Oleh EDI S. EKADJATI
YANG dimaksud dengan orang Sunda di sini adalah orang Sunda periode pra-Islam pada zaman Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda, namun dengan latar belakang zaman prasejarah dan Kerajaan Tarumanagara. Periode ini berlangsung selama sekira 9 abad dari akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 hingga menjelang akhir abad ke-16 Masehi, yaitu mulai sejak berdirinya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda hingga runtuhnya Kerajaan Sunda (1579). Kerajaan Galuh sudah tidak berperan lagi dan digabungkan dengan Kerajaan Sunda sejak Sri Baduga Maharaja naik tahta pada tahun 1482. Sri Baduga Maharaja adalah putra Prabu Ningratkancana, raja Kerajaan Galuh (1475-1482) dan menikah dengan putri Sang Susuktunggal, raja Kerajaan Sunda (13 -1482). Prabu Ningratkancana dan Sang Susuktunggal itu kakak-beradik, keduanya putra Prabu Niskala Wastukancana, raja Kerajaan Galuh yang juga menguasai Kerajaan Sunda.
Tuhan itu ada dan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Baik dalam masyarakat sederhana (primitif) maupun pada masyarakat kompleks (modern), Tuhan selalu menjadi milik mereka, paling tidak menjadi masalah mereka. Mereka yang menamakan diri kaum ateis pun pada hakikatnya, hati nuraninya, mengakui adanya Yang Gaib, kekuatan Gaib; ya Tuhan itulah.
Dalam Al Quran, kitab suci umat Islam, ada kisah yang menarik tentang bagaimana Nabi Ibrahim a.s. mencari Tuhan. Pada mulanya Tuhan disangka sama dengan benda (bintang, bulan, matahari), tetapi akhirnya beliau menemukan Tuhan sebagai Zat yang abstrak, namun diyakini keberadaan-Nya karena ada bukti-buktinya.
Ternyata orang Sunda masa pra-Islam pun pernah berupaya seperti Nabi Ibrahim a.s. untuk mencari Tuhan. Mula-mula leluhur mereka menghayati ada sesuatu yang gaib sebagaimana disaksikan dan dialami oleh mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari di tempat tinggal mereka. Kemudian, mereka mendapat pengetahuan dan keyakinan tentang Tuhan dari ajaran agama Hindu dan agama Buddha, dua tradisi besar yang datang dari India. Namun, rupanya mereka belum puas atas konsep Tuhan menurut tiga sumber tersebut. Hati nurani mereka masih gelisah dan bertanya-tanya mengenai identitas dan keberadaan Tuhan itu.
Dalam mencari Tuhan orang Sunda menggunakan metode pemaduan beberapa konsep Tuhan alias sinkretisme. Konsep Tuhan yang berasal dari leluhur mereka mengemukakan bahwa yang gaib itu (belum pengertian Tuhan, baru sesuatu yang mengarah kepada pengertian Tuhan) berasal dari jiwa manusia sendiri, dalam hal ini jiwa leluhur mereka yang mengalami kematian (roh, arwah nenek moyang). Menurut ajaran agama Hindu (prinsip ajaran agama Buddha pun kurang lebih sama hanya istilahnya lain), yang gaib itu ialah yang memiliki kekuasaan terhadap alam seluruhnya. Dia adalah dewa yang bukan berasal dari jiwa manusia, melainkan jadi dari sumber lain dan memiliki kehidupan tersendiri di alam nirwana atau surga. Konsep-konsep itulah yang dijadikan referensi oleh orang Sunda dalam mencari Tuhan, di samping tentunya pengalaman, dinamika, dan kreativitas mereka sendiri.
Konsep roh, arwah nenek moyang muncul pada zaman prasejarah di Tanah Sunda (sebelum abad ke-5 Masehi). Secara teoritis munculnya konsep tersebut adalah sebagai berikut. Sebagai masyarakat yang sederhana, kelompok masyarakat manusia di Tanah Sunda pada zaman itu menyaksikan dan mengalami peristiwa kehidupan dan kematian. Dalam masa kehidupan manusia bisa bergerak, bersuara, makan, minum, berjalan, lari, berbuat sesuatu, menangis, tertawa, merasakan sesuatu, dan lain-lain, tetapi sesudah mengalami kematian mereka menyaksikan bahwa manusia itu tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan bergerak sekalipun. Mereka menyaksikan bahwa dalam kematian itu ada sesuatu yang hilang dari tubuh manusia yang berakibat manusia tidak bisa bergerak dan tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi, mereka tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar sesuatu yang hilang itu ke luar atau lepas dari tubuh manusia. Mereka tidak dapat mengetahui sesuatu yang hilang itu apa, bagaimana wujudnya. Itulah yang gaib.
Pada pihak lain mereka menyaksikan pula adanya sesuatu yang tak ada wujudnya, jadi yang gaib, yang memengaruhi alam dan kehidupan mereka. Terjadinya angin ribut, petir, gempa, gunung meletus, hewan mengamuk, hama tanaman, hujan lebat yang mengakibatkan banjir, kebakaran hutan, dan lain-lain yang tergolong gejala alam yang mereka lihat, dengar, bahkan rasakan dan saksikan, tidak dapat diketahui siapa yang menggerakkannya dan apa yang menjadi penyebabnya. Jadi, digerakkan dan disebabkan oleh sesuatu yang gaib.
Persamaan gejala kematian manusia dan gejala alam menimbulkan simpulan bahwa ada hubungan timbal-balik antara lepasnya sesuatu yang gaib dari tubuh manusia pada peristiwa kematian dengan penggerak dan penyebab gerak gejala alam. Sesuatu yang lepas dari tubuh manusia itulah yang menimbulkan kekuatan gaib yang menyebabkan gejala-gejala alam. Gejala alam sendiri tentu saja menakutkan mereka karena bisa merusak kekayaan dan tempat tinggal, bahkan diri mereka sendiri. Pada gilirannya mereka pun takut kepada sesuatu yang gaib yang berasal dari tubuh manusia (roh, arwah) karena bisa jadi penggerak dan penyebab gejala alam itu. Dengan kata lain, mereka takut kepada roh atau arwah manusia yang adalah arwah generasi sebelum mereka. Tegasnya, mereka takut kepada roh atau arwah nenek moyang mereka sendiri.
Sebagaimana manusia yang masih hidup, menurut anggapan mereka, roh atau arwah manusia yang sudah mati bisa memancarkan kekuatan yang berdampak baik dan bisa pula memancarkan kekuatan yang berdampak buruk kepada kehidupan manusia, tergantung dari perlakuan manusia yang masih hidup kepada roh atau arwah nenek moyang itu. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari munculnya kekuatan roh atau arwah yang berdampak buruk, yang membahayakan kehidupan mereka, dilakukanlah pemujaan dengan memberikan penghormatan dan persembahan (sajian) kepada roh atau arwah nenek moyang itu, terutama roh atau arwah pemimpin nenek moyang, di tempat-tempat yang dianggap menjadi tempat bersemayam roh atau arwah itu.
Roh atau arwah nenek moyang itu dipercayai suka bersemayam di tempat-tempat yang tinggi (puncak bukit, puncak gunung) dan pada benda-benda yang luar biasa, seperti pada batu besar, pohon besar, air banyak (sungai, telaga), mata air. Oleh karena itu, terbentuklah konsep kepercayaan kepada roh atau arwah nenek moyang yang dapat memengaruhi (baik atau buruk) nasib manusia yang masih hidup dan bentuk pemujaan terhadap roh atau arwah nenek moyang agar yang gaib itu tidak marah, tidak memancarkan kekuatan yang berdampak negatif, tetapi kasih sayang dan memancarkan kekuatan yang berdampak positif kepada mereka.
Di atas telah disebutkan bahwa Tuhan dalam konsep agama Hindu dan Buddha adalah dewa. Dewa itu jumlahnya banyak (politeisme). Dewa-dewa dimaksud dikelompokkan secara klasifikasi dan stratifikasi. Dalam pengelompokan stratifikasi dewa tertinggi ada tiga, yaitu Brahma sebagai pencipta alam, Siwa sebagai perusak alam, dan Wisnu sebagai pemelihara alam. Ketiga dewa tersebut disatukan dalam konsep Tri Murti. Dewa memunyai corak dan tempat kehidupan tersendiri yang berbeda dengan corak dan tempat kehidupan manusia. Jika manusia hidup di dunia ini dengan corak kehidupan seperti yang dialami oleh kita sekarang, seperti memerlukan pangan, sandang, papan, hiburan; kehidupan dewa berada di surga atau nirwana yang lokasinya di luar dunia ini (marcapada) serta corak hidupnya penuh dengan keluarbiasaan yang tidak memerlukan lagi kebutuhan-kebutuhan primer kehidupan manusia. Bahkan, tiga dewa tertinggi berperan menciptakan, merusak, dan memelihara alam. Menjadi impian setiap manusia untuk dapat masuk ke surga dan hidup bersama dewa-dewa setelah mengalami kematian (moksa).
Tercapai-tidaknya impian tersebut bergantung kepada suka tidaknya manusia itu melakukan persembahan atau beribadah kepada dewa atau Buddha di tempat lambang persemayamannya, yaitu patung dewa dan Buddha serta hati dan perbuatan manusia itu sendiri selama hidupnya di dunia. Jika suka memberikan persembahan kepada dewa atau Buddha serta hati dan perbuatannya baik sesuai ajaran agama atau darma, setelah moksa (mati) dia dapat masuk surga, masuk ke alam tempat persemayaman dewa atau Buddha. Sebaliknya, jika mengabaikan persembahan kepada dewa atau Buddha serta hati dan perbuatannya buruk, dalam arti menentang atau melanggar ajaran agama atau darma, setelah moksa (mati) dia akan mengalami penyiksaan di dalam neraka atau mengalami samsara lebih dulu, yaitu hidup kembali (reinkarnasi) menjadi orang yang hina atau menjadi binatang yang menjijikkan.
Sesuai dengan letak geografisnya yang berada di sebelah barat, Tanah Sunda termasuk yang lebih awal didatangi oleh para pemeluk agama Hindu dan agama Buddha yang datang dari sebelah barat (India) dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di nusantara yang berada di sebelah timurnya. Mereka berdatangan ke wilayah nusantara untuk kepentingan berdagang dengan rempah-rempah yang banyak dihasilkan di wilayah nusantara sebagai barang dagangan utamanya serta sebagai wilayah lintasan mereka dalam berhubungan dengan negeri Cina melalui jalan laut. Tampaknya sejak abad-abad pertama Masehi mereka telah berdatangan ke nusantara.
Pada abad ke-4 Masehi ke Tanah Sunda dan wilayah nusantara lainnya berdatangan sejumlah pengungsi dari India akibat terjadi peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari wangsa Pallawa dan wangsa Calankayana, pihak yang kalah dalam peperangan itu.
Dalam berhubungan dengan orang-orang dari India itu penduduk di Tanah Sunda, juga penduduk Kalimantan Timur, tergolong yang paling dahulu menerima pengaruh kebudayaan para pendatang itu, termasuk agama yang dianut mereka sebagaimana tampak dari jejak yang ditinggalkannya. Pengaruh budaya tersebut melahirkan untuk pertama kalinya institusi negara dalam bentuk kerajaan berupa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanagara di Tanah Sunda (Jawa Barat). (Menurut sumber yang baru muncul dan belum disepakati oleh semua sejarawan, kerajaan pertama di Tanah Sunda dan juga nusantara ialah Salakanagara pada abad ke-3).
Pada masa ini Hindu menjadi agama resmi kerajaan. Raja Tarumanagara (Purnawarman) dipandang dan dipercayai sebagai penjelmaan dewa Wisnu (konsep kultus dewaraja). Walaupun begitu, bagian terbesar rakyat Tarumanagara tidak memeluk agama Hindu dan agama Buddha, tetapi terus memeluk agama yang diturunkan oleh leluhur mereka, yaitu agama yang memuja arwah nenek moyang. Agama Hindu dianut oleh mereka yang menjadi keluarga istana dan yang dekat dengan lingkungan istana, terutama para pendatang dari India dan keluarga-keluarga pribumi yang menjalin hubungan erat dan hubungan pernikahan dengan para pendatang beserta keturunan mereka. Soalnya, mula pertama konsep negara di wilayah nusantara memang berasal dari budaya India, budaya Hindu. Agama Buddha dianut oleh sekelompok masyarakat yang kecil jumlahnya.
Agama atau keyakinan atau tradisi asli yang intinya berupa pemujaan terhadap arwah nenek moyang begitu kuat dalam kehidupan penduduk Tanah Sunda sehingga bukan saja terus dianut dan dijadikan pedoman hidup, melainkan juga dapat membendung pengaruh budaya dan agama Hindu/Buddha sehingga tidak dapat berpengaruh besar di wilayah ini, berbeda dengan di wilayah Pulau Jawa lainnya yang pengaruhnya cukup besar.
Runtuhnya Kerajaan Tarumanagara yang diiringi oleh munculnya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda sebagai penerusnya memungkinkan timbulnya kecenderungan makin menurunnya pengaruh agama Hindu dan juga Buddha di dalam masyarakat Tanah Sunda serta sebaliknya makin menaiknya pengaruh dan pamor agama atau keyakinan yang berdasar pemujaan kepada arwah nenek moyang. Sebagai bukti, misalnya, jika pada masa Tarumanagara prasasti itu mencerminkan sepenuhnya budaya dan agama Hindu (menggunakan aksara Pallawa, bahasa Sanskerta, dan menyebut dewa agama Hindu), tetapi pada masa Galuh dan Sunda prasasti itu.