EnglishArabicIndonesian

Watak Agamaku

  1. Apakah agama itu ?

Sebagai suatu latar belakang yang jauh untuk percobaan membahas masalah seperti sub judul di atas, disini ingin diajukan kutipan panjang dari H. M. Rasyidi, bahwa kita perlu memikirkan tentang agama.

Ada satu perkataan yang sering dipahamkan secara keliru, yaitu perkataan “agama”. Perkataan itu meliputi bidang yang disebut dalam bahassa Inggris “ultime”, yakni bidang yang terpenting yang menjadi soal hidup atau mati seseorang, dan bukan persoalan yang remeh.

Karena agama berarti mengabdikan diri, maka orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi memerlukan kebiasaan dirinya dengan hidup secara agama. Seorang ahli agama yang bernama William Temple berkata: “… agama adalah menuntut pengetahuan untuk beribadat”.  Lebih lanjut ia berkata: “Pokok dari agama bukan pengetahuan tentangn Tuhan, akan tetapi perhubungan antara seorang manusia dengan Tuhan”.

Agama dapat dibandingkan dengan enjoyment, atau secara kongkrit dapat disamakan dengan rasa cinta seseorang. Suatu hal yang penting diketahui tentang agama ialah rasa pengabdian {dedication} atau contentment. Tiap-tiap pengikut agama merasa, bahwa ia harus mengabdikan dirinya sekuat-kuatnya kepada agama yang dipeluknya.

Rasa pengabdian ini harus dihargai. Bagi tiap-tiap orang yang ingin mempelajari sesuatu agama, rasa pengabdian itu mungkin timbul karena pengabdian yang seksama. Akan tetapi sesungguhnya lebih dalam daripada hanya pengertian, oleh karena itu pengabdian merupakan keyakinan dan kesediaan untuk menghubungkan nasib diri seseorang kepada pengertian itu. Disini agama banyak hubungannya dengan hati. Seperti contoh yang jelas, seseorang yang beragama biasanya mempertahankan agamanya itu habis-habisan, oleh karena ia sudah mengikat dirinya dan mengabdikan dirinya kepadaNya. Dalam konteks inilah agama mampu memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, dan tetap mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya itu.

Dalam mempelajari agama dengan segala aktivitasnya, perlu sampai pada usaha mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumentasi tentang kebenaran-kebenarannya. Pendirian yang semacam ini sangat penting dalam membicarakan soal-soal keagamaan. Dan lebih berfaedah lagi atas pendirian diatas, adalah pendirian seseorang ahli agama yang bersedia untuk mendengarkan uraian-uraian seseorang yang mengikuti agama atau paham lain, dan meminta kepadanya untuk membuktikan kebenaran dari pahamnya atau agamanya itu.

Menurut Joachim Wach, agama adalah problem pemikiran yang utama, … agama adalah perbuatan manusia yang paling mulia dalam kaitannya dengan Tuhan Maha Pencipta, kepadaNyalah manusia memberikan kepercayaan dan keterikatan yang sesungguhnya.

Selanjutnya ia mengutip Carlyle bahwa “… agama adalah sesuatu yang dalam prakteknya seseorang benar-benar percaya dan dengan demikian cukup tanpa mempertahankannya sekalipun dengan dirinya sendiri. Agama adalah sesuatu yang ditak berarti bagi orang lain. Tetapi adalah sesuatu yang ditaruh dalam-dalam di lubuk hati supaya bisa mengenalnya dengan pasti karena agama bersentuhan dengan hal-hal yangn mutlak dalam alam penuh kerahasiaan ini, disamping kewajiban serta nasibnya ditetapkan di sana yang dalam semua hal merupakan sesuatu yang utama, yang secara kreatif menentukan segala yang lain.

Walaupun agama merupakan pokok perhatian bagi manusia, disamping seni, filsafatdan sains, agama tidak mudah diberi definisi atau dilukiskan, karena agama menngambil beberapa bentuk yang bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di dunia. Agma berbeda denngan sains dan filsafat karena agama menekan keterlibatan pribadi. Kendatipun kita dapat sepakat bahwa tidak ada definisi agama yanng dapat diterima secara universal, namun semua orang mengira bahwa sepanjang sejarah, manusia telah menunjukan rasa ‘suci’ dan agama adalah termasuk dalam kategori ‘hal yang suci’. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur ddengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seorang yanng religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadiaan dan kebaikan.

Apakah pada dasarnya agama itu sekumpulan kepercayaan? Apakah peran pengetahuan dan kecerdasan dalam agama? Jika kita mengamati sejarah agama, nampak jelas bagi kita bahwa kepercayaan merupakan unsur yang sangat penting. Dalam sejarah pernah terjadi bahwa ada orang-orangn yang dibunuh oleh karena mereka tidak percaya kepada apa yang dianggap oleh umum sebagai hal yang harus dipercayai.

Arti keprcayaan itu sendiri ialah “Anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar. Arti lainnya dari kepercayaan ialah, sesuatu yang diakui sebagai benar. Kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup tanpa kepercayaan apapun, baik dalam arti pertama maupun dalam arti kedua”.

Apabila manusis, baik dalam hidupnya sehari-hari, maupun dalam ilmu pengetahuan, atau dalam filsafatnya, tidak dapat melepaskan diri sama sekali dari kepercayaan maka lebih-lebih dalam agama. Faktor kepercayaan ini mutlak dalam agama. Malahan agama tidaklah lain daripada satu bentuk dan corak kepercayaan {dalam arti sesuatu yang diakui dan diterima sebagai kebenaran} yang tertinggi.

Walaupun begitu dalam kenyataannya, banyak orang yang pandai membicarakan kepercayaan … tidak dianggap beragama {religious} benar-benar, sedangkan banyak orang tak dapat menjelaskan kepercayaan mereka, dianggap religious.

Kepercayaan beragama dalah sekumpulan jawaban yang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau penafsiran atas kekuatan-kekuatan ghaib terhadap berbagai pertanyaan mendasar yang ditimbulkan oleh akal fikiran manusia. Apa makna dan tujuan hidup? Darimana kita berasal? Menngapa kita harus mati? Kepercayaan beragama memberikan jawaban yang beraneka ragam dalam sifat dan ruang lingkup batas wilayahnya.

Keprcayaan atau keimanan merupakan proses kejiwaan, dengan kepercayaan itu kita menangguhkan dan mengenyampingkan yang bersifat non-rasional terhadap pertanyaan dasar mengeai kehidupan.

Oleh karenanyna, kepercayaan merupakan gejala yang mengambil tempat di dalam alam pikiran setiap orang. Bahkan kalau kepercayaan diungkapkan secara berkelompok, intinya masih tetap bersifat pereorangan. Untuk memahami ihwal ini, kita harus berurusan dengan fikiran seseorang sebagai individu.

Apakah agama itu persoalan perasaan {feeling}? Peran apakah yang dimainkan perasaan dalam agama? Barangkali interpretasi agama sebagai perasaan menurut Schleiermacher, seorang teolog Jerman, baginya agama murni adalah perasaan murni, yaitu rasa bersandar secara mutlak kepada Tuhan. Unsur emosi dalam agama sangat nampak. Emosi dapat menjadi bahaya dan menyesatkan orang kecuali jika disertai serta dipimpin oleh akal.

Agama tidak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dalam kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap obyek loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dirasakan dan dipikirkan: ia harus dihayati, dan dijelmakan dalam tindakan.

  1. Asal Usul Agama

Panorama yang mempesona dari tingkahlaku keagamaan yang beraneka bentuk telah menarik minat para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk mengadakan – salah satunya penyelidikan terhadap asal usul agama, yang telah mennghasilkan berbagai teori yang kontroveersial. Jika sekaranng kita memilih susunan dari tahapa-tahap perkembangan agama dimulai dari “animisme” atau “dinamisme” hal itu tidak bisa lain daripada bahwa kita telah menggunakan salah satu dari teori mereka. Disamping itu masih banyak teori asal usul agama ini yang masih samar buat sebagian besar kita, walaupun masalah ini adalah aktuil dam dunia ilmu agama.

Sisi lain yang dapat dipetik dari pengnenalan berbagai teori itu, bagaimanapun kontroversialnya, dapat diharapkan suatu kesadaran yanng mendalam tentang posisi agama yang hidup dewasa ini, bahwa mereka bukanlah memberikan teori begitu saja kepada kita, melainkan suatu hasil yang paling akhir dari suatu perkembangan ilmu yanng panjang dan berliku-liku. Dengan begitu diharapkan akan timbul sikap penghargaan yang semakin meningkat terhadap agama, titengah-tengah merajalelanya kesangsian yang mengelisahkan terhadap mereka sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuan tan teknologi modern.

Seperti apa yang dilakukan oleh W. Richard Comstock, yang mengusulkan kembali  aspek penelitian para ahli tentang asal usul agama. Menurutnnya terhadap sebagai peneliti yang menekankan pada aspek intelek masyarakat primitif yang melahirkan suatu sistem religi – yaitu mereka yang berasnggapan agama merupakan usaha untuk menjawab persoalan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh para ilmuwan modern. Sedang sebagian yang lain menekankan aspek emosional. Termasuk golongan pertaama adalah Edward Burnett Tylor, Herbert Spencer dan James Frazer. Sedangkan golongan terakhir diantaranya R. R. Marett, Wilhelm Wund, Rodulf Otto, William James, Wilhelm Schmidt, Emile Durkheim dan Sigmund Freud. Uraian dibawah ini paling sedikit akan memberikan gambaran secara garis besarnya dari kedua golongan tersebut.

  1. Teori-teori kaum intelektualis

Tokoh pertama dari kaum intektualis adalah Edward Burnett Tylor {1832-1917} seorang antropolog, yang menulis teorinya dalam buku Primitive Culture (1871). Beliau terkenal karena teori “animismenya”. Menurut pendapatnya, bahwa agama telah berkembang dari suatu “ajaran tentang roh” yang berasal dari pemikiran spontang yang berhubungan dengan kematian, mimpi dan hal-hal yang menakutkan, yang kemudian menjasi “ajaran tentang spirit” dan akhirnnya menjadi ajaran tenngtang setan-setan dan dewa-dewa yang perkasa. Ia menggunakan kata “animisme” (yaang berasal dari kata Yunani anima yang berarti “ruh”) untuk menunjukan kepada sesuatu kepercayaan yang mempercayai adanya ujud-ujud roh atau spirit yang transempiris.

E. B. Tylor lebuh lanjut menjelaskan bahwa asal dari kepercayaan ini mungkin berasal dari mimpi, misalnya seseorang mungkin memimpikan seorang temannya yang baru saja meninggal. Dalam mimpi itu ia merasa seakan-akan roh temannya itu tetap hidup terlepas dari tubuhnya. Melalui mimpi,katanya, maka manusia menjadi yakin akan adanya dunia spirit yang menjadi dasar bagi kepercayaan-kepercayaan keagamaan.

Tokoh kedua adalah Herbert Spencer (1820-1903). Ia mengemukakan teori yang sama dengan Tylor dengan beberapa variasi. Menurut Spencer asal usul agama timbul dari “Penghormatan kepada nenek moyang yang digabungkan dengan kepercayaan kepada “Makhluk halus” yang dissebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang ditemui dalam mimpi”.  Dari kepercayaan terhadap nenek moyang yang bersahaja tumbuhlah dengan perlahan-lahan gagasan-gagasan keagamaan. Hingga menjadi suatu pengerian tentang Allah yang homogin dan sentral. Kesimpulan yang diambilnya adalah bahwa “Pemujaan nenek-moyang adalah akar dari setiap agama”.

Yang terakhir dari kaum intelektualis adalah James Frazer (1854-1941) yang menulis teorinya dalam karyanya The Golden Bough (1915). Frezer menyatakan bahwa “Agama merupakan perkembangan berikutnya dari suatu tahap magis dari kebudayaan manusia”. “Seni magis” berkembang sebagai pseudo science yang telah mencapai universalitasnya sebelum munculnya agama. Frezer melihat ahli magis primitif menggambarkan seorang yang ingin mengetahui bagaimana dunia berjalan melalui hukum……… dan bagaimana ia dapat… melalui proses perkembangan sejarah.

  1. Teori-teori kaum emosionalis

Kaum emosionalis adalah para peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang menekankan pada faktor emosional yang dianggap sebagai awal sentuhan keagamaan. Diantara tokoh-tokohnya adalah:

R. R. Marett (1866-1943).Ahli ini mulai mennguraikan teorinya dengan suatu kecaman terhadap anggapan-anggapan Tylor, mengemai timbulnya kesadaran manusia terhadap jiwa. Menurut Marett, kesadaran adalah hal yang terlalu intrinsikdan kompleks dari pikiran manusia pada tingkat-tingkat permulaan kehidupannya di permukaan bumi.

Marett membuktikan bahwa agama lebih bersifat jawaban-jawaban emosionalyang mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Ia berusaha mempopulerkan pandangan bahwa tahap animisme telah didahului oleh suatu tahap dimana manusia primitif percaya terhadap eksistensi kekuatan yang umum yang meliputi baik obyek yang bernyawa atau tidak.

Wilhelm Wund (1832-1920 seorang psikolog menyatakan bahwsa didalam agama , perasaan-perasaan seperti takut yang diproyeksikan ke arah luar kedalam lingkungan.  Seorang filusuf, Rudolf Otto (1869-1937) menyatakan dalam bukunya “The Idea of the Holy bahwa ada “Idea”, semacam bentuk persepsi yang ia namakan “numinous” yang ditandai oleh suara-suara yang efektif dari sesuattu yang mengagumkan, yang misterius dan yang mempesona. R. Otto menserasikan uraiannya dengan pernyataan bahwa “emosi tertentu yanng menyampaikan pengertian tentang yang misterius, yang luar biasa dan yang suci (sacred) adalah merupakan bagian-bagian agama. William James (1842-1910) menolak adanya emosi keagamaan tertentu seperti yang diuraikan R. Otto. Ia menyatakan bahwa asal usul agama terletak pada “pengalaman emosional yang mendalam dan berhubungan dengan kepercayaan yang gaib, dewa-dewa dan suatu dunia supernatural”.

Tokoh lain adalah Wihelm Schmidt (1868-1954) dan Andrew Lang (1944-1912). Keduanya menolak skema yang sering diberikan terhadap perkembangan agama, yang biasanya dimulai dari animisme (mungkin didahului oleh dinamisme, magis atau kepercayaan terhadap mana), politheisme, henotheisme dan monotheisme. Menurut pengamatannya skema teersebut terganggu oleh fakta yang aktual yang memperlihatkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi (High God) atau Tuhan Yang Maha Kuasa (sebagai karakteristik monotheisme) sulit dikatan sebagai perkembangan yang lebih akhir. Ia yakin bahwa skema perkembangan………

Emile Durkheim (1858-1917), seorang sosiolog Prancis, dam bukunya Elementary Forms of Religious Life (1915) menyatakan bahwa asal usul agama adalah totemisme, yang menggambarkan bahwa identifikasi dengan hewan totem merupakan hasil dari suatu proyeksi irrasional dari manusia yang mengharap keamanan diri ditengah-tengah masyarakat. Menurut fikirannya bahwa proyeksi kolektif didasarkan pada kondisi manusia daripada “halusinasi” (mimpi) seperti digambarkan Tylor  Sulit baginya untuk percaya bahwa sistem-sistem pemikiran dan tingkah laku keagamaan yang begitu meressap dalam kebudayaan manusia secra sederhana dikatakan sebagai hasil dari suatu kesalahan intelektual atau yang semata-mata imajinasi. Baginya, agama-agama itu berhubungan secure langsung dengan obyek empiris yang sangat nyata. Durkheim membuktikan bahwa agama merupakan salah satu cara dimana manusia menyelesaikan proses sosialisasi yang dinamakan integrasi sosial, dimana manusia harus mengintegrasikan kehidupan pribadinya kedalam kehidupan kelompok yang lebih luas sebagai keseluruhan.

Yang terakhir adalah seorang tokoh psikologi yang cukup terkenal yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Freud menyatakan bahwa asal usul agama dapat ditemukan dalam persoalan seorang anak yang berusaha menjalin hubungan yang mesra dengan orangtuanya, terutama sang ayah. Pada mulanya ia menduga bahwa ayahnya merupakan figur dari kekuatan yang absolut, tetapi setelah mengerti bahwa ayahnya hanyalah manusia bekala, maka ia mencari figur lain yang lebih berkuasa yang diharapkan dapat memberikan dukungan dan keamanan psikologis yang pernah diterima dari ayahnya, yaitu bapak dunia (cosmic father) atau Tuhan. Oleh karena itulah barabg kali Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysis and Religion menyebutkan bahwa menurut Freud “agama adalah pengulangan pengalaman anak-anak”. Dan Harold Fallding dalam bukunya The Sociology of Religion mengatakan bahwa melihat sikap Freud terhadap agama maka agama nampaknya merupakan suatu penyangga yang dibuat manusia ketika frustasi terhadap alam dan masyarakat membuatnya merasa lemah dan tidak berdaya.

Tentang asal usul agama, Freud menulis secure panjang lebar dalam bukunya yang berjudul Moses and Monotheism yang dapat disimpulkan pendapatnya sebagai berikut. Freud mengemukakan bahwa manusia primitif pada asalnya hidup dalam masyarakat patriarchal dimana sang ayah sebagai pemimpin merampas semua wanita yang menari untuk dirinya sendiri. Pada hal yang sama sang anak mengganyang dan membunuh ayahnya, dan mengambil wanitanya sebagai istri-istri mereka. Tetapi tindakannya yang pertama dan kesalahannya yang kemudian menjadi sebab psikologis untuk percaya kepada Tuhan-bapa yang kemurkaannya harus diselesaikan melalui pengorbanan.

Ada dua jawaban yang lain mengenai asal usul agama yang perlu mendapat perhatian. Pertama, agama tumbuh dsari kemauan manusia untuk hidup atau dari kemauan untuk menyempurnakan dan memenuhi kehidupannya. Ia merupakan bagian dari perjuangannya untuk kehidupan yang lebih berisi dan suatu penyesuaian yang lebih mantap terhadap dunia. Agama adalah bagian dari usaha mencari kehidupan yang mengekspresikan dirinya dalam tingkat yang rendah, dalam mencari makan, tempat teduh dan keselamatan, dan dalam tingkat yang tinggi, dalam mencari nilai sosial, intelektual dan spiritual. Kedua, agama tumbuh dari kesadaran manusia atau pengakuan tentang adanya alam yang lebih ideal dan yang memberi arti dan makna kepada kehidupannya. Agama adalah response manusia kepada kehadiran dan ajakan dari alam ghaib yang membangkitkan rasa takut, rasa hormat dan rasa percaya.

  1. Ciri Umum Dari Agama

Sebelum kita membicarakan ciri atau sifat khusus dari agama Islam, kiranya ada baiknya kalau kita juga melihat sepintas ciri-ciri umum dari setiap agama yang ada. Khususnya agama yang berdasarkan pada wahyu Tuhan.

Setiap agama yang diwahyukan atau yang berdasarkan wahyu Tuhan adalah merupakan satu-satunya agama (the religion) dan juga merupakan salah satu agama (a religion) bagi setiap pemeluknya. Dikatakan sebagai satu-satunya agama sejauh agama itu dalam dirinya sendiri mengandung kebenaran dan juga sebagai sarana untuk mencapai kebenaran tsb. Dalam artian ini agama diyakini oleh pemeluknya sebagai satu-satunya agama yang benar. Dan dikatakan sebagai salah satu agama, jika agama itu hanya menekankan suatu aspek khusus dari kebenaran tersebut dalam hubungannya dengan kebutuhan spiritual dan kebutuhan psycologis dari manusia yang memeluknya.

Secara etimologis, agama berarti sesuatu yang mengikat. Kata agama (religion) diturunkan dari kata religio yang berarti “mengikat”, jelasnya agama mengikat manusia kepada suatu kebenaran.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata “Din” dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Suatu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun.Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agama memang mempunyai kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa gam berarti tuntunan. Memanh agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.

Din dalam bahasa semi berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa arab kata ini mengandung arti menguasai, memundukkan, patuh, hutang balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat dia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang memjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik.

Sesungguhnya amat sukar untuk mengambil kesimpulan dari definisi-definisi tersebuut, karena memang konotasi dari tiap-tiap kata itu sangat berlainan. Agama dalam bahasa Sanskrit lebih menonjolkan soal tradisi, religion dalam bahasa latin menonjolkan ikatan manusia dengan kelompoknya disamping dengan dewanya. Kata religion tidak terdapat dalam injil, sedangkan kata al-dien adalah kata yang terdapat dalam al-qur’an, yang konotasinya sangat berlainan dengan kata agama atau religion. Memang kita menterjemahkan al-dien dengan agama, atau kalau memakai bahasa barat kita memakai religion,akan tetapi hal itu hanya sekedar untuk mempermudah berkomunikasi dengan orang banyak, dalam hakekatnya, al-dien bukan tradisi saja dan bukan religion dan ikatan saja.

Setiap agama juga mempunyai dua macam unsur hakiki yan merupakan dasar agama tersebut. Unsur pertama adalah ajaran atau doktrin. Unsur inilah yang membedakan antarayang absolut dan yang nisbi, antara kenyataan atau realitas yan mutlakdengan kenyataan yang relatif sifatnya, antara sesuatu yang memiliki nilai mutlak sdan sesuatu yang memiliki nilai terbatas saja. Jelasnya doktrin itumenbedakan antara Allah dan manusia dan dunia. Sedangkan unsur kedua adalah suatu cara (a method). Yakni cara untuk mengikat diri dan memusatkan diri kepada yang absolut. Juga cara-cara untuk hidup sesuai dengan kehendak yang absolut itu, serta cara untuk hidup sesuai dengan tujuan danarti hidup manusia sndiri. Tidak ada satupun agama, baik itu hindu, Islam, Kristen maupun Budha, dapat berdiri tanpa mempunyaidoktrindan cara seperti tersebut diatas, kendati doktrin dan cara itu berbeda bagi setiap agama itu.

Setiap agam percaya adanya suatu kenyatan atau realitas yang transenden atau mengatasi dunia ini. Namun demikian juga tidaklah berarti bahwa agama telah menyatakan bahwa dunia ini dalm tingkat keberadaannyamerupakan dunia yang tidak real atau tidak nyata, sama sekali. Karena apabila dunia dan juba jiwa itu sama sekali tidak nyata, maka segala usaha untuk mendekatkan jiwa kepada realitas yang mutlak itu juga akan sia-sia. Dalam hal ini, doktrin serta cara yang dimiliki oleh setiap agama itu berguna untuk membantu manusia dalam usahanya mengenai siapakah yang absolut itu? Siapakah dirinya itu? Dan bagaimanakah cara mencapai kebenaran itu. Disamping itu juga membantu manusia untuk mengretei bahwa dirinya itu kendati relatif juga diberi suatu kebebasan dan kemampuan untuk menerima atau juga menolak kehendak dari Yang Absolut atas dirinya.

Ciri umum lainnya dari setiap agama ialah bahwa agama itu menngakui adanya hubungan antara Tuhan dan manusia. Bahkan hubungan antara Tuhan dan Manusia ini meerupakan hal yang pokok dan sentral dalm setiap agama. Perbedaannya terletak pada penekanan aaspek-aspek tertentu. Atau dengan kata lain, setiap agama hanya menekankan salah satu aspek tertentu dari hubungan antara Tuhan dan manusia tersebut. Demikian pula didalam setiap agama terkandung kebenaran, meskipun kebenaran ini terbatasi juga oleh bentuk dari agama itu sendiri. Karena itu, untuk menghayati suatu agama sangant diperlukan adanya pengenalan dan pemahaman terhadap agama lain berikut hal-hal yang ditekankan didalamnya. Bukan maksudnya untuk menciptakan sinkritisme dengan tujuan untuk mendapatkan universalitas, melaikan agar pengertian kita terhadap agama akan semakin diperkaya, dan penghayatan kita akan agama itupun semakin disempurnakan.

Selanjutnya, suatu ciri pokok dalam setiap agama yang berdasarkan wahyu Tuhan adalah kepercayaan akan adanya wahyu Tuhan itu sendiri. Kepercayaan akan adanya wahyu Tuhan ini juga mendaasari hubungan antara manusia dengan Tuhannya Tanpa adanya wahyu Tuhan maka tidak mungkin ada agama. Dan tanpa adanya wahyu Tuhan, manusia tiadk dapat mengikatkan dirinyakepada Tuhan. Sebab lewat wahyu itu Tuhan berkenan membuka diriNya sekaligus memberikan rahmat kepada manusia agar manusia dapat mengenalNya dan dengan demikian juga dapat mengikatkan diri kepada Nya. Setiap agama yang benar adalah setiap agama yang berdasarkan wahyu Tuhan, serta mengandung ajaran atau doktrin dan cara yang ‘menyelamatkan’ manusia dari kondisinya yang terbatas, kemudian mengantar manusia itu terbuka kepada kehendak Yang Illahi sendiri.

Itulah beberapa sifat atau ciri umum dari setiap agama, terutama agama yang berdasarkan wahyu Tuhan. Sifat-sifat tersebut kiranya sangat perlu diperhatikan sebelum kita secure khusus melihat ciri atau sifat khusus dari agama Islam. Dengan demikian diharapkan bahwa kita tidak akan cenderung untuk menjatuhkan suatu penilaian yang timpang, sebab kita tahu bahwa setiap agama mempunyai unsur kesamaannya dengan agama lain, sekaligus juga mempunyai kebenarannya sendiri, dan tidak perlu dipertentangkan satu sama lain.

  1. METODE PENDEKATAN TERHADAP AGAMA

Salah sattu pokok dalam agama adalah keharusan mempercayai adanya kekuatan ghaib yang disebut Dewa atau Tuhan, konsepsi ketuhanan itu ada berbagai rupa seperti dalam agama Hindu dari bentuk polytheisme berubah menjadi Panthaisme dan akhirnya menjadi Monotheisme.

Agama Kristen dikenal dengan konsepsi Trinitasnya dalam arti tiga adalah satu dan satu adalah tiga yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus, dan pengeretian Tuhan ini dapat menumbulkan salah paham. Selanjutnya pendirian Islam yang dikenal sebagai agama monotheisme, tidak berubah sejak sebelum Nabi Muhammad hingga sekarang masih tetap berbentuk Monotheisme dalam arti percaya adanya satu Tuhan yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta termasuk manusia.

Menurut kenyataannya, umat Islam menganut faham Monotheisme, sedangkan umat Hindu dan Kristen masing-masing dengan Trimurti dan Trinitas adalah menurut faham polytheisme. Tetapi dalam pengakuaannya baik umat Hindu maupun umat Kristen terutama tokoh-tokohnya merasa keberatan bahkan tidak menerima kalau dikatakan penganut faham pholytheisme sebagaimana Islam.

Monotheisme berasal dari kata ‘monos’ dan ‘theos’, monos berarti satu dan theos berati Tuhan, jadi monotheisme adalah “Kepercayaan hanya satu Tuhan yang ada”.

Sebutan nama Tuhan dalam aliran monotheisme itu berbeda-beda seperti dalam Islam disebut ‘Allah’, sedangkandalam agama Yahudi disebut ‘Yahwe’ dan dalam golongan monotheisme pada aliran Zarathusta disebut ‘Ahuramazda’.

Kaum monotheist tidak lagi mengakui adanya tuhan-tuhan orang lain, mereka berpendapat bahwa “diseluruh alam hanya ada satu Tuhan, yaitu eloh untuk semua manusia, satu Than yang menjadikan seluruh kosmos ini, dan tidak ada Aten, Yahwe ataukah Allah SWT.

Barangkali bagi aliran Oer monotheisme yang dimaksud Tuhan itu adalah Allah, karena sebagaimana kita maklum bahwa kepada tiap-tiap umat atau bangsa ada didaatangan Allah SWT seorang ‘nazir’ atau penberi ingat”, tetapi siapakah nama pemberi ingat itu yang menggambarkan Allah atau Tuhan Yang Esa sebagai pencipta alam semesta, sedangkan sebutan Yahwe dan Aton atau Tuhan matahari pad masyarakata Mesir kuno merupakan monotheisme hasil proses evolusi.

Ungkapan diatas menunjukkan adannya dua bentuk monotheisme yaitu; monotheimse asli sebagaimana yang dianut oleh umat Islam, dan monotheisme hasil proses evolusi sebagaimana dianut oleh umat Yahudi dan Masyarakat Mesir kuno.

Mungkin pula monotheisme hasil proses evolusi, dahulunya percaya adanya satu Tuhan, kemudian semakin menipis dan akhirnya lenyap karena adanya gempa bumi dan lain sebagainya yang sifatnya menakjubkan ketika itu akhirnya mereka percaya kepada kekuatan alam, kemudian meningkat kepada roh-roh dan dewa-dewa seperti masyarakat mesir kunoyang dikenal dengan masyarakat politheisme akhirnya berubah menjadi monotheisme.

Begitu pula kepercayaan masyarakat Hindu, menurut beberapa ahli sejarah “Pemujaannya ditujukan terutama kepada satu Maha Dewa, jadi pada mulanya termasukl monotheisme (Tuhan Yang Satu)”, tetapi ada pula yang menyatakan politheisme, namun sekarang ini mereka terutama para pemuka agamanya mengakui bahwa umat Hindu menganut faham monotheisme, apakah pengakuan ini dapat diterima kalau dikaitkan dengan konsepsi Trimurtinya, perlu pengkajian lebih lanjut.

Sudah banya pengertian dan definisi dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa terminologi agama (dalam pengeretian tidak dibedakan dengan kata din dan religi) mengandung saripati arti adanya keterikatan batiniah (comitment) manusia dengan nilai-nilai yang dihayati dan dipatuhi sebagai suatu tata tingkah laku (codes of conduct) dalam tata kehidupan (codes of life) yang nilai-nilai itu bersumber dari keyakinan akan adanya kekuatan immateril yang maha tinggi lagi maha mutlak.

Namun unsur-unsur dari perumusan tersebut memberi kesan bahwa agama hanya mengurusi hubungan spiritual yang vertikal antara manusia dengan Tuhan serta hubungan manusia dengan hal-hal yang sakral, serta kurang memberikan penegasan tentang hubungan manusia dengan hal-hal yang profan. Mengikuti rumusan lain bahwa agama “merupakan suatu sistem yang memuat sistema kepercayaan (credo), kebaktian (kultus) dan hidup kemasyarakatan (sosial), agaknya definisi orgburn dan Nimhoff dapat dipakai. Profesor dari The FLORIDA State Univercity ini mengemukakan bahwa “religion is a system of belief, emotional attitudes and practces by means of which a group of people attempt to cope with ultimate problem of human life.

Andai termonologi terdahulu disepakati maka akan terlihat bahwa “eksistensi yang mutlak” dalam keberagamaan menjadi sangat sentral dan strategis. Dan dalam kaitannya denngan ddefinisi Orgburn dan Nimhoff diatas, kita akan cenderung memposisikan agama pada posisi “kata kerja” ketimbang ia sebagai “kata benda”. Sehingga dengan demikian agama tidak hanya diperkatakan dan memperkatakan, tapi juga berbuat dan berperan serta memberikan kontribusinya bagi perdamaian, pembebasan manusia dari belenggu kemanusiaannya. Dalam hal ini, teologi seharusnya tidak selalu dikonfrontasikan kepada persoalan “keetidakbertuhanan” (atheistis) tapi akan dihadapkan kepada permasalahan “ketidakberkemanusiaan” (unhumanis).

Menarik ungkapan Erich From dalam bukunya We shall be as gods, bahwa “god is one of many different poetionexpression if the higest value in humanism, not a reality it self”.

Bahwa sesungguhnya perkataan (dan selanjutnya konsep) tentang Tuhan hanyalah sebuah maksimalitas kemampuan manusia untuk mengekspresikan pengetahuan dan penghayatannya tentang sesuatu kekuatan gaib atau apa yang sering disebut “Yang Mutlak” Ekspresi itu lahir dari nilai kemanusiaan tertinggi. Karena nilai kemanusiaan itu sendiri melekat pada diri “subyek” dan pengekspresian itu diliputi keterbatasan (karena datang dari yang terbatas yakni manusia) maka tentu perkataan (dan juga konsep) tentang Tuhan itu bersifat subyektif, terbatas dan nisbi. Dan ia bukan realitas itu sendiri.

Tuhan menurut manusia bukan realitas itu sendiri. Maka adalah wajar jika Ahmad Wahid (alm) pernah menyangsikan keyakinannya (baca:konsepnya) tentang Tuhan bahwa itu belum tentu seperti apa yang sebenarnya menurut Allah. Kini, kebenaran konsep dipertanyakan.

Konsep bersifat subyektip dan relatif. Kesubyetifannya lantaran ia dibentuk sesuai dengan ‘state of mind’ daripada subyek (sang konseptor). Dan konsep itu menjadi relatif, karena ia diwarnai oleh pengaruh kerangka referensi (frame of reference), lapangan pengalaman (field of experience) serta pengaruh situasi kondisi kala konsep itu lahir. Lebih dari itu, konsep mempunyai kehidupan sendiri maka ia berkembang. Konsep akan dapat dipahami hanya jika konsep itu tidak dilepas dari pengalaman.

Begitu juga konsep tentang Tuhan (atau konsep ketuhanan). Ia meerupakan ekspresi daripada pengalaman yang  dalam, yang pengalaman yang dalam ini dibentuk oleh sejarah, dipengaruhi oleh sosiopolitik atau struktur kekuasaan. Erich Form kelanjutannya mengatakan “I believe that the concept of god was a historically conditioned expression of an inner experience ….. and conditioned by the presensa of a socio political structure.

Manusia menciptakan konsep dan atau mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan lewat beberapa kemungkinan jalan; pemikiran falsafi, pengalaman keagamaan, pengakuaan akan pemberiaan Tuhan sendiri (wahyu). Ketiga-tiganya belum menjamin memberikan pengetahuan yang utuh tentang Tuhan. Argumen-argumen filosofis tentang adanya Tuhan tidak luput dari kritik. Apa yang dialami kemudian diungkapkan sebagian manusia dari apa yang disebut dengan pengnalaman keagamaan juga belum memberikan gambaran paripurna tentang hakikat Tuhan. Bahkan apa yang disebut dengan pengalaman “keagamaan” itu sendiri dipernyatakan; apakah ia harus selalu berkaitan dengan Tuhan? Begitu juga pemberitaan Tuhan sendiri tentang diri-Nya (wahyu) tak mampu dipahami tuntas oleh manusia, terutamapada dimensi nisbinya (nash zhanni).

Maka apakah hakihat Tuhan dan bisalkah manusia menyingkap hakikat itu. Lewat keyakinannya manusia telah mampu menangkap eksistensi (adanya) Tuhan, sedangkan eksistensi (hakikatnya) tetap menjadi misteri.

Dan kitapun berikut ini hanya memperkatakan suatu “konsep” tentang Tuhan menurut agama-agama (tentu manusia penganutnya), konsep tentang Tuhan “Yang Mutlak” dari “Yang nisbi”maka iapun kenisbian.

  1. Pentingnya Agama Bagi Munusia

Agama merupakan suatu faktor yang penting dalam hidup orang. Hal ini jelas dari peranan yang dimainkan oleh agama dalam hidup; agama itu menentukan sebagian besar dari hidup, baik hidup perseorangan, maupun hidup bermasyarakat. Dalam sejarah bangsa-bangsa memperlihatkan pentingnya agama dalam hidup dan kehidupan manusia.

Dalam dunia sendiri sudah terkandung sifat mudah terkena ancaman yang terutama muncul dari kecerobohan manusia dalam menanggapi dunianya. Karena itu perlu dunia diperlihara dan dipertahannkan antara lain denngan proses sosialisasi, yaitu memberi perhatian nilai-nilai mana yang harus diwariskan pada generasi baru agar diterapkan dalam kehidupan individualnya maupun sosial.

Agama menyatakan bahwa ekaternalisasi manusia memiliki fitrah. Pandangan Islam, dengan aklnya sebetulnya manusia dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Yang dimaksud dengan akal disini bukanlah aktivitas mental seperti kecepatan berfikir dan kecerdasan gemilanng, melainkan suatu anugerah Tuhan yang harus digunakan oleh manusia untuk mengenal Tuhan dengan lebih baik. Itulah sebabnya maka akal (al-aql) selain berarti berfikir dan intelek, juga ada hubungannya dengan iman. Runtuhnya iman seseorang bukanlah berarti bahwa dalam diri orang itu timbul kehendak yang buruk melainkan berarti bahwa orang tersebut tidak menggunakan akal dan kemampuannya untuk berfikir secure lebih baik.

Selanjutnya, sudah diutarakan di muka bahwa menurut Islam, manusia itu adalah makhluk theomorfis yang dianugrahi akal, dan akal itu dapat membawa manusia sampai pada keyakinan mengenai ke-Esa-an Tuhan. Kemudian timbul suatu pertanyaan mengapa manusia masih perlu juga diberi petunjuk Tuhan? Islam menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan alasan, bahwa kendatipun manusia itu makhluk theomorfis, namun pada dasarenya ia itu pelupa dan acuh tak acuh. Karena itu ia harus selalu diberi peringatan. Manusia tidak dapat mengangkat dirinya sendiri secure spiritual begitu saja. Ia harus dibangunkan dari mimpi buruknya oleh seseorang yang sudah sadar. Petinjuk Tuhan itulah yang membantu manusia untuk mengatasi rintangan dalam menggunakan akalnya, sehingga akalnya juga menjadi ssehat serta tidak dibutakan oleh nafsu dan kecenderungan nalurinya sendiri.

Jelaslah bahwa alasan yang paling kuat untuk menjelaskan mengenai pentingnya petunjuk Tuhan itu bagi manusia adalah karena adanya hambatan-hambatan yang menyebabkan manusia tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik; bahwa meskipun manusia itu makhluk theomorfis tetapi ia sendiri cenderung untuk melupakannya; dan bahwa meskipun ia memiliki kemungkinan untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan, namun ia selalu mengabaikannya juga. Itulah sebabnya maka menurut pandangan Islam, dosa utama manusia adalah lupa. Sifat pelupa ini yang membuat manusia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya. Karena itulah maka Tuhan kemudian menurunkan petunjuknya untuk mengingatkan manusia akan arti eksistensialnya sebagai manusia.

Tanpa dengan memberikan definisi mengenai apa itu Agama, Seyyid Hossein Nasr juga mengatakan bahwa agama itu sangat penting bagi manusia. Tanpa agama manusia belum menjadi manusia yang uttuh. Hanya turut sertanya dalam  tradisi yang berupa petunjuk Tuhan tentang cara hidup dan berpikir, dapat membawa manusia kepada kesadaran tentang arti dirinya dan hidupnya. Hanya tradisi dalam arti inilah yang dapat memberi makna bagi eksistensi manusia. Ahli-ahli pikir abad Pencerahan dan Rasionalisme yang menolak agama tidak menyadari kebutuhan manusia akan agama dan tidak dapat menduga sebelumnya bahwa setelah dipisahkan dari agama, manusia menjadi gelisah dan mulai menciptakan agama semu (psedo religion) dan elektisisme yang berbahaya bagi manusia sendiri.

Agama juga ada hubungannya dengan ide tentang perjanjian antara Tuhan dengan manusia. Perjanjian tersebut, merupakan aspek agama. Dengan menerima perjanjian tersebut, manusia memperoleh beberapa macam tugas. Kemudian manusia harus menyesuaikan diri dan akalnya dengan kebenaran yang mutlak, menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Yang Maha Kuasa, dan menggunakan kemampuan berbicara yang ada dalam dirinya agar sesuai dengan kehendak Tuhan.

Teori Tentang Pengelompokan Agama

Pada dasarnya pengelompokkan agama merupakan pandangan subjektif. Misalnya ada pengelompokkan agama rendah dan agama tinggi. Perkataan tersebut mungkin sekali dipakai orang secure tidak tepat. Seorang sarjana yaitu Ernst Troeltsch, mengelompokkan agama secure piramide. Menurutnya ajaran berdasarkan alas piramide itu terdiri dari”

Menurut dia, maka alas piramide itu terdir dari ”Agama-agama suku” atau “Agama-agama primitif” lapisan kedua terdiri dari “Agama Taurat” misalnya agama Yahudi dan Islam. Lapisan berikut adalah kelepasan.

Lapisan paling bawah dari agama kelepasan itu terdiri dari agama Hindu dan Budha; dan puncak piramide itu ialah agama Kristen

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn

Leave a Reply