Penyair lirih kita, Goenawan Mohamad, pada tahun 1994 menulis sebuah puisi, “ Misalkan Kita di Sarajevo”. Sungguh puisi yang getir. Saya menyukainya setelah seorang kawan yang seorang penyair musiman membacakannya dalam sebuah acara panggung bebas di Jogja, setiap menampil dijanjikan satu nasi kotak yang kemudian kami makan berdua. Seorang kawan itu tampil karena kami kelaparan. Sebuah momen puitik yang menghantarkan saya menyukai puisi itu, tentu juga karena penggalan puisi yang mempunyai kekuatan makna:
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?
Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandum
dan tak ada lagi
orang membaca.
Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?
Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan…
Api itu menyala selama tiga hari di penghujung Agustus. Meski telah ditandai dengan bendera biru sebagai tanda warisan budaya, gedung itu tetap dibakar menggunakan 25 bom api. Bangunan tinggi penuh warna di tepi sungai Miljacka itu adalah Perpustakaan Nasional Sarajevo. Pada 25 Agustus 1992 perpustakaan itu diberondong tembakan sejak pukul setengah sebelas malam: tiang-tiang terbakar, jendela-jendela meledak, membuat api semakin melebar. Atap perpustakaan runtuh menimpa lantai—tempat sisa-sisa manuskrip, karya seni, potongan dinding, dan semuanya berserakan.
Umumnya perpustakaan bukanlah sasaran serangan militer. Perpustakaan biasanya hanya sampingan dalam suatu peperangan. Namun dalam kasus Sarajevo, kita bisa melihat perpustakaan sebagai tujuan utama penghancuran. Jendral Serbia Ratko Mladric, pemimpin orperasi saat itu menginginkan penghancuran menyeluruh; budaya dan genosida. Maka strategi kuno damnation memoriae atau penghapusan ingatan dilakukan dengan cara membakar jutaan buku dan arsip di perpustakaan Sarajevo yang menyimpan 1,5 juta buku, 155 ribu teks langka, 478 manuskrip, dan jutaan terbitan dari seluruh dunia.
Peristiwa mengenaskan ini adalah awal dari perang Bosnia 1992-1994. Tahun-tahun itulah di Bosnia berlangsung aksi-aksi kekerasan paling radikal dalam sejarah Eropa. Hingga berakhirnya perang, 188 perpustakaan diserang, 43 diantaranya musnah. Selain itu 1.200 Masjid, 150 Gereja Katolik, dan 1000 monumen budaya rusak.
Heinrich Heine, kritikus sastra asal Jerman menulis sebuah kalimat terkenal: “Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.”
Kalimat itu adalah kalimat pembuka buku Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Dalam bukunya, Baez mengupas semua hal tentang pembakaran buku dan pengahancuran ingatan. Menurutnya, buku dihancurkan bukan sebagai objek fisik, melainkan sebagai tautan ingatan. Kita bisa melihatnya ketika suatu kelompok atau bangsa berusaha menguasai yang lain, hal yang pertama mereka lakukan adalah menghapus jejak ingatan dan membentuk ulang identitasnya. Dan membakar buku adalah cara paling efektif.
Menurut Baez, penghancuran buku-buku dimulai dengan pembatasan, penyensoran, penjarahan, dan terakhir penghancuran. Setidaknya ada dua jenis penghancuran buku. Pertama, karena pengabaian– pembiaran buku yang akhirnya rusak, hancur dan lenyap. Kedua, karena takut isinya dibaca orang lain. Jenis yang terakhir disebut sudah bisa dipastikan adalah seorang yang dogmatis, ia memiliki pandangan dunia yang seragam, dan tak terbantahkan.
Banyak sejarah memilukan tentang penghancuran buku dilakukan di tempat-tempat paling ramai di kota-kota. Seluruh masyarakat dikumpulkan untuk mendapatkan khotbah tentang buku-buku sesat, sebelum akhirnya bertumpuk-tumpuk buku dibakar. Hal seperti itu dilakukan karena karena detail visualnya, perubahan terang jadi gelap. Orang yang pernah melihat sesuatu terbakar akan mengenali warna hitam pekat, yang sulit untuk dilupakan. Melalui itu, pembakar buku hendak dikenang sebagai penguasa. Atas dasar itulah api digunakan sebagai penghancur.
“Api adalah penyelamat, atas dasar itu hampir semua agama mempersembahkan api kepada keilahian masing-masing. Api mempunyai daya untuk memelihara namun juga mengandung daya untuk menghancurkan. Ketika manusia menghancurkan dengan api, dia berlagak sebagai Tuhan, penguasa api kehidupan dan kematian. Dengan cara ini ia (para pembakar) mengidentifikasi diri dengan kultus pemujaan matahari dan mitos besar penghancuran, yang hampir selalu terjadi melalui pembakaran.” (hal. 20)
Baez dengan gamblang menjelaskan encyclopedic penghancuran, dalam deretan fragmen-fragmen yang terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, masa dunia kuno. Pada masa ini, penghancuran buku banyak disebabkan karena materialnya mudah rusak. Namun, selain itu, juga karena setiap penaklukkan wilayah selalu disertai penghancuran buku, mulai dari Sumeria, Mesir, Yunani, hingga Shing Huang Ti di Cina.
Bagian kedua, dari Byzantium hingga abad ke-19. Pada bagian ini kita bisa melihat masalah keyakinan menjadi penyebab penghancuran– dan yang paling doyan membakar buku adalah kalangan agamawan dan penganutnya yang konservatif. Kita juga akan tahu, bahwa setiap revolusi juga berarti penghancuran buku.
Bagian ketiga, dari abad 20 hingga sekarang. Bagian ini menurut saya paling kelam, serasa sangat dekat. Karena memang, banyak dilatarbelakangi persoalan ideologi. Mulai dari amuk fasis, militerisme, hingga kebencian etnis. Kesemuanya, masih berlaku hingga sekarang.
Beaz juga memaparkan beberapa penghancuran buku dalam cerita fiksi. Ide bahwa buku itu benda berbahaya yang bisa mengancam pemiliknya banyak didapati dalam sastra. Mulai dari Don Quixote, Edgar Allan Poe dalam The Premature Burial, hingga H.G Wells yang membayangkan masa depan yang menyeramkan dalam The Time Machine.
Sayang sekali Beaz sedikit sekali mengulas penghancuran buku di Indonesia, mungkin hanya satu.
“Pada tahun 2007 pihak berwenang di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, karena alasan politis membakar 30.000 buku ajar SMA dihadapan para siswa. Buku-buku itu tak sejalan dengan sejarah versi pemerintah tentang usaha kudeta tahun 1965, yang selama puluhan tahun dikambinghitamkan pada orang-orang komunis.” (hal. 247)
Pembakaran buku bukan hanya terjadi di negara-negara konflik. Indonesia termasuk nagara yang sering melarang, membredel, bahkan menghancurkan buku. Berdasarkan dokumentasi Radio Buku, sejak 1959-2009, lebih dari 300 buku lebih dilarang pemerintah Indonesia. Kebanyakan, alasan pelarangan atas dasar alasan ideologis, dianggap membahayakan pancasila, atau karena ditulis lawan politik. Misalnya, semenjak Orde Baru berkuasa kebanyakan karya yang dilarang adalah karya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Penulis yang palling banyak dilarang adalah Pramoedya Ananta Toer, setidaknya 24 judul bukunya dilarang pemerintah.
Budaya jahili itu ternyata masih berlanjut, bahkan setelah reformasi. Dalam buku Pelarangan Buku di Indonesia (2010). Sejak tahun 2002-2010 setidaknya ada 12 judul buku dan puluhan buku ajar sejarah tingkat SMP dan SMA yang dilarang beredar.
Sebenarnya masih banyak sekali kasus pelarangan atau razia buku, entah oleh militer, polisi atau kaum agamawan. Anda bisa mencari di mesin pencarian, dan Anda akan tahu negara ini masih dipenuhi orang-orang bebal.
Saya masih ingat, kira-kira tahun 2015 ketika nonton bareng film “Senyap”, kampus digrudug oleh rombongan ormas yang ingin membubarkan acara nobar dan diskusi film. Setelah itu, beredar isu razia buku-buku kiri hingga ke kontrakan-kontrakan mahasiswa. Seisi kontrakan panik, karena memang saat itu sedang ramai-ramainya razia buku. Seluruh buku-buku disembunyikan di tempat teman yang seorang takmir Masjid. Memindahkan foto Bung karno di kamar mandi, Tan Malaka di dapur, dan hanya menyisakan foto Kiyai Sahal Mahfud di ruang tamu.
Memang razia buku tahun-tahunan menyebabkan trauma bagi banyak orang. Tetapi melarang peredaran buku berati menggali liang kubur, sebab setiap buku yang dilarang akan menemukan pembacanya berkali lipat.
Benar, begitulah kemerdekaan bekerja.
Judul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa │ Penulis Fernando Baez │ Penerjemah Lita Soerjadinata│ Penerbit Marjin Kiri│Tebal xiv + 410 halaman│ Tahun Terbit 2017 (edisi asli 2004) │ Peresensi Ajid Fuad Muzaki.