Categories
Book Reviews Treasure

Uang, Ambisi, dan Hubungan yang Konyol

15-17

Hadapilah!

Mungkin terdengar klise, tapi sepertinya, kata itulah yang ingin kutulis pada bab ini. Segala sesuatu haruslah dihadapi, dan bukan dihindari. Apa pun alasannya.

Selama tiga hari, aku sempat mogok mengajar di madrasah. Karena hal tersebut, aku pun mendapatkan imbasnya. Setelah kurenungkan, kupikir, harusnya aku berani untuk menghadapi masalahnya. Meski mungkin akan sangat menyayat hati, tapi harusnya aku berani untuk menghadapinya.

Seperti saat Benny memberanikan diri untuk bertemu dengan kakaknya, Bosse. Sebenarnya, ia sedang berkonflik dengan kakaknya. Keduanya berselisih perihal uang warisan dari mendiang pamannya. Kakaknya tak terima, sebab warisan itu mengalir deras pada Benny dan bukan kepadanya.

Kuingatkan! Kau harus berani menghadapi permasalahan. Ada kemauan ada jalan.

Hubungan yang Konyol dan Sedikit Aneh

Aku menyebutnya konyol dan sedikit aneh. Tak tahu kenapa. Jika kita telah menjalin hubungan dengan seseorang, maka kita dituntut untuk bisa saling membantu dan membela saat sedang terkena masalah. Apa yang mau kukatakan, sepertinya sebuah hubungan menjadi seluk beluk dari yang namanya pilih kasih.

Kujelaskan sedikit. Pilih kasih itu membeda-bedakan orang secara subjektif, dan bukan objektif. Jika ada dua orang datang kepadamu, dan meminta bantuanmu, terlebih dahulu kau akan melihat siapa orangnya. Si A, bla… bla… bla…. Si B, bla… bla… bla…. Kemudian setelah menimbang, oleh karena si B adalah sahabatmu atau salah satu dari keluargamu, maka si B-lah yang akan didahulukan. Padahal, siapa tahu yang mendesak untuk kau bantu adalah si A?

Hukum yang berlaku di Indonesia pun begitu. Pilih kasih! Orang menyebutnya dengan istilah orang dalam, atau nepotisme. Kau akan mudah diterima kerja di suatu instansi jika memliki orang dalam. Tapi, itu pun tentu dengan bantuan finansial yang memadai buat mengganti resiko yang telah diambil si orang dalam. No money no friends.

Orang yang Penuh Ambisi dan Egois

Aku sempat ragu dengan diksi ambisi. Kupikir, sepertinya diksi itu condong ke hal yang positif. Namun setelah mengeceknya di Kamus Ilmiah Populer terbitan Arkola, aku menemukan hal yang agak bertentangan. Dijelaskan di dalam kamus bahwa ambisi memiliki kata turunan nafsu. Aku jadinya ragu, harus menulis perkara ini atau tidak. Tapi akhirnya, seperti yang kau tahu, aku memutuskan untuk tetap menuliskannya.

Ialah Kamerad Stalin, seorang sosialis penguasa Uni Soviet. Sejujurnya aku suka dengan kekeraskepalaannya terhadap apa yang diyakininya. Ia bertekad memusnahkan biang kapitalis, yakni Amerika Serikat, dengan sungguh-sungguh.

Kupikir ia tokoh yang menarik. Meski kadang sedikit menjengkelkan juga karena selalu membentak. Misalnya, ketika ia membentak Allan karena mengetahui bahwa Allan pernah membantu menyelamatkan Churchill dari bahaya rencana Marsekal Beria. Selain itu, Stalin pun membentaknya karena ia tahu kalau ternyata Allan berteman dengan Jendral Franco. Ia sungguh kesal. Sungguh-sungguh kesal. Tapi sekali lagi, aku menyukai kekeraskepalaannya.

Uang Bukanlah Segalanya

Terkadang, uang bisa dikalahkan oleh hal-hal yang mungkin kita anggap sepele. Contohnya, oleh masker. Ya, masker. Sebelum Covid-19 menerjang Indonesia, masker hanya digunakan di saat-saat tertentu; saat membersihkan ruangan yang sangat berdebu, atau saat membersihkan sesuatu yang baunya minta ampun. Namun sekarang, lihatlah! Orang-orang rela membeli dan menyetok banyak masker, untuk alasan kesehatan.

Kau tahu? ¾ wilayah kerajaan bisa saja diberikan padamu hanya karena sebotol air. Tak percaya? Bayangkan hal ini.

Sudah sepuluh tahun seorang raja tak pernah minum air. Jangankan minum air, untuk menyentuhnya pun ia tak bisa. Sebab, telah sepuluh tahun kerajaannya kekeringan. Tiba-tiba kau datang ke kerajaan itu, membawa sebotol air yang sering kali kau anggap sepele. Raja mendengarnya, dan mengundangmu untuk menemuinya. Aku yakin, ia akan memberimu apa pun asal bisa menyentuh dan meminum air yang kau bawa. Walau ia harus kehilangan ¾ wilayah kerajaannya, ia tak akan peduli.

Jonas Jonasson pun menggambarkan hal serupa. Ketika si Bos terkena sakit kepala yang membuatnya seperti mau mati, ia diceritakan rela menebus obat sakit kepala dengan harga lima puluh juta krona.

Dunia ini… sungguh konyol, kan?

Judul The 100-Year-Old Man Who Climbed Out Of The Window and Disappeared | Penulis Jonas Jonasson | Penerbit Bentang Pustaka | Tebal 508 hal | Peresensi Iqbal Maulana Yusuf | Penyunting Ridwan Malik

By Kibong

Manusia Biasa

Leave a Reply