Untuk Siapakah Ujian Nasional

PENGANTAR

Ada kenyatan sejarah tentang pendidikan yang erat kaitannya dengan kebutuhan atau kepentingan golongan tertentu, kita tidak bisa lupa ketika pemerintah kolonial Belanda mengusung politik etika (baca : hutang budi). Maka muncullah intelektual, teknokrat, dan birokrat yang serta merta menjadi belanda-belanda hitam, namun tidak sedikit pula muncul intelektual, teknokrat, dan birokrat yang malah menjadi extrimis (baca : tidak merasa berhutang budi) Dan sejarah mencatat kelompok yang terakhir ini adalah bapak-bapak bangsa.

Begitu pula ketika tentara pendudukan Jepang membutuhkan “Saudara Muda” dibukalah berbagai pelatihan (karena sekolah memang sudah ada) baik pelatihan keagamaan, kemasyarakatan, keamanan dan militer. Yang terjadi ada yang lebih Jepang, dan tak sedikit pula yang extrimis, pada gilirannya si extrimis ini menjadi bapak-bapak bangsa (Anak bangsa).

Tak perlu buku sejarah (masih banyak saksi hidup dan terlalu sering “gonta-ganti” cerita sejarah), manakala pemerintah Orde baru membutuhkan kestabilan pembangunan, lagi-lagi dunia pendidikan pula menjadi objek keinginan penguasa, hartawan dan ilmuwan hasilnya KKN, tapi tidak sedikit pula dari anak bangsa itu menjadi extrimis yang pada gilirannya menjadi bapak-bapak bangsa.

UNTUK SIAPA PENDIDIKAN?

Rasanya tidak perlu seorang ahli untuk menjawab pertanyaan diatas, ketertinggalan, keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, kemalasan, keterpurukan, kehinaan dan berbagai kondisi dan situasi anak manusia yang bersifat destruktif adalah indikator objek pendidikan.
Dalam bentuk yang paling pelangi, sasaran pendidikan adalah murid, siswa, mahasiswa, guru, dosen, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan tidak mentolerir terjadinya pengrusakan fisik maupun mental, jasmani maupun rohani, material maupun spiritual baik yang dilakukan murid, guru, mahasiswa, dosen, masyarakat maupun pemrintah.
Proses menuju hal tersebut diatas, awal tahun ajaran 2000-an gencar menyeruak slogan-slogan pendidikan, bahwa siswa/murid bukanlah objek pendidikan melainkan sebuah subjek. Jelas sekali, ini adalah kemajuan besar, akan sangat beda, ketika pendidikan berlangsung dengan siswa/murid sebagai objek dan siswa/murid sebagai subjek. Dalam posisinya sebagai subjek, siswa/murid begitu berpeluang untuk mengexpresikan potensi, bakat, karakter dan keterampilannya tanpa harus terhalangi oleh kebebalan Stake Holder. Jika siswa/murid sebagi objek, maka sangatlah jelas bahwa siswa/murid digiring sedemikian rupa oleh keinginan/kebutuhan/kepentingan Stake Holder.
Bisa terjadi seorang guru yang cerdas/berbudi/terampil memaksa anak didik/siswa/murid harus secerdas/seberbudi/seterampil sang guru, baik ketika guru tersebut masih menjadi murid/siswa ataupun saat dia menjadi guru.
Situasi kondisi seperti ini menghasilkan gaya tolak- menolak antara guru dan muridnya. Guru selalu beranggapan muridnya tidak seperti yang diharapkan, muridpun memandang sang guru dengan penuh kekecewaan (baca: jauh diluar dugaan murid dan sang siswa) mungkinkah Proses Belajar Mengajar (PBM) atau kegiatan belajar mengajar (KBM) terlaksana pada term yang demikian ?
Pada sisi lain guru pun tidak sedemikian leluasa untuk mengapresiasikan kepiawaiannya ketika harus berhadapan dengan komunitasnya. Gejala nyata para guru itu seolah kekurangan waktu, ruang, materi dan kesempatan untuk mengapresiasikan keguruannya.

KURIKULUM
Ketika term siswa atau murid sebagai objek di rubah menjadi subjek, maka dengan serta merta harus di ikuti oleh komponen-komponen terkaitnya, salah satunya adalah kurikulum pendidikan. Ada tiga kurikulum yang masih hangat tersimpan di memori para guru . kurikulum 1994 yang masa tuntasnya di Ujian Nasional tahun ajaran 2005-2006 , kurikulum 2004 lebih di kenal dengan nama Kurikulum Berbaris Kompetensi dengan masa limit waktu pada Ujian Nasional tahun pelajaran 2007-2008, dan yang ke-3 kurikulum 2006 dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Ke-3 kurikulum di atas memiliki sistem evaluasi yang jelas tentang ketercapaian kurikulum yang harus bisa di laksanakan oleh guru dalam KBM dan daya serap yang harus di capai anak/ siswa/ murid . subtansi ketercapaian sepaerti itu, barang kali hanya perubahan nama dan istilah mengingat adanya perubahan yang mendasar tentang pandangan dunia pendidikan terhadap anak didik , menyebabkan metode penyampaianlah yang sangat terasa beda khususnya antara kurikulum 94 dengan 2004 dan 2006, perubahan malah pada kurikulum 2006, guru begitu leluasa menentukan indikasi- indikasi ketercapain dan sekaligus metodenya. Jadi, pada kronologis peserta Ujian Nasional, kurikulum sebenarnya tidak di temukan kekhawatiran masalah–masalah evaluasi akhir tahun, kenaikan atau kelulusan baik melalui Ujian Sekolah maupun Ujian Nasional.

UNTUK SIAPA UJIAN NASIONAL ?
Sejatinya penentuan lulus tidak lulusnya suatu test adalah tim verifikasi (sekolah) dan ini berlaku untuk ujian sekolah. Di sisi lain pemerintah c.q Departemen Pendidikan Nasonal berwenang pula untuk menentukan standar nasional melalui Ujian Nasional. Pada saat yang bersaman pemerintah daerahpun di pacu untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) yang salah satu indikasinya adalah nilai Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduknya. uniknya ketiga kebutuhan tersebut berwujud penodaan kesucian generasi bangsa yang justru amat sangat kita harapkan memiliki potensi lebih sebagai bekal dalam menuntaskan cita-cita bangsa. Ketulusan kita (gerasi sekarang) untuk melihat kedepan adalah seperangkat visi, misi, kebijakan , program, sarana prasarana, dana dan kegiatan-kegiatan pendidikan melalui ketetapan pemerintah yang lebih berpihak kepada anak didik dari berbagai keadaan peserta anak didik adalah prioritas utama dalam pengambilan kebijakan ketika terjadi hal-hal sebagai berikut :
biaya pendidikan mahal, gaji guru belum memadai, saran prasarana minim, dan penafikan Pendidikan gratis.
pesimisme dan apatisme peserta didik, pengangguran dan gejala prilaku destruktif anak bangsa.
arogansi institusi, birokrasi, kesombongan penyandang dana dan kblingernya orang yang berilmu.

Kronologi Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
Paling tidak ada tiga tahapan yang sangat selektif para peserta UN atau Sekolah bisa melaksanakan UN (mandiri dengan persyaratan yang jelas atau gabung ke sekolah yang telah memiliki persyaratan), antara lain :
1. Pendaftaran peserta UN melalui format US1 & US2 setiap peserta yang didaftarkan adalah benar-benar peserta yang falid dalam arti siswa tersebut telah berkompeten (tidak punya hutang kompetensi dasar di tingkat sebelumnya) sebagai peserta. Pada tingkat ini, akan terlihat bahwa kelulusan & ketidak lulusan jika hanya berdasar pada UN saja adalah gambling.
2. Pelaksanaan UN, sejatinya pada pelaksaan UN ini sangat tidak mungkin terjadi kebocoran/kecurangan, setiap peserta mendapatkan soal yang berbeda untuk jenis nomor peserta ganjil dan genap, artinya seorang peserta terasing dari tetangga bangkunya baik depan, kanan, kiri ataupun belakang. Pengawas yang melaksanakan tugaspun adalah pengawas silang (Guru Sekolah Lain), artinya para pengawas UN tidak dikenal oleh peserta dalam keseharian belajar, Hasil kerja peserta langsung disegel lak oleh pengawas di ruang UN dan langsung dikirim ke Rayon yang kesemuanya itu disaksikan oleh TPPI (Tim Pengawas Pemantau Indepanden) dan Polisi. Analisanya, Kelulusan dan ketidak lulusan yang terjadi pada tingkat inipun adalah gambling.
3. Kelulusan Ujian Nasional, dua Kriteria seorang peserta dinyatakan lulus, jika : memiliki nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya. Yang kedua ketentuan dari sekolah atau kabupaten/kota dimana sekolah tersebut berada (boleh sama atau melebihi ketentuan yang pertama). Analisa pada tingkat ini sebagai berikut :
a. Lulus Ujian Nasional Lulus Ujian Sekolah, Peserta Lulus sempurna
b. Lulus Ujian Nasional Tidak Lulus Ujian Sekolah, pertanyaannya adalah Institusi mana yang bisa mengukuhkan dan membuat tidak menjadi resah untuk sebuah keputusan bahwa peserta itu Tidak Lulus ? Tetapi hampir-hampir peristiwa ini tidak ada mengingat para peserta itu kompeten untuk ikut Ujian Nasional. Kalau demikian apapun keadaannya Kelulusan dan ketidak lulusan bersifat gambling.
c. Tidak Lulus Ujian Nasional Lulus Ujian Sekolah, serta merta peserta tersebut tidak lulus mengingat kelulusan itu harus dua-duanya (UN dan US), pertanyaannya adalah instusi mana yang bisa mengukuhkan dan membuat tidak menjadi resah untuk sebuah keputusan bahwa peserta itu Tidak Lulus ? Inilah yang kebanyakan terjadi, Kalau demikian apapun keadaannya Kelulusan dan ketidak lulusan bersifat gambling.
d. Tidak Lulus Ujian Nasional Tidak Lulus Ujian Sekolah adalah tidak lulus sempurna
Jika tidak dikaji ulang secara komprehensif kedudukan Ujian Nasional adalah ketidak sadaran kita mengajar, membina, mengasuh, dan mendidik siswa untuk gambling.

PENUTUP

Kesadaran akan sebuah kekeliruan bisa berwujud pelaziman terhadap kekeliruan tersebut, jika kesadaran tersebut hanya berupa retorika popularitas individu atau golongan tertentu (baca: steak holder).
Kesadaran akan sebuah kekeliruan sejatinya adalah energi yang dahsyat yang mampu mengangkat dunia pendidikan ke jenjang yang lebih manusiawi. Kita sambut gembira gagasan system evaluasi pad kurikulum 2006 (KTSP) yang bersifat terbuka dan tuntas, menyinggung berbagai asfek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) dan menghargai ragam potensi peserta didik/ sekolah, daerah, stake holder, bahkan pada posisi seperti itu muncul klasifikasi sekolah rintisan, sekolah standar nasional dan sekolah standar internasional. Maka pada posisi itu pula Ujian Nasinal (UN) jelas peruntukannya sebagai standar nasional bagi Sekolah Rintisan, Potensial, Sekolah Standar Nasional, Sekolah Standar Internasional.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Leave a Reply