Cita-cita 4 Orang di Hijir Ismail
Pada suatu hari di sekitaran Ka’bah, tepatnya di Hijir Ismail, berkumpul empat orang dengan beragam usia. Abdullah bin Zubair, Urwah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair, dan Abdullah bin Umar. Mereka adalah anak dari dua Sahabat besar: Zubair bin Awwam dan Umar bin Khatthab. Di Hijir Ismail tersebut—salah satu tempat mustajab untuk berdoa—terucaplah dari mulut mereka cita-cita yang diidamkan. Abdullah bin Zubair berkata, “Aku ingin menjadi khalifah/menginginkan kekhilafahan” (أَمَّا أنَا فَأتَمَنَّى الْخِلَافَة). Urwah bin Zubair berkata, “Aku ingin orang-orang mengambil ilmu dariku/ilmu yang bermafaat” (أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى أَنْ يُؤْخَذَ عَنِّيْ الْعِلْم). Mush’ab bin Zubair berkata, “Aku ingin memimpin Irak, juga ingin memoligami Aisyah binti Thalhah dan Sukainah binti al-Husain” (أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى إِمْرَةَ الْعِرَاقِ وَالْجَمْعَ بَيْنَ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ وَسُكَيْنَةَ بِنْتِ أَلْحُسَيْن). Abdullah bin Umar berkata, “Aku ingin pengampunan dari Allah swt” (أَمَّا أَنَا فَأَتَمَنَّى الْمَغْفِرَةَ).
Di kemudian hari, Abdullah bin Zubair berhasil mendirikan kekhilafahan Dinasti Zubairiyah di kota Makkah. Setelah terjadi pembantaian terhadap cucu kinasih Rasulullah saw, al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (wafat 61 H), di Karbala Irak oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dari Dinasti Umayah, penduduk Hijaz (Makkah & Madinah) sangat marah dan segera mencabut baiat mereka kepada kepemimpinan Yazid bin Muawiyah. Merespons peristiwa tersebut, Abdullah bin Zubair kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah yang berpusat di kota Makkah. Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa (Pustaka Alkautsar, Jakarta, Cet. 13: 2017, hal. 250), seluruh daerah kekuasaan Dinasti Umayah di Timur Tengah dapat dikuasai oleh Abdullah bin Zubair. Sepeninggal Yazid bin Muawiyah dan Muawiyah bin Yazid (khalifah terakhir Dinasti Umayah dari klan Abu Sufyan bin Harb), Marwan bin al-Hakam kemudian merebut Syam (Suriah, Palestina, Jordania, Lebanon) & Mesir atas nama Dinasti Umayah. Dari klan Marwan bin al-Hakam inilah Dinasti Umayah seterusnya dipimpin. Marwan lalu diganti oleh anaknya, Abdul Malik bin Marwan menjadi penguasa Dinasti Umayah. Abdul Malik bin Marwan memerintahkan Hajjaj bin Yusuf dengan 40.000 pasukannya untuk memerangi Abdullah bin Zubair. Kota Makkah dikepung selama berbulan-bulan sambil dilempari manjaniq (mesin perang pelontar batu besar, semacam katapel raksasa). Abdullah bin Zubair pun dibunuh pada tahun 73 H dan berakhirlah kekhilafahannya yang hanya bertahan selama 9 tahun. Mush’ab bin Zubair diangkat menjadi panglima perang dan penguasa Basrah Irak dari Dinasti Zubairiyah. Dia bertugas memerangi dua musuh Dinasti Zubairiyah, yaitu pasukan Dinasti Umayah dan pasukan al-Mukhtar ats-Tsaqafi yang melakukan gerakan balas dendam atas pembantaian al-Husain bin Ali di Karbala. Mayoritas wilayah Irak saat itu dikuasai oleh al-Mukhtar. Setelah mengalahkan pasukan al-Mukhtar, Mush’ab akhirnya berhasil menjadi penguasa tunggal negeri Irak. Dia juga berhasil menikahi dua perempuan yang diidamkannya, yaitu Aisyah binti Thalhah dan Sukainah binti al-Husain bin Ali. Mush’ab bin Zubair akhirnya terbunuh di Perang Maskin atau Perang Dair al-Jatsaliq tahun 72 H oleh pasukan Dinasti Umayah pimpinan Abdul Malik bin Marwan. Bagaimana dengan Abdullah bin Umar (wafat 73 H) yang cita-citanya saat di Hijir Ismail sangat ukhrawi sekali? Para ulama yang meriwayatkan kisah “Cita-cita 4 Orang di Hijir Ismail” semuanya berkata, “Semoga Ibnu Umar juga telah mendapatkan pengampunan Allah swt” (وَلَعَلَّ ابْنَ عُمَرَ قَدْ غُفِرَ لَهُ)—misalnya riwayat Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam Hilyah al-Auliya’ wa ath-Thabaqat al-Ashfiya’ (Juz 2, No. 171 “’Urwah bin az-Zubair”, Dar al-Fikr, Beirut, 1416 H, hal. 176).
Urwah bin Zubair—tokoh yang akan dikisahkan ini—karena keluasan ilmunya berhasil masuk ke jajaran 7 Fuqaha Madinah (أَلْفُقَهَاء السَّبْعَة المَدِيْنَة). Fatwa-fatwa 7 ulama dari kalangan Tabi’in yang tinggal di Madinah ini selalu menjadi rujukan umat saat itu, khususnya oleh penduduk Madinah, dan sedikit banyaknya sangat memengaruhi bangunan fiqih mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas, yang salah satu metode penetapan hukum fiqihnya (istinbath) adalah “tradisi penduduk Madinah” (‘amal ahlul madinah). Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Jilid 2, Pasal “Fuqaha al-Madinah al-Munawarah”, Dar Ibnu al-Jauzi, al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su’udiyah, 1423 H, hal. 42), mengutip sebuah syair yang memuji-muji kealiman 7 Fuqaha Madinah ini: “Jika ditanyakan siapa yang keluasan dan kedalaman ilmunya ibarat tujuh lautan, serta riwayat mereka tidak pernah sedikit pun keluar dari ilmu; maka katakanlah mereka adalah: Ubaidillah bin Abdullah, Urwah bin Zubair, Qasim bin Muhammad, Sa’id bin al-Musayyib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar, dan Kharijah bin Zaid” (إذَا قِيْلَ مَنْ فِي الْعِلْمِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ – رِوَايَتُهُمْ لَيْسَتْ عَنِ الْعِلْمِ خَارِجَةْ # فَقُلْ هُمْ عُبَيْدِ الله عُرْوَةٌ قَاسِمٌ – سَعِيْدٌ أَبُوْ بَكْرٍ سُلَيْمَانُ خَارِجَةْ).
Tumbuh Besar di Madrasah Ilmu Para Sahabat
Urwah bin Zubair adalah anak bungsu dari pasangan Zubair bin Awwam dan Asma binti Abu Bakar Shiddiq. Ayahnya digelari oleh Rasulullah saw dengan Hawari Nabi (sang pembela Nabi saw), karena dialah Sahabat pertama yang menghunuskan pedangnya kepada para pengganggu Nabi saw di kota Makkah. Ibunya digelari oleh Rasulullah saw dengan Dzat an-Nithaqain (perempuan sang pemilik dua ikat pinggang), karena dia menyobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian untuk mengikat kantong perbekalan Nabi saw dan Abu Bakar Shiddiq ketika berangkat hijrah. Ibunya juga adalah kakak kandung Ummul Mu’minin Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq; maka Aisyah adalah bibinya. Neneknya, ibu Zubair bin Awwam, adalah bibi Rasulullah saw, yaitu Shafiyah binti Abdul Muthalib. Urwah adalah saudara kandung Abdullah bin Zubair dan saudara tiri Mush’ab bin Zubair (karena Mush’ab adalah anak Zubair bin Awwam dari ar-Rabab binti Anif). Urwah lahir di Madinah pada tahun 23 H, tahun wafatnya Khalifah Umar bin Khatthab dan naiknya Utsman bin Affan sebagai khalifah. Ketika Urwah masih balita, orang tuanya bercerai setelah 28 tahunan berumah tangga.
Urwah tumbuh besar di madrasah ilmu para Sahabat Nabi saw. Tidak seperti saudara-saudaranya yang telah disebutkan di atas, Urwah cenderung menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis dan lebih menenggelamkan dirinya dalam keasyikan menyerap hadis-hadis nabawi dari para Sahabat Nabi saw yang saat itu masih hidup, seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abu Ayyub al-Anshari, dan terutama hadis-hadis dari jalur bibinya, Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq. Maka tak heran jika hadis-hadis yang lapisan (thabaqat) sanad Sahabatnya dari Aisyah, kebanyakan diriwayatkan oleh Urwah. Hubungan kekerabatannya dengan Aisyah memungkinkan dia lebih sering bertemu dengan sang bibi dan bebas keluar masuk rumahnya. Dalam kajian Ilmu Hadis, Aisyah adalah satu-satunya Sahabat perempuan yang masuk ke dalam 7 besar periwayat hadis terbanyak. Menurut Fatchur Rachman dalam Ikhtisar Mushthalahul Hadits (PT Alma’arif, Bandung, 1974, hal. 289), urutan pertama Sahabat periwayat hadis terbanyak ditempati oleh Abu Hurairah (5.374 hadis), kemudian Abdullah bin Umar (2.630 hadis), Anas bin Malik (2.286 hadis), Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq (2.210 hadis), Abdullah bin Abbas (1.660 hadis), Jabir bin Abdullah (1.540 hadis), dan Abu Sa’id al-Khudri (1.170 hadis).
Metode Urwah dalam “merawat” hadis nabawi adalah dengan cara mendengarkan, menghafalnya, menuliskannya, mengimlakan kepada muridnya, lalu mengajak muridnya untuk memperlihatkan catatan hadisnya untuk dibaca kembali bersama-sama, dan mencocokkan tulisannya sendiri dengan tulisan muridnya. Dengan cara seperti ini, maka Urwah disebut-sebut banyak sekali mempunyai karya tulis, namun sayangnya karya tulisnya itu kemudian dibakar oleh Urwah sendiri. Tak diketahui alasan Urwah membakar karya tulisnya. MM. Azami dalam Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. 2: 2000, hal. 221), hanya menuliskan “karena ada sebab-sebab tertentu” sebagai alasan Urwah membakar karya tulisnya. Tapi di kemudian hari Urwah akhirnya menyesal, seperti diriwayatkan anaknya, Hisyam bin Urwah, “Pada musim panas ayah membakar kitab-kitab fiqih miliknya. Setelah itu beliau berkata, ‘Seandainya kitab-kitab fiqih itu masih kumiliki, niscaya aku lebih senang daripada memiliki keluarga dan harta.’” Salah satu murid Urwah yang terkenal dalam bidang hadis adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat 123 H), dan az-Zuhri ini adalah salah satu guru dari Imam Malik bin Anas (wafat 179 H), penulis kitab hadis al-Muwaththa & pendiri mazhab Maliki. Selain ahli hadis dan fiqih, Urwah juga dikenal sebagai Tabi’in yang memelopori penulisan sirah (sejarah perjalanan hidup Nabi saw) dan al-maghazi (peperangan di masa Nabi saw). Metode Urwah dalam menyusun sirah & al-maghazi adalah dengan menggabungkan berbagai riwayat. Sanad-sanadnya diterangkan terlebih dahulu, kemudian matan atau materinya diatur sedemikian rupa sehingga tersusunlah penuturan kisah yang sempurna. Metode ini kemudian diadopsi oleh para penulis seperti az-Zuhri, Ibnu Ishaq, Musa bin Uqbah, dan lain-lain. Yang tersisa dari catatan sirah & al-maghazi milik Urwah sekarang ini hanyalah cuplikan-cuplikannya saja yang dikutip dalam kitab-kitab karya generasi selanjutnya, seperti dalam al-Mu’jam al-Kabir ath-Thabrani dan Tarikh ath-Thabari.
Selain kecintaannya pada madrasah ilmu, Urwah juga dikenal dengan kezuhudan, kedermawanan, dan kesabarannya. Zuhud secara sederhana bisa diartikan dengan “tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya” (رَغِبَ عَنْ شَيْءٍ وَتَرَكَهُ) atau “sikap melepaskan diri dari ketergantungan diri terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi”. “Tidak tertarik” atau “melepaskan diri dari ketergantungan” bolehlah kita tafsir dengan “tidak tertarik karena dianggap remeh dan ada yang lebih besar daripada itu” atau “melepaskan diri dari ketergantungan karena jika terlalu bergantung pada itu akan sia-sia belaka dan hina, sementara ada tempat bergantung yang lebih mulia”. Duniawi tidak menjajah hati kita. Cinta dunia (حُبُّ الدُّنْيَا) yang berlebihan akan mematikan kesadaran bahwa kita “berasal dari Allah swt & akan kembali pada Allah swt”. Rasa cinta pada tempat asal & tempat kembali (Allah swt) jangan sampai dikalahkan oleh rasa cinta pada tempat perantauan (dunia). Sikap zuhud seolah berbisik pada hati kita, “janganlah kau menuhankan duniawi, tapi jangan pula mempersetankan duniawi.” Dengan sikap zuhud seperti ini kita akan benar-benar memfungsikan dunia pada tempatnya. Duniawi tetap dikejar tapi dengan cara yang diridhai Allah swt dan ketika berhasil digenggam difungsikan demi meraih kemuliaan di sisi-Nya. Dalam tataran praktis, sikap zuhud seperti ini tidak akan memberatkan diri kita untuk selalu berbagi kepada orang lain, baik itu berbagi harta, ilmu, waktu, dan sebagainya; dan sikap berbagi (menyenangkan orang lain) itu semata-mata dilandasi dengan niat demi “menyenangkan” Allah swt. “Barangsiapa yang tidak menyayangi orang lain, niscaya Allah swt tidak akan menyayanginya,” demikian Rasulullah saw mengingatkan umatnya. Urwah berhasil mempraktikkan ajaran agung ini. Urwah bekerja keras dan berhasil memiliki kebun kurma yang luas. Kebiasaan Urwah ketika memasuki kebun kurmanya adalah selalu mengulang-ngulang QS. Al-Kahfi ayat 39: “Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan ‘Masya Allah, la quwwata illa billah’ (Sungguh, atas kehendak Allah swt, semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah swt).” Ketika musim panen kurma matang, Urwah selalu mengizinkan setiap orang untuk memasuki kebunnya dan membebaskan mereka untuk ikut menikmati langsung hasil panennya dan membawanya pulang sebagai oleh-oleh.
Kehilangan Anak dan Kehilangan Kaki
“Sesungguhnya tasawuf itu adalah mengakui anugerah dan menyembunyikan musibah” (إِنَّ التَّصَوُّفَ عِرْفَانُ الْمِنَنِ وَكِتْمَانُ الْمِحَنِ), demikian Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam Hilyah al-Auliya’ wa ath-Thabaqat al-Ashfiya’ (hal. 176) mengutip sebuah definisi dari sekian banyak definisi tentang tasawuf ketika berkisah tentang Urwah. Abu Nu’aim sepertinya ingin memberi landasan praktis konsep syukur dan sabar yang menjadi bagian maqamat (stasiun/tahapan) dalam ajaran tasawuf dengan salah satu episode memilukan dalam perjalanan hidup Urwah. Dalam segala hal, Urwah selalu mengajarkan kepada muridnya untuk selalu mengedepankan kepasrahan dan prasangka baik terhadap ketetapan apa pun yang Allah swt berikan. Jika ketetapan itu baik maka syukur harus dilakukan, jika ketetapan itu buruk maka sabar harus dikedepankan. Inilah makna beriman kepada takdir Allah swt, baik dan buruk selalu kita sadari bahwa itu semua berasal dari Allah swt (خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ الله تَعَالى). Menurut Imam al-Qusyairi an-Naisaburi dalam Risalah Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf (Risalah Gusti, Surabaya, Cet. 8: 2016, hal. 195), bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt adalah dengan pujian kepada-Nya dan dengan mengingat-ingat seluruh anugerah-Nya atas dirinya. Sedangkan bersyukurnya Allah swt kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah swt. Dan bersyukur ketika mendapatkan kebaikan adalah salah satu tanda kepatuhan si hamba kepada-Nya. Bersyukurnya Allah swt adalah pemberian balasan yang berlimpah meskipun bagi amal yang sedikit. Syukur seorang hamba pada hakikatnya harus mencakup syukur dengan lisan, syukur dengan hati, dan syukur dengan anggota badan.
Perihal sabar, Imam Junaid al-Baghdadi pernah ditanya apa itu sabar. Junaid menjawab dengan puitis, “Sabar adalah mereguk kegetiran tanpa disertai bermuka masam” (تَجَرَّعُ الْمَرَارَةِ مِنْ غَيْرِ تَعْبِيْسٍ). Para ulama telah membagi sabar menjadi 3. Pertama, sabar ketika menjalankan ketaatan (ألصَّبْرُ عِنْدَ الطَّاعَة), lalu sabar ketika menjauhi kemaksiatan (ألصَّبْرُ عِنْدَ الْمَعْصِيَة), dan sabar ketika tertimpa musibah (ألصَّبْرُ عِنْدَ الْمُصِيْبَة). Mungkin tiga kesabaran inilah yang diperintahkan Allah swt dalam QS. Al-Ma’arij ayat 5: “Maka bersabarlah engkau dengan kesabaran yang indah” (فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلًا). Kesabaran yang indah inilah yang akan membuat kita tetap bertahan dan bahagia dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini serta akan membawa kita semakin mendekat ke Sang Pemilik Segala Keindahan. Dan Urwah, adalah contoh seorang manusia yang telah mampu menjadikan syukur dan sabar sebagai pijakan kuat dalam perjalanan hidupnya.
Di usia sepuhnya, Urwah bersama anaknya, Muhammad bin Urwah, berangkat dari Madinah menuju Damaskus memenuhi undangan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah. Ketika Urwah sedang bersama al-Walid, Muhammad bin Urwah berkeliling istal kuda istana. Muhammad lalu masuk ke istal demi melihat-lihat kuda. Tiba-tiba seekor kuda menendang Muhammad dengan kuat. Muhammad terpental dan ambruk seketika serta wafat saat itu juga. Urwah pun saat itu sedang terserang penyakit parah di bagian salah satu kakinya dan ada luka yang mengeluarkan nanah (mungkin semacam kanker atau diabetes). Penyakit itu telah bersemayam lama di kakinya dan setiap hari rasa sakit yang ditimbulkannya semakin merajalela. Al-Walid memanggil seluruh tabib istana untuk memeriksa kaki Urwah. Semua tabib yang memeriksanya merekomendasikan tindakan amputasi untuk kaki urwah; sebab jika tidak diamputasi, si penyakit akan kian menjalar ke bagian atas. Al-Walid pun menyarankan hal yang sama. Urwah akhirnya setuju untuk diamputasi. Hari eksekusi ditetapkan. Alat amputasi pun disiapkan, yaitu gergaji (فَقُطِعَتْ بِالْمِنْشَارِ). Di satu riwayat, para tabib menyarankan Urwah meminum khamar terlebih dulu sebagai bius atau obat penenang untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan selama proses amputasi. Tapi Urwah menolaknya dengan tegas. Terlebih saat itu Urwah sedang menjalankan puasa sunah. Urwah tidak mau membatalkan puasa sunahnya, apalagi dengan sesuatu yang haram, meskipun saat itu keadaannya bisa dibilang darurat. Selama proses amputasi kakinya dengan menggunakan gergaji—meski tanpa bius terlebih dahulu seperti standar tindakan medis zaman sekarang—Urwah tak mengeluhkan rasa sakit sedikit pun. Urwah melawan rasa sakit dengan “bius spiritual”. Bibir Urwah bergetar melantukan tahlil, takbir, dan penggalan QS. Al-Kahfi ayat 62: “Sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هٰذَا نَصَبًا). Penggalan ayat ini adalah ucapan Nabi Musa as kepada muridnya (Yusya bin Nun) yang menemaninya ketika mencari keberadaan Nabi Khidhir as. Tahlil, takbir, dan penggalan ayat tersebut Urwah lantunkan secara repetitif sejak gergaji menempel di kakinya hingga gesekan yang terakhir. Ketika selesai proses amputasi, kaki buntung Urwah kemudian dicelupkan ke dalam bejana besi yang berisi minyak panas untuk menghentikan pendarahan dan menutup luka. Tubuh Urwah akhirnya menemukan batasnya dalam melawan rasa sakit, Urwah pun jatuh pingsan. Dua musibah memilukan menghantam Urwah dalam jarak yang berdekatan: kehilangan salah satu anak tercintanya dan kehilangan salah satu kakinya.
Setelah siuman, Urwah minta ditunjukkan potongan kakinya. Sambil memegang potongan kakinya, Urwah berkata, “Demi Zat yang telah menyerahkan kau kepadaku, sesungguhnya Dia mengetahui bahwa aku tidak pernah sekali pun mengajakmu berjalan kepada sesuatu yang diharamkan.” Kemudian Urwah berdoa, “Ya Allah, Kau telah anugerahkan kepadaku empat tangan dan kaki, tapi kini Kau ambil satu dan Kaubiarkan aku memiliki tiga yang lain. Maka segala puji hanya bagi-Mu. Kau telah anugerahkan kepadaku empat orang anak, tapi kini Kau ambil satu orang dan Kaubiarkan aku memiliki tiga orang yang lainnya. Maka segala puji hanya bagi-Mu. Demi Allah, kalaupun Kau ambil sesuatu dariku, Kau pasti masih menyisakan yang lain untukku. Kalaupun Kau menimpakan ujian kepadaku, Kau juga pasti akan memberi keselamatan untukku.” Urwah bin Zubair wafat tahun 94 H di usia 71.
Wallahu a’lam.