Gisni Gilbarian
“Manusia adalah binatang pemuja” ungkap Nietzsche seperti yang dikutip oleh Wibowo (2009). Pernyataan ini menjelaskan bahwa manusia selalu membutuhkan pegangan di luar dirinya. Dari kebutuhan ini, bermunculanlah berbagai macam ‘tuhan’ atau pegangan. Pada zaman Romawi dan Yunani yang dianggap zaman klasik yang gemilang karena melahirkan para filsuf ternama, kebudayaan yang menawan, dan sastra yang memukau, bermunculan pula para dewa dengan berbagai mitos dan filosofinya yang tak kalah menakjubkan. Konon, pada zaman itu penggambaran akan dewa-dewa didapat dari mimpi mimpi para seniman yang kemudian mewujudkannya dalam pahatan patung, kidung-kidung indah, berbagai sajak dan syair dan kemudian berkembang menjadi cerita atau mitos. Mitos- mitos ini kemudian berkembang menjadi karya sastra yang waktu itu masih berupa pertunjukkan drama-drama tragedy. Misalnya saja drama Oedipus yang menceritakan tentang ketidakberrdayaan seorang manusia terhadap takdir yang telah ditentukan oleh dewa. Bagaimana Oedipus dengan ketidaktahuannya membunuh sang ayah dan menikahi sang ibu dan kemudian menghukum dirinya sendiri dengan membutakan kedua matanya yang menurut Nietzsche diartikan sebagai symbol bahwa ”pedang kebikjasanaan telah berbalik melawan Oedipus sang bijak”. Meskipun pada akhirnya Zeus turun tangan untuk menyelamatkan penderitaannya. Drama yang digagas oleh Sophocles ini berbeda dengan epos Odysseus yang mengisahkan perlawanan manusia melawan kehendak dewa. Apa pun itu, kedua cerita ini selalu melibatkan mitos dan para dewa, yang berarti ada sesuatu di luar manusia yang dijadikan pegangan.
Kebudayaan Yunani- Romawi kuno ini merupakan dua peradaban yang sangat berpengaruh di Eropa. Pengaruh dua kebudayaan ini sempat mati ketika agama Kristen dating ke Eropa, segala hal yang bukan Kristen dilarang. Ketika kebebasan manusia dibelenggu, maka ia akan berontak dan berusaha melepaskan diri dari segala hal yang mengancam kebebasannya. Pada saat inilah timbul apa yang dinamakan kesadaran Eropa, keengganan untuk mengakui hal-hal yang sifatnya tidak rasional. Kesadaran ini sebenarnya dipengaruhi oleh empat sumber, menurut hanafi seperti dikutip oleh Wibowo (2009), kesadaran Eropa memiliki empat sumber. Dua diantaranya adalah sumber yang terekspos dan dua lainnya tidak terekspos. Dua yang terekspos adalah sumber Yunani-Romawi dan sumber Yahudi- Kristen, sementara yang tidak terekspos adalah sumber Timur lama dan lingkungan Eropa sendiri.
Dengan tereksposnya dua sumber pertama, seolah-olah menunjukkan bahwa Eropa menjadi peradaban yang ideal, tentu saja menurut representasi ‘mereka’ dan disebarkan melalui ekspansi-ekspansi ke daerah timur. Kebudayaan timur yang penuh dengan hal-hal yang berbau irrasional dianggap sebagai budaya kegelapan, sebagaimana Eropa di jaman pertengahan, dan mereka ‘membantu’ memeberikan pencerahan terhadap budaya timur dengan jalan kolonisasi. Sementara itu, pengaruh Timur lama yang pada saat itu berarti kemajuan budaya Islam hingga sampai ke Eropa karena mengadopsi kebudayaan Romawi- Yunani dianggap sebagai sumber yang tidak perlu diekspos. Begitu pun dengan sumber lingkungan Eropa sendiri yang berarti munculnya kaum menengah atau borjuis yang bermotif ekonomi semata. Kaum ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan renaissance, karena merekalah sistem tanah yang bersifat feudal dapat dirobohkan. Mereka juga turut andil dalam menciptakan penemuan mesin cetak.
Pemikiran untuk menolak segala hal yang berbau irrasional secara perlahan memunculkan system kapitalis, menyebarkan peradaban ‘modern’ ke berbagai daerah lainnya yang dianggap masih ‘terbelakang’. Padahal dibalik semua itu, tersimpan satu alasan sederhana, ‘kekuasaan’. Kenyataan sejarah teleh membuktikan bahwa setiap pemikiran selalu berusaha menjadi dominant. Karena itulah muncul istilah represi dan hegemoni. Menurut catatan kaki yang dikutip dari Santoso (2007: 23), dalam banyak hal, represi biasanya dipakai sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaan melalui kekerasan, intimidasi, terror dan sebagainya. Prinsip ini digulirkan oleh Niccolo Machiavelli. Tetapi represi sesungguhnya tidaklah harus bermakna kekerasan fisik, sebab bias jadi prinsip hegemoni yang dilontarkan oleh Antonio Gramsci, misalnya, merupakan bentuk lain dari represi, yaitu melalui hegemoni ide- ide dalam mempertahankan kekuasaan. Meski pada perkembangannya kata hegemoni ini masih menurut catatan kaki yang dikutip dari Santoso (2007: 23) bahwa sejak abad ke-19, hegemoni memperoleh makna baru. Pengertiannya menjadi lebih sering merujuk pada situasi tertentu pada saat terjadinya dominasi politik dari suatu negeri kuat (superpower) terhadap negeri lain (lemah) yang biasa disebut dengan istilah imperialisme (William, 1983:144)
Adanya kaum borjuis, kapitalis, kolonisasi, imperialisme hingga revolusi besar-besaran di bidang industri mengindikasikan pembunuhan terhadap Tuhan. Tuhan dianggap menghalangi kemajuan dunia karena kegiatan yang bersifat keagamaan selalu berorientasi terhadap akhirat. Kegiatan agama ini jelas tidak menghasilkan keuntungan bagi para pengusaha (borjuis).
Telah matikah tuhan? Ada dua hal yang terjadi ketika tuhan terbunuh. Manusia lepas dari sifat kemanusiannya (binatang pemuja) untuk kemudian mencapai apa yang Nietzsche sebut ‘Ubermensch’. Seperti yang dikutip Wibowo dkk (2009:27) Nietzsche mengatakan bahwa “Ubermensch adalah manusia yang tidak mencari pelarian pada segala yang supra-indrawi, menghadapi dunia dengan segala kebaikan dan keburukannya” dengan kata lain ia terbebas dari segala takdir karena manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri. Hal lain yang terjadi ketika manusia tidak bias mencapai ‘Ubermensch’ maka manusia akan mencari pengganti tuhan yang telah terbunuh. Manusia kemudian menuhankan kekuasaan, sains, ideology, bahkan menuhankan ketidakpercayaan terhadap tuhan (percaya untuk tidak percaya)