Bahwa sumur zamzam pernah tak mengalir karena memang tak ada yang membutuhkan, tapi ketika makhluk kecil menangis kehausan, zamzam pun mengalir hanya karena sentuhan kaki kecil Ismail. Bahwa keceriaan tak pernah mengalir karena memang terbendung keserakahan, tapi ketika jelata terfakirkan, asapun mengalir karena sentuhan kecil hati kemanusiaanmu. Sahabat…………….. Nyaris aku menangis, karena pernyataanmu lebih panas dari suhu batukaras, lebih menggelegar dari bunyi pecahnya ombak, bahkan lebih menyakitkan dari segala rasa sakit yang selalu berkumpul dalam rongga rasa. Tapi aku tidak menangis, karena airmata lebih banyak terurai dari para buaya. Kalaupun sahabat-sahabat kecil kita tetap menangis, mereka bukan buaya, mereka hanya takut keceriaan dalam mengais ilmunya terserabut keserakahan institusi. Sahabat…………….. Hampir saja terucap salam perpisahan yang kemudian tertahan oleh berjuta pertanyaan. Engkaukah Benyamin S ? Engkaukah Si Doel Anak Betawi ? Engkaukah Si Jampang jago Betawi ? Engkaukah Pendekar Cisadane ? Atau Engkaukah Mr. Moh Yamin yang begitu elegan dalam legenda Piagam Djakarta ? Yang aku tahu Engkau adalah pembuka keran-keran air zamzam bagi musafir padang tandus, bagi jelata yang terfakirkan, bagi ismail-ismail kecil yang teryatimkan, hajar-hajar kecil yang berlarian antara bungbulang dan sodong, antara rancak dan bekasi, antara wanaraja dan kotabaru, antara cisurupan dan rajamandala, antara tangerang dan cinisti, antara cikajang dan dayeuh kolot, antara rangkas dan singaparna, antara tasik dan bandung, antara cianjur dan bogor, antara rajapolah dan cililin lantaran haus menuntut ilmu yang sudah terdagangkan. Sahabat…………. Pernyataanmu adalah pertanyaan kami yang kemudian akan menjadi kenyataan bahwa kita pernah ada.