Orang-orang mengenal Sancang sebagai tempat mujarab jika seseorang ingin menguasai bermacam ilmu hitam. Kamu ingin bisa membunuh orang hanya modal berkedip? Datanglah ke Sancang. Kamu ingin menguasai ilmu pelet biar bisa meniduri seribu wanita? Datanglah ke Sancang. Kamu ingin jago teluh atau santet? Datanglah ke Sancang. Kamu ingin bisa merupakan dirimu ke dalam berbagai binatang? Datanglah ke Sancang. Atau kamu ingin punya kemampuan untuk mengubah dedaunan menjadi lembaran-lembaran duit? Maka Sancang adalah tempat terbaik untuk berguru. Atau, kalau kamu tak punya keinginan untuk menjadi orang sakti, tapi hanya ingin membalaskan dendam kepada mantan kekasihmu yang telah membuatmu patah hati dengan memasukkan sekarung beling ke perutnya, atau kamu ingin menyingkirkan lawan politikmu di perhelatan pilkada dengan sekeji-kejinya, atau kamu ingin merebut harta mertuamu yang kaya raya dengan cara sehalus mungkin, maka jelaslah, kamu perlu berkunjung ke Sancang.
Sancang adalah tempat di mana orang-orang sakti pada bermukim. Mereka adalah orang-orang sakti kawakan, yang terceritakan karena kemampuannya yang luar biasa dalam merenggut nyawa dengan anggun. Dan yang menjadi lebih luar biasa lagi, adalah hasil kerja mereka tak pernah dapat disentuh oleh hukum negara. Sebab jika pihak berwajib seperti polisi mendengar ada seseorang terbunuh dengan ciri-ciri tak pernah tersentuh, dan kemudian orang-orang merumorkan bahwa itu adalah kematian kiriman dari Sancang, maka pihak berwajib seperti polisi hanya akan tutup mata dan menulikan telinga. Mereka tak hendak berurusan dengan perkara begitu, karena akibatnya bisa sangat fatal.
Sekali waktu seorang polisi yang baru dipindahkan dan menjabat sebagai kapolsek, mati di ruang kerjanya disaksikan seluruh anak buahnya setelah muntah paku, beling, dan kalajengking. Usut punya usut, ternyata beberapa hari sebelumnya ada warga yang melaporkan sebuah kematian dengan ciri-ciri tak tersentuh. Anak buahnya, sebagaimana biasa, tak hendak menanggapi laporan tersebut, dan hanya menyuruh si pelapor untuk pulang ke rumah dan menasihatinya supaya banyak-banyak berdoa. Tapi dengan cara paling kebetulan, si kapolsek mendengar laporan tersebut. Ia memaki anak buahnya yang tak tanggap akan laporan dari warga. Telah menjadi tugas dan kewajiban polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara. Si anak buah membela dirinya dengan mengatakan kemungkinan keterlibatan Sancang, dan kasus semacam itu tak hanya terjadi sekali-dua kali, tapi telah jutaan kali. Namun begitulah, didorong rasa nasionalisme seorang prajurit dan ketidakpercayaan pada hal-hal gaib semacam ilmu hitam, sebelum menyuruh anak buahnya untuk menuju Sancang, dengan cara paling pongah si kapolsek berkata, “Tak ada itu ceritanya orang beriman dikalahkan orang musrik!” Si kapolsek lupa–atau jangan-jangan tak tahu?–bahwa banyak dari paman Nabi Muhammad yang ahli pedang pun mati dibunuh orang-orang kafir kures ketika perang.
Untuk membuktikan bahwa dirinya tak hanya sekadar pimpinan yang cuma sekadar jago cincong, si kapolsek turun langsung dan ikut berangkat dalam rencana membabat segala kebatilan di Sancang.
Sebagaimana perkiraan para anak buahnya yang lebih berpengalaman dan menguasai medan, ketika tiba di Sancang, mereka tak menemukan apa pun. Di tempat yang dicurigai sebagai tempat tinggal seorang dukun, mereka hanya menemukan sebuah saung butut yang telah reyot menghadap ke timur. Kesal rasanya seperti sedang dipermainkan, si kapolsek akhirnya memerintahkan anak buahnya untuk membakar saung tersebut. Anak buahnya tak berani bertindak sembarangan di hutan larangan Sancang, apalagi bertindak goblok dengan membakar sebuah saung. Tapi demi melihat pimpinannya mengeluarkan pistol, dan mengancam akan membunuh mereka satu per satu jika perintahnya tak dijalankan, dengan perasaan paling terpaksa, mereka pun menurut. Dan seperti telah diketahui akhirnya, demikianlah akibatnya jika seseorang bertindak gegabah apalagi goblok di Sancang. Beberapa hari kemudian si kapolsek mati setelah muntah paku, beling, dan kalajengking.
Hal tersebut tak begitu mengejutkan orang-orang. Sebab itu bukanlah kali pertama pihak berwajib dengan gRubadanya berupaya menumpas segala kebatilan di Sancang. Di waktu-waktu terdahulu, kejadian semacam itu pernah terjadi beberapa kali. Polanya pun sama, yakni ada kapolsek yang baru dipindahkan ke situ, tak percaya pada keangkeran Sancang dan malah terkesan menantang, lalu mendatangi Sancang, dan beberapa hari kemudian mati. Yang berbeda mungkin cara para kapolsek itu mati; satu ada yang muntah paku, beling dan kalajengking seperti yang telah diceritakan sebelumnya; satu ada yang ditemukan mati di ranjangnya dengan ratusan ular berbisa mengerubunginya; satu ada yang mati tertimpa pohon yang disambar geledek ketika sedang mengendarai mobil; satu lagi ada yang mati diterkam macan hutan di kamar mandi; dan dengan cara yang paling tak masuk akal, ada juga kapolsek yang mati tersedak kelabang.
Upaya lebih jauh bahkan pernah ditempuh oleh pihak berwajib di kabupaten. Polres, bekerja sama dengan Kodim 303 sempat mencoba mengirimkan satu peleton pasukan gabungan untuk memadamkan keresahan orang-orang dan kebatilan yang ada di Sancang. Tanpa basa-basi, pasukan tersebut langsung menjelajah hutan larangan Sancang dan mengobrak-abrik tempat-tempat yang sekiranya dicurigai sebagai sarang para dedengkot ilmu hitam. Gubuk-gubuk pada dibakar, gua-gua tempat semadi pada diruntuhkan atau ditutup, batu-batu datar tempat tapa pada dihancurkan hingga berkeping-keping. Namun di hutan larangan yang dicurigai sebagai sarang para dedengkot, pasukan gabungan tersebut tak pernah berhasil menemui apalagi menangkap para kawakan ilmu hitam. Jangankan orang, pasukan gabungan tersebut tak mendapati semut atau serangga atau hewan apa pun yang biasanya hidup di hutan. Maka dalam keadaan kesal sebab tak berhasil dalam menjalankan misi, gubuk-gubuk, gua-gua, dan batu-batulah yang menjadi sasaran kekesalan mereka. Tapi kemudian kekesalan pasukan gabungan tersebut tak cuma sampai di situ.
Telah menjadi rahasia umum bahwa padepokan atau perguruan tempat para dedengkot ilmu hitam memang berada di hutan larangan tersebut, tapi tak bisa dilihat hanya dengan mata telanjang. Konon katanya, perguruan tersebut terletak di dalam pohon beringin yang jalan masuknya berupa lubang sebesar lubang jarum. Konon katanya perguruan tersebut terletak di bawah tanah yang jalan masuknya berupa lubang sebesar semut. Konon katanya, perguruan tersebut terletak di dalam sungai besar yang membelah hutan larangan tersebut, dan jalan masuknya adalah dengan menyelam menumpang kepada buaya bukan sembarang buaya. Berdasar pada informasi sepotong-sepotong, pasukan gabungan tersebut lantas menebang puluhan pohon beringin yang telah hidup selama puluhan tahun. Pohon-pohon beringin tersebut ditebang, dipotong-dipotong, dan lalu dibakar. Pasukan gabungan tersebut pun menghancurkan lubang-lubang yang berada di bawah tanah dengan menggalinya, dan kemudian meratakannya.
Hutan larangan telah dibersihkan, dan tak ada seorang pun dari pasukan tersebut yang diserang atau dicelakai. Pemimpin dari pasukan gabungan tersebut menjadi sesumbar, dan melontarkan perkataan, “Semua hanya kentut. Tak ada itu namanya orang sakti yang bisa membunuh hanya dengan mengedipkan matanya. Kalaupun ada, sudah dari tadi harusnya mereka keluar melawan. Apa mereka takut, hah?!” Si pemimpin lalu tertawa menyepelekan, diikuti oleh seluruh anggotanya.
Setelah menyelesaikan tugasnya, pasukan gabungan tersebut mendirikan sebuah tenda militer di lapangan bola dekat kantor desa. Mereka memang tak terburu-buru untuk kembali ke kabupaten. Pasukan gabungan tersebut hendak menunggu selama beberapa hari, apakah ada hal aneh yang akan terjadi pada mereka atau tidak. Hari itu tak terjadi suatu keanehan pun. Ketika sore datang, hanya hujan lebat turun mengguyur hingga malam, dan baru berhenti ketika menjelang subuh.
Paginya masyarakat dibuat serangan jantung demi menyaksikan pasukan gabungan yang total berjumlah lima puluh orang tersebut mati. Tubuh setiap pasukan membiru, dan kulit mereka meletup seperti terbakar, dan darinya mengeluarkan nanah campur darah. Bau busuk segera mengepung udara. Orang-orang percaya bahwa hal itu adalah akibat dari apa yang telah mereka perbuat pada hutan larangan Sancang. Sejak saat itu, pemerintah tak pernah lagi berani untuk mengusik Sancang.
Sesungguhnya, selain terkenal sebagai pusat segala ilmu hitam di dunia, Sancang juga terkenal karena keindahan alamnya. Walaupun dikenal angker, tapi Sancang tak terletak di belahan bumi yang terisolasi. Sancang terletak di samping jalan utama yang membelah perkebunan karet dengan luas ratusan hektar. Jalan utama tersebut merupakan jalur selatan yang menghubungkan antara sisi timur Priangan, yakni Pangandaran, kemudian menuju ke barat melewati wilayah Tasikmalaya bagian selatan, Garut bagian selatan, Cianjur bagian selatan, dan berakhir di wilayah Sukabumi bagian selatan. Jika dari arah barat, seseorang hanya perlu belok ke kanan untuk sampai di Sancang. Jika dari arah timur, maka seseorang hanya perlu belok ke kiri supaya dapat mencapai Sancang.
Untuk sampai ke hutan larangan, orang-orang harus melewati jalan tanah campur batu yang membelah perkebunan karet. Setelah menempuh sekitar tiga kilo perjalanan, orang-orang akan mendapati dua jalan bercabang; jalan yang ada di sebelah kiri adalah jalan menuju pemukiman warga, dan jalan di sebelah kanan adalah jalan menuju hutan larangan, yang kemudian akan berakhir di pantai yang begitu indahnya. Tapi, entah itu mengambil jalan ke kiri atau ke kanan, orang-orang harus terlebih dahulu menyebrangi jembatan yang membelah sungai yang begitu besar nan dalam dan yang konon dipenuhi buaya bukan sembarang buaya.
Orang-orang tetangga kecamatan banyak yang datang ke Sancang untuk sekadar wisata di pantainya yang indah. Pantai Sancang sangat terjaga, begitu asri, bersih, dan tak ada sampah berserakan di pasirnya yang putih. Sebab, siapa pula yang berani membuang sampah sembarangan di Sancang? Jangankan untuk buang sampah, untuk sekadar kencing atau meludah pun orang-orang harus mengucap permisi terlebih dahulu. Jika tidak, maka seseorang akan menerima akibatnya; entah itu kemaluannya membengkak, atau mulutnya mengeluarkan nanah dan bau busuk.
Selain memiliki pantai yang indah, orang-orang pun begitu kepincut untuk bisa mengunjungi hutan larangan. Hutan larangan juga tak kalah indahnya dengan pantai. Di dalamnya, beragam jenis burung langka hidup bebas berkeliaran, berdampingan dengan lutung-lutung, ular-ular raksasa, bermacam jenis serangga dan hewan melata. Namun untuk memasuki hutan larangan, orang-orang diharuskan mematuhi beberapa peraturan. Di antaranya dilarang mengambil foto, dilarang meludah, dilarang menyentuh pepohonan, dilarang membunuh hewan sekecil apa pun, dilarang berucap sembarangan, dilarang kencing sembarangan, dan dilarang membawa apa pun keluar dari hutan, bahkan sesepele membawa batu ataupun ranting dan dedaunan.
Menurut penuturan warga sekitar, jika orang-orang tak berlaku congkak dan punya sopan santun serta menaati segala peraturan yang telah ditetapkan, tak akan pernah mereka mendapat gangguan atau celaka. Bahkan mungkin, jika orang-orang datang dengan sopan santun dan budi pekerti yang baik, barangkali orang-orang akan disuguhi pemandangan langka–bagi warga hal ini biasa saja–melihat ular sebesar pohon beringin lewat, atau menyaksikan keanggunan burung-burung langka, atau menyaksikan lutung-lutung berkelahi.
Demikianlah Sancang, kedudukannya sebagai tempat dedengkot ilmu hitam berhasil merawat alam dan segala makhluk hidup di dalamnya dengan baik. Pemerintah daerah pun kemudian menjadikan hutan larangan Sancang sebagai hutan lindung dan kawasan konservasi. Tak sedikit orang yang berkelakar begini, “Orang-orang dan pemerintah lebih takut dan taat kepada ilmu hitam, daripada takut dan taat kepada Allah.”
Orang-orang dari luar kabupaten, dan bahkan dari luar pulau juga banyak yang sengaja datang berkunjung untuk menyaksikan seperti apa tempat yang sering dibicarakan itu. Mereka ingin merasakan sensasi dan melihat batu-batu dan goa-goa tempat tapa dan semadi. Seringnya mereka datang karena ingin merasakan sensasi tersebut, hanya saja, kedatangan mereka juga tak semata-mata karena Sancang punya reputasi sebagai tempat legendaris untuk belajar ilmu hitam, tapi juga karena dua hal ini; pertama, karena dipercaya sebagai tempat disembunyikannya apa yang sering disebut harta Sukarno, dan kedua, karena dipercaya sebagai tempat tilem atau menghilangnya Maha Raja Pajajaran, Sri Baduga Maha Raja, Prabu Siliwangi.
Terkait harta Sukarno, entah bagaimana awalnya mengapa bisa-bisanya Sukarno menyembunyikan seluruh kekayaan negara di Sancang. Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, selain membawa maksud untuk menyembunyikan harta, kedatangan Sukarno ke Sancang juga dalam rangka untuk belajar segala ilmu yang bisa membuatnya sakti. Itulah sebab mengapa mudah bagi Sukarno untuk menaklukkan banyak perempuan. Karismanya dan keberaniannya yang begitu luar biasa itu juga didapatnya ketika dirinya menuntut ilmu di Sancang. Tak diragukan memang, jika memang benar, Sukarno datang ke tempat terbaik dan berguru dari guru-guru terbaik.
Konon katanya, harta tersebut sengaja disembunyikan di tempat angker seperti Sancang supaya dapat terlindung dengan baik. Reputasinya sebagai tempat para dedengkot ilmu hitam bermukim, menjadi pelindung sempurna bagi harta yang katanya tak akan habis dibagi tujuh turunan karena saking banyaknya. Ada yang menyebut bahwa harta tersebut ditimbun di bawah pohon beringin dan dilindungi oleh siluman lutung. Ada yang menyebut bahwa harta tersebut ditenggelamkan ke dalam sungai dan dijaga oleh siluman buaya. Ada juga yang menyebut bahwa harta tersebut disembunyikan di dalam gua yang pintu masuknya dijaga oleh harimau sebesar kerbau. Entah mana yang benar, yang jelas, setiap orang yang terobsesi dengan harta Sukarno dan berusaha mati-matian mencarinya, hanya akan bertemu dengan kegagalan.
Tak sedikit orang-orang yang terobsesi pada harta Sukarno, tapi banyak juga dari mereka yang berkunjung ke Sancang dengan maksud hendak menziarahi tempat-tempat bekas Prabu Siliwangi. Maka dari itu, orang-orang banyak bersemadi di tempat-tempat yang dipercayai sebagai petilasan Prabu Siliwangi, seperti pada batu karang besar yang menghadap samudera, pada sebuah batu datar di tengah hutan, atau pada tempat-tempat lainnya. Siapa tahu bisa sedikit kecipratan kesaktiannya? Begitu biasanya pikir orang-orang.
Konon dahulu kala, putra Prabu Siliwangi, yakni Raden Kian Santang, menguber ayahandanya tersebut dengan maksud ingin mengislamkannya. Pengejaran tersebut entah dari mana mulainya, dan yang pasti diyakini berakhir di hutan larangan Sancang. Beberapa cerita ada yang menyebut bahwa ayah dan anak tersebut bertarung hingga Prabu Siliwangi tewas. Beberapa ada juga yang menyebut bahwa pertarungan tersebut dimenangkan oleh Prabu Siliwangi. Tapi cerita yang paling populer sekaligus paling dipercayai, menyebutkan bahwa tak terjadi pertarungan luar biasa di antara ayah dan anak tersebut. Ketika pengejaran berhenti di Sancang, Raden Kian Santang mengajak ayahandanya untuk masuk Islam. Tapi Prabu Siliwangi menolak dengan berkata, “Biar Jang, biar Bapak tetap memeluk kepercayaan leluhur.”
Melihat sikap ayahandanya yang lembut, dan kepasrahan serta kekerashatiannya untuk tetap memeluk kepercayaan leluhur, Raden Kian Santang mengangguk. “Aku akan selalu berdoa buat Bapak.”
Dengan segala kesaktian yang dimilikinya, Prabu Siliwangi kemudian memutuskan untuk tilem. Tapi sebelum melakukannya, Prabu Siliwangi berpesan kepada anaknya, “Setiap urang Sunda kudu jadi maung!” Maka menyebarlah cerita, setelah menghilang, Prabu Siliwangi menjelmakan dirinya sebagai maung bodas alias harimau putih.
Banyak orang-orang mengaku pernah menyaksikan kegRubadaan dan merasakan karisma maung bodas, terutama warga sekitar. Warga Sancang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, dan seperti yang telah diketahui, untuk mencapai muara tempat perahu-perahu mereka disandarkan, warga harus melewati hutan larangan terlebih dahulu. Mereka akan berangkat melaut pada sore hari, dan baru akan pulang di waktu subuh atau pagi hari. Di waktu-waktu itulah para nelayan sering melihat penampakan maung bodas. Kadang mereka melihat maung bodas sedang duduk di atas batu datar, atau kadang maung bodas terlihat seperti sedang bersantai memandangi lautan, atau kadang maung bodas juga tampak seperti sedang berjalan-jalan di hutan. Saking seringnya mereka menyaksikan maung bodas, maka kemudian mereka menjadi begitu terbiasa oleh kehadirannya. Jika kebetulan mereka melihat, bertemu, atau tak sengaja berpapasan ketika hendak berangkat atau pulang melaut, maka mereka hanya akan mengangguk sopan dan mengucap permisi. Dan maung bodas akan membalasnya dengan mengangguk.
Salah satu dari banyaknya orang yang mengaku pernah melihat, bertemu, dan bahkan bercakap-cakap dengan maung bodas adalah Ki Sobirin.
Orang-orang tak ada yang tahu dari mana asal usul Ki Sobirin. Tiba-tiba saja pada suatu pagi ia datang, dan meminta izin kepada kuncen dan warga supaya diperbolehkan untuk bertapa di hutan larangan. Lebih khusus lagi, ia meminta izin untuk bertapa di tengah hutan di atas batu datar yang dipercaya sebagai petilasan tapa Prabu Siliwangi. Warga tak keberatan, dan kuncen mengizinkannya dengan syarat. Sebelum dapat bertapa di batu datar bekas Prabu Siliwangi, Ki Sobirin diwajibkan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia disuruh berpuasa selama tujuh hari, dan ketika sahur dan buka, ia hanya boleh memakan dedaunan dan buah-buahan. Setelah puasa selesai, ia diwajibkan untuk tirakat di atas karang menghadap lautan selama tiga hari tiga malam tanpa makan dan minum sembari membawa sesajian yang isinya seekor ayam cemani, kembang tujuh rupa, kemenyan dan nasi putih. Dan ketika tirakatnya selesai, ia kemudian diharuskan untuk mandi di sungai tanpa menggunakan sabun atau sampo. Ia hanya diperbolehkan mandi dengan menggunakan daun sirih sebagai pengganti sabun, sampo, dan pasta gigi.
Menurut pengakuannya, Ki Sobirin harus menghabiskan waktu di pertapaan selama setahun penuh untuk pada akhirnya bisa bertemu dengan maung bodas. Ia menceritakan kepada orang-orang, saat dirinya tengah tapa di tengah hutan di atas batu yang dipercaya sebagai tempat tapa Prabu Siliwangi, maung bodas mendatanginya. Demi merasakan karismanya yang luar biasa, Ki Sobirin dibikin gemetar dan mati kutu. Katanya, maung bodas berkata kepadanya akan mengajari segala ilmu yang dikehendakinya. Maung bodas tahu, ia tapa di batu itu karena ada maunya. Dan atas ketekunan, kegigihan dan kesabarannya dalam bertapa, serta rasa ajrih dan hormatnya, segala maksudnya pun akan dikabulkan.
Ki Sobirin menyebut, untuk menguasai segala apa yang dikehendakinya bukanlah suatu perkara cetek. Sebelum segala sesuatunya dimulai, ia diharuskan untuk melanjutkan bertapa di batu itu selama sembilan tahun lamanya. Selama sembilan tahun bertapa, ia dilarang untuk memakan apa pun kecuali dedaunan, dan hanya diperbolehkan minum air dari sungai. Ia dilarang untuk membunuh segala macam binatang. Sekalipun ada seekor ular atau semut bermaksud menggigitnya, atau seekor harimau hendak menerkamnya, atau seekor sanca hendak menelannya bulat-bulat, ia dilarang membunuhnya. Menyentuhnya pun haram baginya. Setelah bertapa selama sembilan tahun tanpa makan kecuali dedaunan, tanpa minum kecuali air sungai, tanpa menyentuh segala binatang yang mengganggunya, ia pun dinyatakan lulus. Dirinya dinyatakan telah siap.
Untuk mendapatkan segala ilmu yang dikehendakinya, Ki Sobirin diperintahkan untuk menaklukkan sembilan sungai besar yang berada di Sancang Satu sampai Sancang Sembilan. Di tiap-tiap sungai ia diharuskan bertapa nyantoka selama sembilan hari menghadap hulu,semadi dengan air mencapai sebatas mulut, dengan mulut terbuka, tidak makan apa pun kecuali jika makanan itu dibawa masuk oleh arus ke mulutnya. Barangkali ia akan memakan serangga, atau ranting, atau dedaunan, atau bahkan tai, atau malah tak menelan apa pun. Setelah selesai nyantoka, selama sembilan hari pula ia kemudian harus bertapa ngidang di atas batu datar di hulu, semadi dengan kaki dan tangan di atas batu seperti kijang, dan seperti kijang pula, ia hanya boleh makan rerumputan. Total ia harus bertapa selama delapan belas hari di tiap-tiap sungai.
Biasanya, jika telah menyelesaikan bertapa selama delapan belas hari, ia akan dibangunkan oleh mereka yang akan menjadi lawannya dalam ujian. Tapi jika tapanya yang delapan belas hari itu dinilai belum sempurna karena kurangnya niat atau ceroboh atau bahkan mengeluh dengan segala syarat dan larangan, maka ia diharuskan meneruskan tapanya dalam waktu yang tak ditentukan hingga dibangunkan oleh mereka yang akan menjadi lawannya.
Jika Ki Sobirin kelar bertapa di sungai kesatu, lawan yang harus ia hadapai dalam ujian adalah siluman lutung. Jika berhasil mengalahkan siluman lutung, maka ia bisa melanjutkan bertapa di sungai kedua dengan ketentuan yang sama, dan begitu seterusnya. Jika Ki Sobirin kelar bertapa di sungai kedua, maka ia akan melawan siluman buaya dalam ujiannya. Jika Ki Sobirin kelar bertapa di sungai ketiga, maka ia akan melawan siluman macan tutul dalam ujiannya. Jika Ki Sobirin kelar bertapa di sungai keempat, maka ia akan melawan siluman macam hitam dalam ujiannya. Jika Ki Sobirin kelar bertapa di sungai kelima, maka ia akan melawan siluman ular dalam ujiannya. Jika Ki Sobirin kelar bertapa di sungai keenam, maka ia akan melawan siluman kelelawar dalam ujiannya. Jika Ki Sobirin kelar bertapa di sungai ketujuh sampai kedelapan, maka ia harus menghadapi dua siluman harimau dengan kesaktian berbeda-beda; semakin tinggi tingkatnya, semakin tinggi kesaktiannya. Dan jika Ki Sobirin bisa sampai ke sungai kesembilan, dan menyelesaikan tapanya dengan baik, maka ia kudu berduel melawan Ratu Ular. Jika Ki Sobirin berhasil mengalahkan Ratu Ular, maka kitab pusaka segala ilmu hitam yang berisi segala ilmu hitam akan menjadi miliknya. Tapi itu pun jika Ki Sobirin bisa menang melawan siluman lutung. Sebab konon katanya, dalam sejarah Sancang yang legendaris sebagai tempat menuntut ilmu hitam, sejauh itu baru ada dua orang yang berhasil menang melawan siluman lutung; orang pertama adalah ia yang mendirikan kerajaan ilmu hitam di dalam pohon beringin; dan orang kedua adalah ia yang menulis kitab pusaka ilmu hitam. Jangankan berhasil menang, bisa tidak modar setelah melawan siluman lutung pun sudah syukur.
Kitab pusaka segala ilmu hitam itu adalah sebuah kitab tua, yang telah berumur ribuan tahun, yang ditulis di atas lembaran kulit kayu menggunakan bahasa Sunda kuno, yang tintanya berasal dari darah orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada kuasa gelap, yang tebalnya melebihi gelombang di lautan, yang beratnya melebihi berat Gunung Halimun, dan yang keaslian dan keontetikannya dijaga langsung oleh arwah para leluhur ilmu hitam. Kitab itu berisi segala pengetahuan mengenai bagaimana seseorang bisa mendapatkan kesaktian yang masyhur. Bagaimana seseorang bisa membunuh hanya dengan mengedipkan matanya, bagaimana seseorang bisa menyantet dengan kilat; bagaimana seseorang bisa menanamkan pelet dengan cara paling anggun; bagaimana seseorang bisa merubah dirinya menjadi segala apa yang dikehendakinya; bagaimana seseorang bisa menguasai ilmu terbang, menghilang, dan membagi dirinya ke dalam jumlah banyak; bagaimana seseorang bisa membuat kebaikan bertekuk lutut kepada keburukan.
Seseorang tak bisa mempelajari kitab-kitab tersebut seorang diri, sebab selain bahasa yang digunakan teramat sulit untuk dipahami, telah menjadi ketentuan bahwa barangsiapa yang hendak mempelajarinya harus dibimbing langsung oleh seorang yang telah kawakan. Dan mereka yang telah kawakan dalam ilmu hitam, bermukim di sebuah kerajaan yang letaknya di dalam pohon beringin, yang jalan masuknya hanya merupakan lubang sebesar jarum. Untuk bisa memasuki perguruan tersebut, ia yang hendak belajar harus merubah dirinya menjadi semut atau asap. Bukan suatu kebetulan mengapa lembar pertama dari kitab pusaka ilmu hitam berisi perihal cara-cara merubah diri ke dalam bentuk binatang dan non-materi.
Barangkali Ki Sobirin memang berhasil bertapa di sembilan sungai dan berhasil mengalahkan setiap lawannya dalam ujian. Ia secara beruntun berhasil memenangkan duel melawan siluman lutung, siluman buaya, siluman macan tutul, siluman macan hitam, siluman ular, siluman kelelawar, dua siluman harimau, dan mengalahkan Ratu Ular sebelum berhasil menguasai kitab pusaka segala ilmu hitam. Barangkali Ki Sobirin memang benar-benar berhasil merubah dirinya menjadi semut atau asap, dan kemudian berhasil memasuki kerajaan ilmu hitam yang terletak di dalam pohon beringin tempat para kawakan bermukim. Barangkali Ki Sobirin memang benar-benar berhasil melakukan semua itu. Karena kemudian, cerita mengenai kesaktian dirinya menyebar ke banyak wilayah.
Entah berapa puluh tahun waktu yang dibutuhkan Ki Sobirin untuk belajar dan berguru perkara ilmu hitam di kerajaan di dalam pohon beringin, yang jelas, setelah berhasil menguasai segala macam ilmu hitam, ia lalu membuka praktik di Gunung Halimun.
Dari sanalah kemudian cerita mengenai kesaktian Ki Sobirin mengalir, membanjiri telinga orang-orang sekitar, yang kemudian disebarkan lebih luas dari satu mulut ke mulut lainnya. Satu mulut bisa menyebarkan cerita itu ke sepuluh mulut. Dari sepuluh mulut, cerita tersebut lalu menyebar ke seratus mulut, seratus mulut ke seribu mulut, seribu mulut ke seratus ribu mulut, seratus ribu mulut ke sejuta mulut, dan begitulah seterusnya bagaimana cerita mengenai kesaktian Ki Sobirin menyebar. Melanglang buana menembusi batas-batas wilayah, hinggap pada setiap telinga, baik itu telinga orang biasa ataupun telinga mereka orang-orang kaya.
Banyak orang datang berbondong-bondong ke Gunung Halimun untuk meminta pertolongan kepada Ki Sobirin. Mereka yang datang adalah para pengusaha, yang menginginkan usahanya maju dengan menyingkirkan para saingannya. Mereka yang datang adalah para pejabat, yang menginginkan kenaikan pangkat dan pengasih supaya disenangi oleh atasan. Mereka yang datang adalah orang-orang yang tersakiti, yang ingin membalaskan dendam dengan cara paling keji. Mereka yang datang adalah orang-orang putus asa, yang bosan hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraaan. Ki Sobirin tak pernah meminta uang kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan atau kedipan matanya, sebab ia memang tak pernah membutuhkannya. Sebagai imbalannya, ia hanya meminta para pelanggannya bersumpah setia untuk menyembah dan mengabdi kepada kejahatan dan kekufuran.
Ada juga orang-orang yang datang membawa maksud ingin berguru kepada Ki Sobirin. Tapi jangan harap orang-orang tersebut bisa langsung diterima. Orang-orang yang terpilih, hanyalah mereka yang di dalam dirinya mempunyai kebengisan dan kebencian alamiah, serta bersedia untuk menyembah dan mengabdi kepada kejahatan dan kekufuran sampai mati. Selain itu–dan ini yang paling sulit–Ki Sobirin hanya akan menurunkan ilmunya kepada sembilan orang saja. Dua di antaranya, yang konon adalah murid terakhirnya, adalah Aki Sudanta dan Nini Ires, yang kini disebut orang-orang sebagai penguasa Gunung Manglieuk.
Begitulah, untuk menjadi jahat pun dibutuhkan perjuangan, ketekunan, kegigihan, serta kesabaran yang luar biasa.