EnglishArabicIndonesian
Categories
Book Reviews Reading novels Treasure

Tentang Secangkir Kopi

“Kayu saja yang dipikir! Kayak Perhutani!” hardiknya kepada sepasang pemain catur di sampingnya, yang sedang sangat bersungguh-sungguh dengan permainannya. Hanya salah satu dari mereka yang menoleh ke arahnya, menyorotkan pandangan tanda terganggu, untuk kemudian kembali ke bidak-bidak caturnya. Kedatangannya, kelihatannya tak cukup dihiraukan.

“Terkutuklah kalian yang hanya tertarik dengan hasil coblosan kepala desa di Tegal Lndo!” ia menghardik lagi, tapi kali ini sepertinya ditujukan kepada seluruh warung.

“Apa kalau Kaji Jarkasi yang menang kalian akan diberangkatkan gratis ke Mekah? Atau, kalau Carik Wibowo naik jadi kepala desa kalian akan diangkat jadi perangkatnya?” sungutnya, yang kemudian disambung dengan teriakan yang mendekati gangguan: “Kopi!”

[Cuplikan pembuka novel Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu]

“Kopi?”

Apakah kalian tahu, mengapa orang-orang desa atau pedalaman lebih sering atau selalu mengawali harinya dengan pergi ke warung kopi? Seperti orang-orang ketahui, kebiasaan ngopi di pagi hari adalah suatu hal yang lazim, dan biasanya orang-orang pedesaan memang rutin melakukannya.

Untuk orang yang sering ngopi, tentunya kita penasaran perihal apa yang sering mereka bicarakan atau lakukan. Di pedesaan, kegiatan ngopi di pagi hari sangat berguna bagi kebanyakan orang. Terutama bagi bapak-bapak. Karena warung kopi adalah salah satu tempat untuk bertukarnya informasi. Orang-orang yang sering ngopi biasanya akan tahu informasi-informasi yang beredar setiap harinya. Sebaliknya untuk orang-orang yang jarang atau tidak pernah ngopi, mereka tidak akan tahu informasi-informasi yang sedang beredar.

Seperti dalam novel Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Orang-orang hanya akan tahu informasi-informasi, berita, atau sekadar bualan di warung kopi. Saat di warung kopi tentu saja yang mereka lakukan jelas ngopi. Lalu sembari minum kopi, biasanya mereka melakukan aktivitas lain seperti bermain catur, main kartu, atau bahkan bisa jadi sekalian berjudi. Ada-ada saja memang. Kira-kira, mengapa kebanyakan orang lebih memilih minum kopi daripada susu atau jus untuk memulai harinya?

Telah tercatat sejak abad 9. Pertama kali, kopi hanya ada di Ethiopia, di mana biji-bijian asli ditanam oleh orang-orang dataran tinggi. Akan tetapi, ketika bangsa Arab mulai meluaskan perdagangannya, biji kopi pun meluas sampai ke Afrika Utara. Di sana biji kopi kemudian ditanam secara massal. Dari sanalah kopi lalu menyebar ke seluruh dunia. Sampai akhirnya tiba di Indonesia.

Kopi masuk ke Indonesia melalui pendudukan Belanda pada tahun 1696. Belanda awalnya membawa kopi jenis arabika dari Malabar, India, ke pulau Jawa pada tahun itu. Budidaya kopi pertama dilakukan oleh kompeni di Kedawung, sebuah daerah agrikultur dekat Batavia. Begitulah kira-kira cerita singkat kenapa kopi bisa sampai ke negeri kita.

Sebenarnya aku heran pada orang-orang. Mengapa mereka bisa menyukai kopi? Padahal, aku pernah mencoba minum kopi, dan yang aku rasakan kopi itu pahit. Jika dipikirkan, sensasi apa atau kenikmatan apa yang orang-orang rasakan dari kepahitan itu? Kehidupan ini sungguh sudah cukup pahit, dan kenapa orang-orang malah menambahnya dengan kepahitan yang lain?

Setelah bertanya-tanya pada orang yang suka ngopi, aku akhirnya bisa menyimpulkannya. Ada dua jenis manusia penyuka kopi. Pertama, mereka menyukai kopi karena rasanya. Kopi memiliki cita rasa yang sangat beragam. Hal itu dilihat dari jenis kopi yang sedang di minum; bagaimana proses pengolahan kopi saat masih di kebun (full-washed, honey, dsb), dan tentu proses penyeduhannya. Perbedaan bibit, pengolahan dan penyeduhan itu menghasilkan rasa yang berbeda-beda untuk setiap seduhan.

Alasan kedua. Kopi diminati karena efek dan manfaatnya. Kafein yang terdapat dalam kopi dikenal dengan efeknya yang memampukan seseorang untuk kuat menahan kantuk. Kopi mengandung kafein yang lebih tinggi dibanding teh. Bahkan dengan teh hitam sekalipun. Maksudnya, teh pekat dengan satu kantung teh yang setara tiga gelas teh. Kadar kafein dalam kopi dipercaya bisa membangkitkan semangat seseorang. Sehingga banyak orang beralasan kalau sarapan alangkah baiknya harus ditemani oleh secangkir kopi.

Kini orang ngopi tak hanya sekadar minum secangkir kopi. Seperti yang bisa dilihat, ngopi sudah menjadi semacam rutinitas wajib bagi orang-orang. Terutama untuk anak-anak milenial. Orang-orang dan terutama anak-anak muda, seperti halnya orang-orang di Rumbuk Randu, menjadikan ngopi sebagai media untuk berkumpul.

Sambil menikmati secangkir kopi di coffee shop atau kedai kopi, orang-orang biasanya suka untuk saling bercengkrama dan bertukar pikiran. Bahkan bisa jadi orang-orang lebih nyaman untuk berdiskusi di kedai kopi. Buktinya, sekarang banyak acara-acara diskusi diselenggarakan di kedai kopi. Biasanya yang sering melakukan hal ini adalah para mahasiswa.

Selain biasa dipakai untuk bertukar pikiran atau berdiskusi, anak-anak milenial suka mencari tempat yang bagus atau tempat-tempat yang instagram-able untuk berfoto dan mengunggahnya di media sosial. Kedai kopi pun jadi jawaban. Karena banyak saat ini kedai kopi yang disulap senyaman mungkin dan se-instagram-able mungkin.

Berbeda dengan mereka para pecinta dan penikmat kopi tulen. Orang-orang dari spesies ini tidak mementingkan tempat. Bisa dikatakan mereka tak peduli suatu kedai kopi instagram-able atau tidak. Yang mereka pedulikan hanyalah rasa. Rasa murni dari secangkir kopi. Maka sangat biasa bagi mereka berkeliling kota untuk sekadar mencari kedai kopi yang benar-benar menawarkan rasa dari sebuah kopi.

Memang asik ngopi sembari ngobrol atau saling bertukar pikiran dengan teman-teman. Akan tetapi, sepertinya untuk kebanyakan kaum mienial, mereka biasanya cenderung hanya mementingkan tempat. Mereka mungkin tidak terlalu mengerti mengenai kopi, tapi masa bodoh, yang penting bisa nongkrong di kedai kopi yang tempatnya bagus.

Kebiasaan ngopi memang sedang naik daun. Apalagi zaman sekarang, saat sosial media punya pengaruh yang begitu besarnya, terutama instagram. Mungkin banyak dari mereka yang ngopi karena hanya ikut-ikutan tren saja. Walau sebuah kedai kopi tidak menyediakan kopi yang rasanya enak, tapi tidak menutup kemungkinan tempatnya akan ramai.

Sebenarnya, mau ngopi dengan alasan apa pun tak masalah. Mau ngopi karena kopinya, atau tempatnya, atau suasananya, yang penting asal membayar pesanan saja, dan tidak merugikan tentu orang lain.

Sampai sekarang budaya ngopi di Indonesia masih terjaga, entah itu di desa seperi Rumbuk Randu, ataupun di kota. Sebagai tempat pertukaran informasi, warung kopi atau kedai kopi pun jadi sumber segala berita. Biasanya, kalau di desa, orang yang tak pernah ikut berkumpul di warung kopi adalah orang yang akan dibicarakan. Apa di kota juga seperti itu? Rasanya tak akan jauh berbeda sih.

Sungguh menyedihkan memang, tapi seperti itulah kenyataannya. Kita tinggal memilih dibicarakan atau membicarakan.

Judul Dawuk; Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu| Penulis Mahfud Ikhwan| Penerbit Marjin Kiri| Tebal vi+182 hal | Presensi Selma Hawlani | Penyunting Ridwan Malik 

Leave a Reply