Aku tinggal di sebuah perumahan yang sama sekali seperti tak terlihat ada kehidupan. Setiap hari selalu sepi kecuali satu, dua suara motor atau mobil keluar dari pekarangan rumah. Jarang sekali terdengar suara rumpi ibu-ibu dan jeritan anak-anak kecil kegirangan bermain kejar-kejaran. Berbeda halnya ketika aku tinggal di desa. Ramai suara kokokkan ayam, gema anak-anak mengaji, dan suara ibu-ibu yang sedang sibuk memborong belanjaan agar tidak kehabisan bahan untuk membuat sarapan.
Dulu aku memang sering berpindah-pindah rumah. Itu karena pekerjaan bapakku. Aku merasakan hal berbeda setiap berpindah rumah. Setiap tempat ternyata memiliki cerita-cerita berkesan. Apalagi saat aku pindah dari desa ke kota. Seperti yang telah kuceritakan tadi, perbedaannya terasa jauh sekali. Sekadar informasi, nama desaku yang pernah kutinggali adalah Parakan Saat.
Kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, dhesi, yang berarti tempat lahir. Dalam buku berjudul Desa (1953), Sutardjo Kartohadikusumo mendefisinikan desa sebagai suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Lalu dalam buku berjudul Desa-Kota dan Permasalahannya (1983), Bintarto, Mantan Guru Besar Fakultas Geografi UGM, menyebut bahwa desa adalah sebuah perwujudan geografis (wilayah) yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosial, ekonomi, politik, dan kultural dalam hubungan dan pengaruh timbal baliknya dengan daerah-daerah lain di sekitarnya. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, desa disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Desa tak bisa dipisahkan dari hukum adat. Keduanya saling bersinambungan satu sama lain. Kalau membicarakan desa, pasti kita akan membicarakan hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dan dilestarikan. Mungkin alasan desa sangat terikat oleh hukum adat antara lain, karena faktor geografis, yakni letaknya yang jauh dari keramaian sehingga pengaruh budaya dari luar sulit untuk masuk.
Aku pernah mengalaminya sendiri. Apa teman-teman pernah mendengar kata pamali? Bagi yang tinggal di desa, mungkin sudah tak asing dengan kata yang satu ini.
Ketika aku tinggal di desa, nenekku selalu mengomeliku saat apa yang aku kerjakan tidak rapi dengan alasan pamali. Aku pun dilarang untuk melakukan hal-hal yang tidak menjadi kebiasaan di sana. Misalnya saat aku duduk di lawang pintu, nenekku berkata memarahiku, “Pamali! Jangan duduk di situ, nanti nontot jodoh!” Nenekku percaya kalau seseorang sering duduk di lawang pintu, ia akan sulit mendapat jodoh. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah duduk di lawang pintu lagi.
Aku sempat memikirkannya. Mengapa jodohku harus ditentukan atau tergantung dengan diriku yang duduk di lawang pintu? Aku sebenarnya tak percaya pada hal semacam itu. Namun meski begitu, aku tetap menghargai apa yang menjadi kepercayaan dan kebiasaan nenekku di desa.
Setiap desa pasti memiliki kisahnya sendiri. Begitupun dengan desa Rumbuk Randu dalam novel Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ihkwan.
Awalnya Rumbuk Randu merupakan hutan jati yang banyak ditumbuhi segerombol pohon randu namun, yang anehnya, orang-orang lalu memutuskan tinggal di situ; membabat hutan, dan menamainya Rumbuk Randu. Rumbuk Randu adalah desa terkenal dengan dongeng tua yang tak pernah hilang dari ingatan setiap orang. Mereka selalu mendongengkan legenda kepada setiap keturunannya. Desa ini pun sangat terkenal dengan adat dan kebiasaan yang tak pernah lupa atau hilang.
Membaca novel Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, aku jadi teringat novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Kedua novel itu sama-sama menceritakan tragedi seorang manusia buruk rupa: Si Cantik dari Halimunda, dan Mat Dawuk dari Rumbuk Randu. Aku jadi sering merasa kalau dunia ini memang dipenuhi oleh cerita sama yang terus berulang. Semua tempat rasanya sama, yang berbeda adalah cara kita menjalaninya.
Judul Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu| Penulis Mahfud Ikhwan| Penerbit Marjin Kiri| Tebal vi+182 hal | Presensi Asiyah Nurul Millah | Penyunting Ridwan Malik