Pandangan Al-Ghazali tentang Jiwa

A. Pendahuluan

Konsep jiwa dalam pandangan filosof muslim begitu kompleks. Para filosof muslim begitu rinci memetakan pembagian jiwa dengan daya-daya yang dimiliki.  Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa para filosof muslim membagi jiwa dalam dua hal yang saling berghubungan erat yaitu aspek rohani dan aspek jasmani. Kedua aspek ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Lain halnya dengan konsep jiwa dalam pandangan barat yang lebih cenderung bersifat jasmani. Nilai-nilai spiritualitas dalam pandangan psikologi  barat tidak pernah dikemukakan atau  karena mereka lebih cenderung pada yang bersifat jasmani dan menafikan sifat rohani atau spiritualitas.

Dalam hal ini penulis mencoba memberikan gambaran tentang pemetaan pembagian jiwa oleh seorang filosof dan sufi muslim yang sangat terkenal bagi dunia Islam maupun dunia barat yaitu Imam Al-Ghazali.

B. Sekelumit Biografi Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 450H/ 1058M di Thus. Ayahnya adalah seorang pemintal dan buta huruf. Di antara guru-gurunya adalah Al-Juwaini (Imam al-Haramayn), Ahmad bin Muhammad Razkani dan Abu Nashr serta Abd al-Malik. Ketika di Baghdad dia bersentuhan dengan berbagai pandangan tentang agama dan filsafat yang membuatnya berpandangan terbuka dan meninggalkan keortodoksannya. Karena bakat intelektual yang begitu mencolok dapat dengan baik dilihat oleh Nizham al-Mulk dan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikan.

Ketika di puncak kecemerlangan di masanya pada usia 38 tahun dia mulai melakukan perjalanannya. Terjadi konflik batin yang begitu besar yang mengakibatkan dirinya mencari ketenangan dengan menghabiskan waktunya untuk berkhalwat dan melakukan latihan-latihan mistik. Kemudian dia menjadi murid seorang Sufi kenamaan, Adhal bin Muhammad. Selama perjalanannya yang panjang keberbagai tempat seperti Damaskus, Jerussalem, Alexandria, Mekkah dan banyak tempat lainnya dia menulis buku berjudul Ihya ‘Ulum al-Din. Dan karya-karya yang lain seperti Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesalahan), Tahafut al-Falasifah (Kerancuran Para Filosof), Maqashid al-Falasifah (Doktrin-Doktrin para filosof).

Di akhir hayatnya al-Ghazali lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengkhatamkan al-Qur’an, berada di majelis para sufi, mengajar, melanggengkan shalat dan puasa serta ibadah yang lainnya. Ia wafat di Thus pada tahun  505 H/ 1111 M.

C. Makna Jiwa dan psikologi

Psikologi menurut al-Ghazali adalah ilmu yang mengkaji tentang jiwa. Ia menganggap bahwa pengetahuan mengenai jiwa merupakan jalan untuk mengetahui tentang Allah (ma’rifatullah). Ia menyebutkan bahwa jejak-jejak di mana dapat terlihat keagungan Sang pemilik kebenaran dan kesempurnaan sifat adalah ma’rifat jiwa.

Dalam kajiannya tentang jiwa, terdapat dua macam psikologi yaitu psikologi  yang membahas tentang daya jiwa hewan, daya manusia, daya penggerak dan daya jiwa sensoris, dan kedua adalah psikologi yang membahas tentang olah jiwa, perbaikan akhlak dan terapi akhlak tercela. Jadi jiwa bisa diartikan adalah kesempurnaan pertama (tidak melalui kesempurnaan yang lain) bagi fisik alamiah (bukan bersifat buatan) yang sifatnya mekanistik (memiliki alat-alat tertentu yang dipakai oleh kesempurnaan tersebut untuk memperoleh kesempurnaan berikutnya)

D. Aspek-aspek jiwa manusia

Pada diri manusia terkumpul sekaligus empat dimensi kejiwaan yaitu dimensi ragawi (al-jism), dimensi nabati (al-natiyyah), dimensi hewani (al-hayawaniyyun), dan dimensi insani (al-insaniyyah). Semuanya memiliki berbagai aspek dengan fungsi dan daya masing-masing, baik yang bersifat lahiriah dan dapat diamati maupun yang batiniah tak teramati.

1. Dimensi ragawi

Pada hakikatnya merupakan unsur materi dari manusia yang dapat mengalami kerusakan dan kehancuran. Ia adalah benda pasif yang tak mempunyai daya tanpa rekayasa dari luar.

2. Dimensi nabati (tetumbuhan/al-natiyyah)

Dimensi ini memiliki fungsi nutrisi (al-qhadiyyah), fungsi pertumbuhan (al-naamiyah), dan fungsi reproduksi (al-muwallidah)

3. Dimensi hewani (al-hayawaniyyun)

Dimensi hewan terdapat dua daya yaitu daya penggerak (al-muharrikah, locomotion) dan daya penangkapan (al-mudrikah, persepsi).

Daya penggerak terdiri atas dua daya yaitu

a.       Daya stimulatif atau daya pendorong (iradah) yaitu potensi dan tidak akan menjadi aktus dengan sendirinya. Potensi iradah ini memerlukan rangsangan-rangsangan dari al-mudrikah (daya persepsi) untuk menjadikannya sebagai aktus. Dalam aktualisasinya, iradah ditentukan oleh bentuk positif dan negatif, oleh salah satu dari dua terhadap yang menguntungkan dan kecenderungan negatif terhadap yang merugikan. Kecenderungan pertama disebut dengan syahwah (nafsu, appetite) dan kecenderungan kedua disebut al-ghadab (amarah). Jika informasi dari al-mudrikah mengisyaratkan akan muncul kerugian, maka irradah untuk menghindari menjadi aktus, selanjutnya mempengaruhi qudrah (kemampuan berbuat) untuk melahirkan perbuatan menghindar, kemudian lahirlah perbuatan menghindar.

b.       Daya aktif atau daya berbuat (al-fa’ilah) yaitu daya yang bergerak di dalam otot dan syarat untuk melakukan gerakan yang sesuai atau untuk menarik manfaat atau menolak bahaya.

Daya persepsi (al-mudrikah) terbagi pada daya persepsi dari luar dan daya persepsi dari dalam.

a. Daya persepsi luar (al-mudrikah min al-kharij)

Daya ini terdapat pada pancaindera menangkap informasi-informasi tersebut bukan alat-alat indera, melainkan jiwa hewan yang ada di dalam jiwa manusia. Hal ini sebagai konsekuensi logis bahwa anggota fisik tidak memiliki daya, tetapi hanya sebagai alat bagi daya jiwa. Indera-indera luar itu adalah:

1.     Indera peraba yang merupakan mata-mata pertama bagi jiwa. Ia tersebar di seluruh kulit, daging keringat dan syarat badan, yang memiliki kualitas panas, dingin, lembab, kering, keras, lembek, lembut, keras ringan dan berat. Jadi daya perabaan ini adalah satu jenis untuk empat macam daya, pertama daya yang memutuskan kontradiksi antara panas dan dingin, kedua antara basah dan kering, ketiga antara keras dan lembut dan keempat antara kasar dengan halus. Hikmah yang terkandung dalam daya perabaan adalah ketika hikmah ilahi mengharuskan hewan bergerak dengan keinginan terdiri dari berbagai unsur, dan merasa tidak aman dari bermacam-macam bahaya yang mengejarnya, maka tuhan memberi kekuatan dengan daya perabaan sehingga hewan tersebut dapat menyelamatkan diri ke tempat yang aman

2.     Indera penciuman adalah daya yang ada terdapat pada bagian atas dalam hidung,terlihat dari bagian depan dan menonjol dari otak. Ia mempersepsi bau-bauan melalui udara. Indra penciuman pada hewan lebih kuat dan lebih sengit dibandingkan dengan manusia. Dan setelah daya perabaan indera penciumanlah yang terbentuk di dalam janin.

3.     Indera pengecapan mempersepsi makanan yang sesuai dan makanan yang tidak sesuai. Letaknya di lidah. Rasa bercampur dengan ludah yang diubah menjadi rasa. Jadi ludah berubah menjadi kualitas rasa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ibnu Sina.

4.     Indra penglihatan berfungsi untuk mempersepsi gambar yang memantul di dalam membran yang berasal dari cermin fisik yang memiliki warna yang menyebar pada benda-benda bercahaya hingga ke permukaan benda-benda licin. Jadi penglihatan terjadi karena pantulan gambar yang dilihat oleh membran mata dengan perantaraan kornea.

5.     Indera pendengaran muncul ketika suara muncul karena tekanan gelombang udara yang berasal dari lubang telinga atau daun telinga menuju udara yang menetap di bagian dalam otak dan menggerakkan sesuai dengan bentuknya.

b. Daya persepsi dalam (Batin)

Selain daya persepsi luar ada juga daya persepsi dari dalam. Berdasarkan fungsinya daya ini terbagi pada tiga bagian.

1.     daya yang mempersepsi tetapi tidak menjaga,

2.     daya yang menjaga tetapi tidak menyimpan

3.     dan daya yang mempersepsi dan bereaksi

Menurut al-Ghazali informasi yang diterima lewat indera dari luar akan melalui lima proses dalam lima tahapan dari daya persepsi batin. Daya yang termasuk di dalam daya persepsi batin adalah

1.     Indera kolektif (al-hiss al-musytarak)

Adalah daya di mana semua objek indera berkumpul untuk dipersepsi. Sebagai contoh Ketika kita melihat air hujan jatuh (dalam bentuk garis lurus) dan titik bergerak cepat sebagai garis yang melingkar, semuanya melalui proses pengamatan bukan khayalan. Dengan mata lahir kita melihat  bahwa air hujan dan titik yang bergerak sebagaimana adanya. Namun demikian mata hanya akan melihat sesuatu yang jatuh secara berlawanan dan bukan dalam bentuk garis. Artinya pada saat itu kita mengetahui bahwa ada daya lain karena sebelum satu kondisi yang satu hilang muncullah kondisi yang lain dan seterusnya, sehingga kita melihatnya seperti garis lurus atau garis lingkaran. Indera kolektif (al-hiss al musytarok) ini hanya mempersepsi objek yang bersifat parsial-fisik, tidak mempersepsi gestalt-rasional (al-kulliyat al-aqliyah) juga mempersepsi kenikmatan dan penderitaan yang berasal dari objek indera eksternal sebagaimana mempersepsi objek yang berasal dari khayalan.

2.     Daya khayal (al-khayaliyah, representasi)

Adalah daya yang menyimpan semua gambar dari objek indera setelah  menghilang. Daya khayal dan daya indera kolektif secara bersama-sama mengalami proses pembedaan. Dengan kedua daya tersebut kita dapat memutuskan bahwa rasa ini bukan dimiliki oleh yang punya warna ini, dan pemilik warna ini memiliki rasa ini dan sebagainya. Oleh karenanya hakim tidak akan memutuskan sesuatu yang belum pernah dihadirkan oleh terdakwa.

3.     Daya waham (estimasi)

adalah daya yang akan mempersepsi makna-makna parsial yang bersifat non-inderawi dari hal-hal yang parsial-inderawi. Seperti kambing mempersepsi permusuhan dari serigala dimana permusuhan bukan merupakan suatu yang bersifat inderawi, tetapi daya waham mempersepsinya karena melihat serigala. Daya waham merupakan pemimpin bagi semua perilaku hewan, seperti hukum akal pada manusia.

Pada manusia daya waham memiliki hukum-hukum tertentu di antaranya mempengaruhi jiwa untuk menolak keberadaan segala sesuatu yang tidak dapat dikhayalkan atau digambarkan di dalam khayalan. Al-Ghazali mengatakan bahwa beberapa objek persepsi yang diiringi oleh beberapa respon mampu membentuk keterkaitan-keterkaitan antara objek-objek tersebut dengan berbagai respon. Jadi jika hewan atau manusia mempersepsi stimulus tersebut di lain waktu, maka berbagai respon yang sama akan muncul darinya.

Al-Ghazali sangat memahami respon bersyarat. Sebagai contoh respon takut terhadap ular berkaitan dengan bentuk dan warnanya yang menjalar juga pada tali yang berwarna dan bentuknya yang mirip dengan ular. Jadi daya waham memiliki fungsi psikologis terutama dalam pembentukan respon bersyarat.

4.     Memori/mengingat (az-zakirah)

Semua makna parsial yang ditangkap oleh daya waham disimpan oleh daya memori. Jadi daya memori merupakan gudang bagi semua makna parsial.

5.     Daya fantasi/imajinasi (mutakhayyilah)

Daya ini menyusun dan memisahkan gambar-gambar satu sama lain, menyusun dan memisahkan makna-makna parsial satu sama lain serta mengaitkan gambar dengan makna. Jiwa menggunakan daya fantasi dalam melaksanakan proses penyusunan dan pemisahan seusai dengan hukum atau aturan yang dikehendaki, jadi akan memberi kemungkinan pada manusia untuk mempelajari berbagai bidang disiplin ilmu dan keahlian. Daya ini merupakan daya tertinggi dalam pengelolaan informasi. Kadang-kadang fantasi melaksanakan fungsi menyusun dan menggabungkan makna dan gambar untuk membantu akal praktis dan akal teoritis. Jika jiwa mempergunakannya pada sesuatu yang rasional maka itulah yang dinamakan berpikir.

Seluruh tingkatan daya pada daya persepsi batin memerlukan otak sebagai alat untuk memproses informasi-informasi tersebut. Al-hiss al-musytarak bertempat pada pangkal syaraf indera pada otak bagian depan, al-khayaliyah di belakangnya, masih pada bagian depan otak, al wahamiyah bertempat lebih khusus pada rongga tengah otak, terutama sebelah belakangnya, al-mutakhayyilah pada rongga otak, sebelah depan, sedangkan az-zakirah (al-hafizah) bertempat di bagian belakang otak.

Proses pengolahan informasi pada daya persepsi baik dalam maupun luar hanya sampai pada  batas abstrak fisik. Artinya, informasi itu telah dapat dilepaskan dari fisiknya sehingga yang ditankap adalah kesan atau makna saja. Kalaupun ia dapat dipandang sebagai pengetahuan, maka tingkatannya masih sangat rendah. Semua proses ini masih berada dalam wilayah daya jiwa hewan dan bukan merupakan daya khas jiwa manusia.

4. Dimensi Insani

Pada Dimensi Insani atau daya jiwa khas manusia atau dikenal dengan jiwa rasional (an-nafs an-natiqah), daya jiwa lebih tinggi dari pada itu, dan telah memiliki dua daya, yaitu daya praktis (al-amilah, practical) dan daya teoretis (al-alimah, an-nazariyah, theoritical).  Dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah akal (akal teoretis dan akal praktis)

Daya /akal praktis adalah daya yang bertanggung jawab mengatur badan, bekerja sama dengan hasrat yang mendorong manusia melakukan berbagai perilaku parsial. Misalnya malu, segan menangis dan tertawa. Daya praktis berfungsi menggunakan tubuh melalui daya-daya hewan untuk mengontrol hawa nafsu sehingga hawa nafsuyang terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia ke tingkah yang lebih sempurna. Daya praktis juga merupakan daya yang bertanggung jawab terhadap akhlak. Kerja sama daya praktis dan daya fantasi serta daya waham ini melahirkan kesimpulan berbagai keahlian keterampilan dan profesi. Kerja sama daya praktis dan daya teoritis akan melahirkan berbagai ide moral seperti kejujuran, kebaikan, kebohongan, keburukan, keadilan, keindahan dan sebagainya.

Sedangkan daya/akal teoritis berfungsi menyempurnakan substansinya. substansinya bersifat immateri dan abstrak. Ia berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan yang abstrak dan universal.  memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:

a.     Akal potensial (hayuulaanii)

Pada fase ini akal masih berupa potensi. Kondisinya diibaratkan seperti adanya kemampuan menulis pada anak kecil yang belum mampu menulis. Potensinya sudah ada tetapi belum muncul secara aktual.

b.     Akal properti / habitual (bil malakah/ mumkin)

Pada fase ini akal telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis secara reflektif. Pengetahuan ini disebut sebagai pengetahuan rasional tingkat pertama / insting akal (gharizah al-aql)

c.      Akal aktual (bil fi’li)

Pada fase ini akal telah bisa menggunakan pengetahuan pertama sebagai premis mayor dalam silogisme untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua. Pengetahuan pertama sebagai modal dan pengetahuan kedua sebaga hasil pemikiran.

Berfikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan hasil akal murni tetapi juga menggunakan daya al-mutakhayyillah yang ada pada jiwa sensitif

d.     Akal perolehan (al-aql mustafad)

Pada tingkatan ini akal telah mempunyai pengtahuan-pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara faktual. Pada taraf ini akal bersifat pasif. Pengetahuan diperoleh dengan sendirinya tanpa memerlukan proses berfikir. Pengetahuan ini merupakan limpahan dari akal yang selamanya aktual (akal aktif malaikat yang bertugas untuk memberi pengetahuan pada manusia)

E. Penutup

Dari gambaran tentang pembagian jiwa oleh al-Ghazali ini dimaksudkan agar dengan mengenal hakekat jiwa manusia, maka akan terbantu mengenal Tuhan. Di mulai dengan mengenal jiwa manusia  dan daya-dayanya kemudian menuju ma’rifatullah. Penetapan jiwa secara umum tumbuh dengan pengaruh nutrisi, tumbuh dan berkembang biak, hewan dengan pengaruh indera dan gerak ikhtiar, dan jiwa manusia dengan kemampuan gerak dan persepsi totalitasnya, diketahui bahwa semua perilaku berkaitan dengan suatu prinsip yang dinamai jiwa.

Dari perpspektif psikologi sufistik, al-Ghazali memetakan perkembangan jiwa manusia menuju kesempurnaan dengan puncaknya berupa pengetahuan atau penyatuan dengan yang Maha Mutlak.  Dan ini hanya dapat dialami oleh jiwa-jiwa manusia yang bersih yang telah mendapatkan nur Ilahi.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply