Ujian Nasional bagi siswa SMA dan sederajat mulai kembali dilaksanakan pada tahun ini. Dibayang-bayangi dengan berbagai indikasi kecurangan dan kontroversi tentang layak tidaknya dijadikan sebagai penentu kelulusan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional tetap bersikukuh melaksanakan ujian nasional yang akan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Siapapun kita, apakah sebagai bagian dari pejabat pendidikan nasional, apakah para pejabat sekolah, apakah para guru, apakah para orang tua siswa, sampai siswa sendiri, mau tidak mau harus menghadapi kenyataan ini dan mendukung serta melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Membuka kembali perdebatan tentang perlu atau tidaknya ujian nasional dilaksanakan atau dijadikan sebagai penentu kelulusan, saat ini sudah tak berguna dan tak diperlukan. Mencoba memahami posisi masing-masing pendapat ditinjau dari transformasi pendidikan di negeri ini rasanya dapat lebih memberikan solusi dibandingkan memperdebatkannya kembali yang justru memperuncing keadaan dan malah tak mendukung terhadap keberhasilan pelaksanaan ujian nasional itu sendiri.
Transformasi pendidikan menurut Buchori (1995: 1) adalah perubahan wajah dan watak pendidikan. Perubahan pendidikan yang terjadi di negeri ini ditinjau dari pendidikan formal maupun non formal, memang terasa sekali baik dari sisi kuantitas maupun kualitas berdasarkan kecenderungan kebutuhan masyarakat terhadap dua jenis pendidikan ini. Perubahan menurut Buchori (1995: 12), tidak selamanya mengarah pada kemajuan demikian pula sebaliknya tidak selalu menghasilkan kemunduran. Perubahan yang baik adalah perubahan yang terkendali dalam arti mampu mengoptimumkan kemajuan dan meminimumkan kemunduran dalam prosesnya. Mengendalikan transformasi pendidikan juga terkait dengan apa yang perlu dilakukan oleh pendidikan dalam menanggapi berbagai jenis imperatif baik yang berhubungan dengan politik, lingkungan ekonomi, maupun lingkungan teknologi. Dengan melaksanakan transformasi pendidikan yang mampu memaksimumkan kemajuan dan meminimumkan kemunduruan melalui proses pengendalian dan penterjemahan yang akurat terhadap berbagai persoalan yang harus dihadapi, harapan akan adanya suatu sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan di masa depan akan semakin terbuka. Sistem pendidikan demikianlah yang dapat disebut sebagai pendidikan transformatif. Pendidikan transformatif dengan demikian dapat mengatasi persoalan yang dihadapi seluruh lapisan masyarakat yang seharusnya memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan baik formal maupun non formal, karena keduanya telah relevan dengan tuntutan di masa depan.
Pendidikan transformatif yang seharusnya mengatasi persoalan untuk menjawab tantangan di masa depan ternyata masih belum dapat berlaku di negeri ini. Kecenderungan untuk memperdebatkan pelaksanaan ujian nasional yang nota bene -menurut pemegang kebijakan- menguji kemampuan para peserta didik untuk dapat menyelesaikan soal-soal yang “hanya” mengukur “standar” kompetensi mereka, menunjukkan bahwa ada persoalan yang belum disepakati tentang makna standar itu sendiri. Kecenderungan terjadinya kecurangan dalam setiap pelaksanaan ujian nasional yang tampak dari pengamanan berlebihan baik berupa pembuatan lima paket soal untuk setiap ruang ujian maupun pengawasan beberapa pihak di luar sekolah yang terkesan tak mempercayai sepenuhnya terhadap kejujuran dari panitia pelaksana atau pihak sekolah, juga merupakan bentuk dari perbedaan pemahaman antara para pemegang kebijakan dan pelaksana di lapangan tentang makna standar.
Bagaimana dapat disebut sebagai “standar”, jika para guru justru malah mencurahkan perhatian sepenuhnya terhadap upaya mencapainya dengan berbagai cara termasuk men-drill siswa dalam menyelesaikan soal-soal ujian nasional. Bagaimana dapat disebut sebagai “standar” jika setiap pelaksanaan ujian nasional selalu membuat banyak pihak merasa ragu terhadap kelulusan para peserta didik. Bagaimana mungkin sistem pendidikan kita dapat mencapai derajat pendidikan transformatif apabila tujuan utama pendidikan selalu terlupakan akibat disibukkannya para guru dan tenaga kependidikan oleh hal-hal yang hanya bersifat standar. Bagaimana mungkin pendidikan transformatif dari sistem pendidikan kita dapat diraih jika siswa yang tak mencapai standar kelulusan di sekolah formal seolah tak memperoleh alternatif lain untuk menyongsong masa depannya.
Dari tulisan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perubahan kuantitas ternyata tak berbanding lurus dengan kualitas pendidikan itu sendiri baik formal maupun non formal. Demikian pula dengan perubahan kualitas sarana prasarana maupun sumber daya manusia yang terlibat dalam pendidikan ternyata justru masih mengindikasikan adanya kemunduran sebagai hasil dari sebuah perubahan. Kecenderungan terjadinya kecurangan mengindikasikan ketidaksiapan sistem pendidikan dalam menyediakan pendidikan non formal yang menjanjikan dan menjamin peserta didik yang tak mencapai standar kelulusan di pendidikan formal untuk dapat tetap berkiprah demi menyongsong masa depan. Akibatnya, kelulusan peserta didik seolah merupakan harga mati dari sistem evaluasi bernama ujian nasional. Padahal dimanapun yang bernama ujian, ketika dia merupakan sebuah proses evaluasi yang akan menentukan kelulusan, seharusnya menghasilkan dua kemungkinan yakni lulus atau tak lulus.