27 – 29
Ada peristiwa yang sungguh menyedihkan dalam novel ini. Terutama, karena menyangkut tempat kelahiranku, Indonesia.
Ceritanya, Amanda sudah berumur 86 tahun, dan suaminya, Herbert, telah meninggal. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua anak yang cerdas–tidak seperti ibu dan bapaknya. Anak pertama bernama Allan Einstein. Nama itu diberikan sebagai bentuk terima kasih mereka kepada Allan karena membantu Herbert keluar dari marabahaya. Sedangkan anak keduanya bernama Mao Einstein. Nama itu juga merupakan bentuk terima kasih kepada Mao-Tse-Tung, karena saat Allan dan Herbert masih muda, ia memberi mereka uang untuk berlibur ke Bali.
Mao bekerja di sebuah perusahaan minyak. Ia orang baik, dan melakukan segala pekerjaannya dengan sangat baik. Namun karena hal itu, karena ia melakukan segalanya dengan baik, semua orang di perusahaan malah membencinya. Sebab, ia tidak pernah mau menggelapkan dana untuk perusahaan. Sadar dirinya dibenci oleh teman-teman kantornya, ia kemudian memutuskan pindah kerja ke perusahaan Ali Baba, Dubai.
Agaknya, cerita Mao banyak terjadi di Indonesia. Banyak orang berpengaruh dan punya potensi sangat besar tidak dihargai negara ini. Tentu, daripada tidak dihargai, mereka kemudian lebih memilih untuk kerja di luar negeri. Contohnya, B.J. Habibie. Ia sangat mumpuni untuk memajukan teknologi di Indonesia, khususnya di bidang pesawat terbang. Tapi karena satu dan lain hal, terutama, karena negara tak menghargai orang-orang berilmu, ia kemudian mengepakkan sayapnya di Jerman.
Sepertinya kita semua harus membuka mata, supaya bisa lebih peduli pada keadaan ibu pertiwi. Banyak hal kita anggap tidak berguna, tapi sebenarnya, di tahun-tahun yang akan datang, hal tersebut sangatlah berguna. Kita hanya harus membuka mata. Hanya itu.
Tuan Seratus Dolar
Seperti sebelumnya, Jonas Jonasson menggambarkan hal serupa tapi dengan persoalan berbeda. Ia membicarakan soal cara kerja orang-orang di Indonesia.
Diceritakan, saat Allan dan kawan-kawannya akan mendarat di Bandara Internasional Bali, kapten pesawat cemas karena pangkalan udara Indonesia menanyakan identitas pesawat. Dalam bahasa Inggris yang berlepotan, si kapten bertanya, “Bagaimana ini?”
Allan lantas mengambil alih radio dan berkata, “Saya tuan dolar, seratus ribu dolar.”.
Si kapten terkagum-kagum mendengar jawaban Allan.
“Maaf tuan dolar, apa nama depan anda?” tanya si penjaga.
“Dua ratus ribu, namaku dua ratus ribu dolar.”
“Selamat datang di Indonesia. Semoga anda menyukai kunjungan anda.”
“Sepertinya ini bukan pertama kalinya anda kemari,” si kapten berujar, kemudian melanjutkan, “Indonesia adalah tempat segalanya bisa terjadi.”
Jonas Jonasson, sang penulis novel, menganggap Indonesia seperti itu. Apakah kau tidak merasa malu ibu pertiwi digambarkan sebagai negara yang mudah menerima sogok-menyogok? Aku mohon, berubahlah, dan jangan terus menerus mengotori nama baik Indonesia.
Jika kau melakukan sogok-menyogok, maka kau termasuk dalam kategori orang yang sangat lemah dalam menjalankan amanat dan tanggung jawab. Itu menjadikan kau orang yang sangat buruk. Kau tidak akan dipercaya lagi oleh orang-orang. Sepertinya, aku tidak usah melanjutkan lebih jauh lagi.
Judul The 100-Year-Old Man Who Climbed Out Of The Window and Disappeared | Penulis Jonas Jonasson | Penerbit Bentang Pustaka | Tebal 508 hal | Peresensi Iqbal Maulana Yusuf | Penyunting Ridwan Malik