Categories
Abah's Will Treasure

Surat untuk Emak di Lebakjero

Emak, bagaimana kabarnya hari ini, baik-baik sajakah? Bagaimana sakit pinggangnya, apakah masih suka terasa? Bagaimana pula rasa pegal-pegal di kaki, apakah masih sering terasa juga? Ah, Mak… maafkan anakmu ini yang masih belum bisa nengok ke kampung.

Emak, ternyata jadi guru itu berat. Aku sendiri masih bingung Mak, apakah aku ini guru karena pekerjaan (diupah majikan), atau guru yang memang ingin mencerdaskan saudara-saudaraku?

17 tahun sudah aku menjalani profesi sebagai guru. Tujuh tahun di Cililin dan sepuluh tahun di Tasikmalaya. Tiap tahun murid-muridku yang lulus dan masuk ke jenjang berikutnya semakin banyak, tapi… Mak, selalu saja kebanggaan dan keharuan ini sirna oleh kenyataan, kebanyakan dari murid-muridku ini hanya bisa menjadi:

Satu. Pribadi-pribadi yang serba terikat kepada tradisi-trsdisi kuno yang ada. Terbentuk dalam jaring-jaring agama dan etika, dan mereka selalu ingin memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Mereka sangat nekat Mak. Walaupun sebenarnya ia mengerti hal itu tak mungkin berhasil. Dan biasanya Mak, kalau kemudian menjadi guru, mereka akan mencoba memaksakan kehendaknya kepada generasi muda.

Emak, pribadi murid-muridku ini mencoba bertahan menentang derasnya arus kenyataan yang mampu melumatkan segalanya. Anehnya Mak, mereka beranggapan bisa membalikkan arus kenyataan zaman ini hanya dengan kedua telapak tangannya saja atau membendungnya. Dan pada giliran tak terbendung, mereka hanya bisa menyumpahi, mencaci, meratapi, menangisi serta mengutuk arus zaman yang menggulung, meluncur deras menghanyutkan segala yang melintang menghalanginya.

Dua. Pribadi-pribadi intelek, pemuja kebebasan dan ingin disebut manusia modern. Mak, murid-muridku ini tindakannya sangat kekanak-kanakkan. Padahal mereka telah menyandang sebutan bapak-bapak cendekiawan. Mereka bisu dan pasrah terhadap arus zaman, dan anehnya Mak, sifat menjijikkannya itu timbul karena kemampuan intelektualnya. Mereka lebih suka berbaring di dekat arus zaman yang melandanya, layaknya orang mati, bagaikan pengamat tak berguna. Mereka tak bergeming dengan kejadian di sekitarnya. Mereka hanya mengerti bekerja dari pagi hingga malam. Apa yang dikerjakan di tengah arus perubahan itu tak ubahnya sampah kehidupan. Ia pembunuh dan pemerkosa, memuji orang lain kemudian menipunya. Merampok masyarakat guna memenuhi kantong-kantong pribadinya yang pada gilirannya nanti isi sakunya itu dikuras habis oleh perusahaan-perusahaan asing dan membiarkannya terkuras, tenggelam, bagai tikus yang mati di lumbung-lumbung perusahaan kapitalisme.

Emak… ternyata mereka, kedua kepribadian tersebut hasil didikanku. Atau bisa jadi aku sendiri produk dari sistem pendidikan yang hanya menghasilkan kedua cetakan kepribadian tersebut.

Ah, Emak… aku rindu suatu sistem yang ketika ngaji waktu kecil dipaparkan dengan ramah oleh Mang Merebot. Konon katanya aturan yang bisa memecahkan masalah kehidupan itu harus berasal dari langit, yang dituturkan oleh sang utusan, kepribadian sang utusan, dan perbuatan-perbuatan di sekitar sang utusan yang didiamkannya.

Emak, maafkan anakmu ini, jika kemudian aku lebih memilih pulang kampung.

Ditulis setelah membaca buku Fatimah Citra Muslimah Sejati, Dr. Ali Syariati.

By Tohar Hafidz Wangsareja

"Nak, saat kita meyakini ada ruang dan waktu, pada saat yang bersamaan kita harus meyakini ada luar ruang dan luar waktu yang wilayahnya sangat-sangat tak terhingga."

Leave a Reply