia
3. Berbahasa satu, bahasa Indonesia