Pemikiran Politik Jamaludin Al-Afghani

Riwayat Singkat
Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bin Shafdar Al-Husaini yang lahir pada tahun 1835 M di As’adabat dekat Kota Kunar yang termasuk kawasan distrik Kabul bagian timur Afghanistan. Ayahnya bernama Shafdar Al-Husaini, seorang bangsawan terhormat dan mempuyai nasab sampai ke Ali bin Abi Thalib dari jalur At-Tirmidzi, seorang perawi hadits yang termasyhur.[1]

Di masa kecilnya Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta keluarganya. Sejak masa kecilnya telah nampak pada diri Al-Afghani kecerdasan dan kemauan yang besar untuk menggali pengetahuan. Dalam usia delapan tahun ia mulai belajar disiplin ilmu dan menguasai beberapa ilmu, diantaranya Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik, sejarah, musik dan termasuk ilmu-ilmu eksak.[2]

Dalam rangka menambah wawasan pengetahuannya, Al-Afghani melanjutkan studi ke India dan menetap disana selama satu tahun untuk belajar pengetahuan-pengetahuan Barat dan metodologinya serta bahasa Inggris. Tahun 1857 ia menunaikan ibadah haji ke mekah dan sekembalinya di Afghanistan, ia diangkat menjadi pembantu pangeran Dost Muhammad Khan.

Pada taun 1864, Al-Afghani menjadi penasehat Sher Ali Khan dan pada masa Muhammad Azzam Khan menjadi perdana menteri. Karena terjadinya konflik dalam negeri Afghanistan, ia kembali menuju India untuk kedua kalinya pada tahun 1869. Saat itu India jatuh ke tangan Inggris, oleh karenya ia memutuskan untuk menuju Mesir pada tahun 1871. Di Mesir ia sempat berkenalan dengan kalangan ulama Al-Azhar dan memberikan kuliah. Selanjutnya Al-Afghani pergi ke Turki dan diangkat sebagai anggota Majelis Pendidiakan Turki dan sering diundang untuk menyampaikan ceramah di Aya Shofia dan Masjid Sultan Ahmad.
Karena keberadaanya yang dianggap membehayakan posisi kepala pemerintahan, timbullah fitnah yang dilancarkan oleh Hasan Fahmi Syaikh Al-Islam dengan mengatakan bahwa ceramah-ceramah Al-Afghani banyak mengandung unsur penghinaan terhadap kenabian. Dengan alasan ingin menunaikan haji, maka Al-Afghani meninggalkan Turki dan kemudian menetap di Mesir hingga tahun 1879.[3]Pada masa inilah ide pemikiran dan aktivitas memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya Mesir.[4]

Al-Afghan telah mengunjungi beberapa kota di Eropa bahkan menetap di sana. Tahun 1882 berada diLondon, lalu satu tahun kemudain ke Paris, dan kembali lagi menetap di London tahun 1885. Selanjutnya ke Teheran, ke Moscow tahun 1887, ke Jerman dan akhirnya kembali lagi ke Teheran.

Pengamanan merantau inilah yang kemudian membentuk wawasan berfikirnya yang luas, bebas dan demokratis yang tentunya telah banyak melahirkan banyak murid asli didikan dan binaan yang dilakukan Al-Afghani yang mewarnai sejarah pemikiran di dunia Islam. Akhirnya pada tahun 1897 ia wafat di Istanbul karena sakit.

Gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hndak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard[5], yakni :
1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2. Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3. Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
5. Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme.

Menurut Al-Afghani, hal-hal tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapui dunia Barat dan mempertahankanya dari keruntuhan. Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran tersebut menurutnya bukan karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak berupaya mengubah nasibnya.
Perpecahan terjadi di kalangan mereka maka pemerintahan menjadi absolut, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing.[6]

Menghadapi paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak berkuasa mutlak.

Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat.
Untuk tujuan di atas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat.

Pan Islamisme (Al-jami’iyyah Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam.[7] Solidaristas sepeti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir Quraisy ataupun dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya menciptakan kesejahteraan umat.

Semangat pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruah besar di kalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemuadian menyadarkan mereka akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisai seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan meleaskan diri dari pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun.

Seruan Pan-Islamisme menghasilakan pengaruh yang sangat besar dan mendalam.[8] Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan umta yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta torkoh lainnya.

Konsep Negara menurut Al-Afghani
Selain Pan-Islamisme, Al-Afghani juga mengajukan konseop negara republik yang demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarkhi absolut. Menurutnya, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang memiliki banyak pengalaman. Pengetahuan manusia secara individu amat terbatas. Islam dalam pandangan Al-Afghani menghendaki pemerintahan Republik di mana kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada Undang-undang.[9]
Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki bentuk republik karena di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar.[10]
Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Sebelumnya umat Islam hanya mengenal system kekhalifahan yang mempunayai kekuasaan absolut.

Dalam pemerintah republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala Negara. Ia hanya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang digaiskan oleh lembaga legislative untuk memajukan kemaslahatan rakyat.[11]

Pendapat Al-Afghani tersebut jelas dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Penafsiran Al-Afghani tersebut lebih maju dari Muhammad Abduh. Islam dalam pemikian Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan, Jika system khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebadan berpikir.

Pemunculan de Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu sebab kemunduran umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan absolute. Abduh pun melihat sikap jumud merupakan penyebab kemunduran umat Islam, akibat dari pemeritnahan sewenang-wenang dan absolute. Abduh, sebagaiman agurunya -Al-Alghani- berpendapat bahwa Islam punya unsure dinamis, yang dapat disesuaikan dengan pekembangan zaman, dengan jalan ijtihad.[12]

Di dalam pemerintahan absout dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya pada raja/kepala Negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh undang-undang. Karena itu, A-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absolute dan otokrasi diganti dengan coak pemeritahan demokrasi.[13]

Bukti keinginan Al-Afghani akan pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya tentang keharusan kepala Negara mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pegalaman.[14]

Pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menghargai hak-hak individu. Pemerintahan otokrasi yang mawujud dalam institusi khilafah saat itu harus diganti denegan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu.[15]

Pemerintah yang demokratis menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu kebijaksanaan Negara. Ide dari wakil rakyat yang berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerithah. karenanya para wakil rakyat haruslah berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil-wakil tersebut akan memabwa dampak positif pada pemerinnthan sehingga akan melahirkan uandang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.[16]

Demikain juga para pemegang kekuasan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-unang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah karena kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku di dalamsistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai dengan ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu harus diperoleh melaui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demkian orang yang dipilih mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaanya itu[17].
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujaun untuk mempersatukan umat Islam guna menghadapi penetrasi Barat dan kekuatan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islaminya tidak jelas. Apakah bentuk kerjasama itu dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau dalam bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang atau badan yang mengkoordinasikan kerjasam tersebut, dan atau seperti negara persemakmuran dibawah Negara Inggris.

Menurut Munawir Sadjali, Pan-Islamisme Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar Negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman intern para pengusa muslim yang lalim, menentang kolonialisme dan imperialisme Barat serta mewujudkan keadilan.[18]

Penutup
Dalam kiprahnya di dunia politik Al-Afghani banyak meyumbangkan pemikiran, yakni:
1. Keyakian bahwa kebangkitan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin.
2. Perlawanan terhadap kolonislisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan
3. Pengakuan terhdap keunggulan Barat dalam Ilmu dan Teknologi, dan karenanya umat Islam hars belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut.
4. Menentang setiap sistem yang sewenang-wenang dan menggantikannya dengan pemerintahan berdasarkan musyawarah.
5. Menganjurkan pembentukan Jamiah Islamiyah/ Pan-Islamisme, menyatukan seluruh umat Islam termasuk Persia dengan menggunakan suatu bahasa yakni bahasa Arab.
6. Melakukan perubahan kekuasan dengan cara revolusi.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply